Membedah
Manifesto Partai Pengusung
Qusthan
Firdaus ; Dosen Tidak Tetap di Universitas Surya
|
KOMPAS,
03 Juni 2014
DUA calon presiden dan wakilnya
sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum dan lolos pemeriksaan
kesehatan. Prabowo Subianto sebagai calon presiden menggandeng Hatta Rajasa
dan Joko Widodo menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Saatnya kita, para
pemilih, menguji tingkat konsistensi langkah politis mereka dengan manifesto
perjuangan partai pengusungnya.
Dua calon wakil presiden pernah
berada di pemerintahan. Kalau Jusuf Kalla pernah menjadi wakil presiden SBY
periode 2004-2009, Hatta Rajasa adalah Menko Perekonomian periode 2009-2014,
yang kemudian mengundurkan diri setelah mencalonkan diri.
Partai Gerindra memiliki
manifesto yang menyatakan bahwa partainya tampil di pentas demokrasi untuk
perubahan kepemimpinan nasional dan perubahan tata laksana penyelenggaraan
negara (halaman 5). Dengan menggandeng Hatta, jika menang dalam pilpres,
Prabowo akan melanjutkan tata laksana penyelenggaraan negara.
Ibarat kereta, Prabowo hanya
akan menjadi lokomotif pengganti, sedangkan gerbongnya tetap berisi tata
laksana penyelenggaraan negara yang meminjam istilah Prabowo adalah
neoliberal. Oleh karena itu, Prabowo dan Gerindra sesungguhnya sedang
mengkhianati manifesto mereka sendiri.
Sementara itu, program PDI-P
yang harus dijalankan Jokowi-JK jika menang adalah mewujudkan negara yang
berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian
Indonesia. Hal ini sejalan dengan program PDI-P secara keseluruhan, terutama
dari sisi ekonomi, yang berkeinginan membangun perekonomian berbasis industri
yang mampu memenuhi baik kebutuhan nasional maupun ekspor secara
berkelanjutan dengan barang dan jasa yang kompetitif, unggul, relatif murah,
dan memenuhi kebutuhan pasar.
Pemberantasan korupsi
Di sisi pemberantasan korupsi,
manifesto menyatakan bahwa pada dasarnya pemberantasan korupsi yang
terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, diiringi perbaikan
sistem birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum secara tegas (halaman 33).
Sekurangnya terdapat dua jenis
sesat pikir dalam pernyataan tersebut, yaitu question-begging danignoratio elenchi. Premis tersebut
menimbulkan pertanyaan lanjutan seperti apa dasar argumentasi bahwa
peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan dasar terpenting bagi
pemberantasan korupsi?
Selain itu, bukankah para koruptor yang dicokok KPK
merupakan golongan kelas menengah ke atas yang sudah sangat sejahtera? Ini
yang disebut question-begging.
Selain itu, proses penarikan
kesimpulan berlangsung secara tidak memadai (ignoratio elenchi). Kesimpulan bahwa dasar terpenting
pemberantasan korupsi ialah peningkatan kesejahteraan rakyat tidak dilengkapi
oleh premis mengenai penegakan hukum serta perbaikan birokrasi yang memadai.
Sebagai tambahan, tidak relevan
untuk mengaitkan antara, di satu sisi, gerakan pemberantasan korupsi dengan,
di sisi lain, ikhtiar meningkatkan kesejahteraan. Fakta bahwa jumlah kasus
korupsi di negara sejahtera (beberapa negara Skandinavia) lebih rendah
ketimbang negara berkembang tidak otomatis memosisikan kesejahteraan sebagai
kunci bagi pemberantasan korupsi.
Sebaliknya, dalam program
Jokowi-JK, pemberantasan korupsi dimulai dengan kesadaran bahwa model
bagi-bagi kursi ke partai dalam kabinet yang sedang berjalan ternyata menjadi
ajang subur korupsi. Karena itu, sejak awal PDI-P dan partai pendukungnya
memilih mengembalikan kabinet ke sistem presidensial dan mengadili para
koruptor.
Pengadilan HAM
Ketiga, isu pengadilan HAM,
kemanusiaan, dan hukum. Terdapat sesat pikir serupa dalam pernyataan, ”Hukum
dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah.
Maka, adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan)” (halaman 34).
Premis pertama terkesan
menunjukkan keberpihakan Gerindra kepada teori hukum kodrat tetapi sekaligus
menafikan eksistensi dari positivisme legal. Yang terakhir ini mendasarkan
isi dan eksistensi hukum pada fakta sosial. Fakta sosial menunjukkan bahwa
pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi juga secara
organisasional. Akibatnya, menggunakan teori hukum kodrat guna mengabaikan
pentingnya pengadilan HAM tentu menyesatkan (ignorantio elenchi). Ringkasnya, pengadilan HAM (internasional)
tetap penting karena negara yang diduga melanggar HAM perlu untuk diadili.
Ketiga, seputar isu kemerdekaan
serta kemurnian beragama. Manifesto menyuratkan, ”Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib
mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga
dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari
segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama” (halaman
40).
Tampaknya ada ketidakpahaman
bahwa akar dari kemerdekaan beragama ialah hak asasi manusia. Hak ialah semua
yang melekat secara moral dan legal pada diri manusia. Dengan demikian, warga
negara boleh untuk tidak menggunakan apa yang melekat pada dirinya, termasuk
hak untuk beribadah serta beragama. Di sisi lain, negara hanya menjamin
kebebasan bagi mereka yang ingin menggunakan hak untuk beragama dan
beribadah.
Jika
sebuah manifesto tidak tahan uji, apa yang tertulis di dalamnya tidak layak
untuk diperjuangkan. Selanjutnya, capres pun perlu konsisten dengan manifesto
partainya agar rakyat percaya bahwa presidennya akan konsisten dengan UUD di
kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar