Selasa, 03 Juni 2014

Mencegah Korupsi Melalui “E-Audit”

Mencegah Korupsi Melalui “E-Audit”

Bahrullah Akbar  ;   Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan
SINAR HARAPAN,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kasus dugaan penyalahgunaan wewenang mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, ketika menjabat Dirjen Pajak seakan menjadi pintu masuk bagi banyak kalangan untuk menyorot kinerja BPK.

Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terkait permohonan keberatan pajak Bank Central Asia (BCA).

Sejumlah kalangan mempertanyakan integritas BPK. Apalagi, banyak kalangan selama ini kurang mengerti kenapa masih saja ditemukan dugaan korupsi di sebuah lembaga tertentu, sekalipun BPK telah mengeluarkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Dengan asumsi itu, BPK kemudian dinilai sebagai sebuah lembaga pelindung koruptor. Setidaknya pendapat seperti itu pernah disampaikan M Bashori Muchsin dalam sebuah artikel yang dimuat di harian nasional.

BPK bukan lembaga yang antikritik. Sebaliknya, BPK sering membuka ruang kritik bagi masyarakat. BPK mengikutsertakan masyarakat dalam mengawal serta menjaga independensi, integritas, dan profesionalisme BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan. Sebagai sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi, BPK bertugas melaksanakan pemeriksaan keuangan negara.

Jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK terdiri atas tiga jenis, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Pada dasarnya, pemeriksaan itu dalam rangka pelaksanaan peran negara dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, seperti yang telah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 E. Kerangka pemeriksaan terhadap BUMN secara umum sama dengan pemeriksaan BPK terhadap instansi pemerintah.

Pemeriksaan instansi pemerintah dimulai dengan identifikasi urusan-urusan pemerintahan umum yang dilaksanakan penguasa atau regulator. Secara hierarki, proses tersebut diturunkan ke kementerian teknis terkait atau pemda, hingga titik akhirnya kepada satuan teknis (satker).

Demikian halnya dengan BUMN, pemeriksaan dimulai dari identifikasi urusan bisnis (profit motif) BUMN, dilanjutkan dengan pelaksana yang merupakan pengusaha atau operator BUMN yang diawasi Kementerian BUMN, hingga akhirnya kepada BUMN yang bersangkutan.

Khusus untuk pemeriksaan terhadap BUMN, BPK lebih banyak menekankan kepada pemeriksaan kinerja dan PDTT. Hal ini didasari pemirikan pada dasarnya pemeriksaan keuangan terhadap BUMN lebih banyak dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP).

Selama periode 2010-2012, BPK telah melaksanakan empat kali pemeriksaan keuangan pada 2010 dan satu pemeriksaan pada 2012. BPK juga melakukan enam pemeriksaan kinerja terhadap BUMN pada 2010, 11 pemeriksaan pada 2011, dan 11 pemeriksaan pada 2012.

Jumlah PDTT jauh lebih banyak dibandingkan pemeriksaan keuangan dan kinerja. BPK melakukan 38 PDTT pada 2010, meningkat menjadi 72 PDTT pada 2011 dan menjadi 56 PDTT pada 2012. Secara total, BPK telah melakukan 48 pemeriksaan pada 2010, atau tersampel 33,1 persen dari total BUMN yang ada. Pada 2011 dilakukan 83 pemeriksaan, atau 57,64 persen dari total 144 BUMN. Pada 2012, sebanyak 68 dari 144 BUMN atau 47,22 persen.

Pemeriksaan yang dilakukan BPK pada dasarnya untuk membandingkan kriteria dengan pelaksanaannya. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan harus ditindaklanjuti auditee paling lambat 60 hari setelah diterbitkannya LHP. Hasil pemeriksaan BPK yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi (tipikor) akan ditindaklanjuti aparat penegak hukum (APH) baik KPK, kepolisian, maupun kejaksaan.

Selama 10 tahun dari 2003 hingga 2013, BPK telah melimpahkan 430 temuan kepada APH dengan perkiraan kerugian negara Rp 32,4 triliun dan US$ 840 juta. Khusus untuk BUMN, BPK telah melimpahkan 116 temuan kepada APH dengan perkiraan nilai kerugian negara Rp 26,9 triliun dan US$ 793 juta.

Menutup Celah

Meskipun BPK memiliki kewenangan luas dalam memeriksa, bukan berarti lembaga ini menjadi lembaga yang nirkontrol atau digdaya, sehingga terbuka ruang yang lebar bagi penyalahgunaan kewenangan.

Argumentasi tersebut didasarkan atas beberapa tinjauan. Pertama, hasil pemeriksaan BPK dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai amanat UU. Kemudian, BPK juga diwajibkan memantau tindak lanjut atas hasil pemeriksaan dan memberitahukan hasilnya kepada DPR tiap semester.

Atas dasar inilah, lembaga legislatif sebagai representasi publik dapat menilai bagaimana kinerja dan kualitas audit yang dilakukan BPK. Apalagi, saat ini DPR memiliki Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang bertugas menelaah temuan hasil pemeriksaan BPK serta memberi masukan kepada BPK.

Kedua, dalam menjalankan tugas pemeriksaan, BPK terikat Kode Etik BPK, sebagaimana tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 2/2011. Jika terjadi indikasi penyalahgunaan kewenangan, BPK telah membentuk Majelis Kehormatan Kode Etik sesuai Peraturan BPK Nomor 1/2011. Majelis Kehormatan ini terdiri atas anggota BPK, kalangan akademikus, dan unsur profesi.

Ketiga, isu dugaan jual-beli opini WTP yang mengemuka sesungguhnya perlu diluruskan agar tidak dipahami salah kaprah. Opini WTP merupakan produk dari pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK, untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika laporan keuangan secara keseluruhan sudah disajikan sesuai SAP, BPK akan memberikan opini WTP. Jadi, pemberian opini WTP bukan berarti secara serta merta entitas yang diperiksa bersih dari indikasi korupsi.

Selain memeriksa laporan keuangan, BPK juga melaksanakan pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan kinerja bertujuan menilai kinerja lembaga apakah sudah ekonomis, efisien, dan efektif. PDTT adalah pemeriksaan investigatif yang bertujuan menilai apakah suatu kegiatan terendus korupsi atau tidak.

Sistem Pencegahan

Kita sepakat, korupsi merupakan kejahatan serius (extraordinary crimes), sehingga diperlukan pula tindakan yang luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan korupsi harus dilakukan serempak dan terintegrasi dalam suatu sistem monitoring yang kuat.

Saat ini, BPK berinisiatif membangun pusat data yang dibangun dengan menggabungkan data (dokumen) dengan cara mapping, matching, dan converting dari seluruh entitas BPK. Melalui pusat data BPK, para pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan secara elektronik atau e-audit.

E-audit merupakan sistem kontrol yang efektif dan efisien mencegah sejak dini potensi penyimpangan dan kecurangan (fraud). Melaui sistem ini, semua data akan tersaji dalam pusat data. Seluruh transaksi akan disimpan dalam pusat data yang dapat diakses BPK dan auditee setiap saat.

Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas terwujud melalui monitoring seperti adanya CCTV keuangan negara. Korupsi dapat dicegah dan diberantas melalui sistem ini. Sistem ini juga dapat menjaga objektivitas hasil pemeriksaan karena mencegah terjadinya pertemuan-pertemuan yang tidak perlu antara auditor dan auditee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar