Rabu, 18 Juni 2014

Membenahi Jakarta dari Istana Negara

Membenahi Jakarta dari Istana Negara

Firdaus Cahyadi  ;   Pendiri Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta
MEDIA INDONESIA,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MACET dan banjir. Dua kata itu yang menjadi persoalan Jakarta dari dulu hingga kini, siapa pun gubernurnya. Hasilnya selalu sama, yaitu mereka gagal memecahkan dua persoalan turun-temurun itu. Mengapa bisa demikian? Padahal jika dikaji secara lebih jeli dan mendalam, banjir dan kemacetan Jakarta ini ialah buah dari kesalahan paradigma pembangunan yang menempatkan Jakarta sebagai pusat pembangunan. Lebih dari 50% perputaran uang ada di kota ini.

Paradigma pembangunan itu mengharuskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, siapa pun gubernurnya, untuk selalu memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial di kota ini. Padahal daya dukung Kota Jakarta ada batasnya. Dipakainya paradigma pembangunan yang menempatkan Kota Jakarta sebagai pusat pembangunan itulah kemudian yang memicu alih fungsi secara besar-besaran ruang terbuka hijau dan daerah resapan air menjadi mal dan kawasan komersial lainnya.

Bahkan keterbatasan ruang di Jakarta untuk menampung pertumbuhan kawasan komersial kemudian disiasati dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Padahal, reklamasi pantai untuk memfasilitasi pertumbuhan kawasan komersial akan memperburuk daya dukung ekologi Jakarta secara keseluruhan bukan hanya di sekitar kawasan reklamasi.

Alih fungsi lahan yang besar-besaran ini, menurut Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta pada 2007, pada akhirnya membuat setiap kali hujan turun di Jakarta hanya sekitar 26% yang bisa terserap di dalam tanah Jakarta. Sebanyak 70%-an air hujan lainnya menjadi air larian (run-off) yang masuk ke sistem drainase kota untuk kemudian dialirkan ke sungai dan laut. Celakanya, drainase di Jakarta juga dalam kondisi buruk sehingga air larian itu tidak dapat tertampung. Namun, andaikan drainase kota dalam kondisi baik pun, belum tentu bisa menampung 70%-an air hujan yang tidak terserap di dalam tanah tersebut.

Hilangnya resapan

Seiring dengan pertumbuhan Kota Jakarta, bertumbuh pula permintaan perumahan di kawasan sekitarnya, termasuk Bogor. Daerah-daerah resapan air, baik itu ruang terbuka hijau ataupun situ, di Bogor pun beralih fungsi menjadi kawasan perumahan. Seiring dengan meningkatnya permintaan perumahan di Bogor itu meningkat pula permintaan akan kawasan komersial lain di sekitar perumahan.

Akibatnya, semakin luas pula daerah resapan air yang dialihfungsikan. Hilangnya daerah resapan air di kawasan Bogor akibat maraknya pembangunan perumahan dan kawasan komersial itu membuat Jakarta menjadi semakin rentan terhadap banjir. Kerentanan Jakarta juga diperparah dengan makin masifnya alih fungsi daerah resapan air di kawasan Puncak, Bogor, menjadi vila-vila dan kawasan wisata. Meningkatnya alih fungsi daerah resapan air di kawasan Puncak juga sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dari paradigma yang menjadikan Jakarta sebagai pusat pembangunan di Indonesia.

Kepenatan orang-orang yang bekerja di Jakarta mengharuskan mereka berekreasi. Kawa san Puncak ialah salah satu kawasan terdekat dari Jakarta yang dapat digunakan untuk melepas penat. Di satu sisi, pemusat pembangunan di Kota Jakarta memang mampu menumbuhkan ekonomi di kawasan Puncak. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, semakin tak terkendali pula alih fungsi lahan di kawasan Puncak.

Paradigma pembangunan itu yang juga menyebabkan kemacetan lalu lintas sulit terurai di Jakarta. Pemusatan pembangunan di Jakarta mendorong jutaan orang dari daerah sekitar Jakarta, seperti Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) masuk ke pusat kota. Jumlah penduduk dari Bodetabek semakin meningkat dari tahun ke tahun. Karena buruknya fasilitas transportasi massal, mereka pun menggunakan kendaraan bermotor pribadi, mobil dan motor, untuk menuju Jakarta. Dari sinilah kemacetan lalu lintas bermula.

Perbaikan sarana dan prasarana transportasi massal memang sebuah keharusan. Namun, itu tidak akan berarti banyak jika jumlah pengguna kendaraan menuju Jakarta terus meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah mereka, transportasi massal yang sudah baik pun akan menjadi tidak nyaman karena harus berdesak-desakan di dalamnya. Contoh nyata dari kondisi itu ialah tidak semakin nyamannya kondisi gerbong KRL (kereta rel listrik) Jabodetabek, meskipun jumlah kereta dan fasilitas bagi penumpang terus ditambah. Akibatnya, cepat atau lambat mereka akan kembali menggunakan kendaraan bermotor pribadi menuju Jakarta.

Solusinya ialah mengubah paradigma pembangunan. Pemerintah pusat memegang peranan terbesar dalam mengubah paradigma pembangunan ini. Namun, alih-alih mengubah paradigma pembangunan, pemerintah pusat justru sering kali mengeluarkan kebijakan yang semakin memperparah kondisi di Jakarta. Salah satu contohnya ialah kebijakan insentif pajak untuk mobil murah. Akibatnya, makin banyaklah jumlah kendaraan di jalan raya Jakarta. Itu, selain memperparah kemacetan lalu lintas, memperburuk kualitas udara di Jakarta.

Peran presiden

Dalam konteks inilah perlu terobosan baru untuk memperbaiki Kota Jakarta. Salah satunya ialah memperbaiki Kota Jakarta dari Istana Ne gara. Artinya, presiden Indonesia yang memiliki peran besar dalam memperbaiki Jakarta, bukan hanya Gubernur DKI Jakarta. Terkait dengan itulah, mungkin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan sadar ikut mencalonkan diri menjadi calon presiden (capres) 2014.

Warga Jakarta tentu merasa kehilangan. Bahkan sebagian besar tentu tidak rela melepas Jokowi menuju Istana Negara. Namun, bila melihat persoalan Kota Jakarta secara lebih jeli, warga Jakarta justru akan dengan ikhlas merelakan Jokowi menjadi presiden Indonesia. Jika berhasil duduk di kursi kepresidenan itulah, Jokowi dapat mengambil peran yang besar dalam membenahi Jakarta, dengan cara segera mengubah paradigma pembangunan yang terpusat di Jakarta.

Jika terpilih menjadi presiden, Jokowi harus segera membagi kue pembangunan ke luar Jakarta dan menghentikan untuk mengeluarkan kebijakan yang makin memperparah kondisi di Jakarta seperti kebijakan mobil murah oleh pemerintah pusat sebelumnya. Mau dan beranikah Jokowi membenahi Jakarta dari dalam Istana Negara? Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar