Jumat, 06 Juni 2014

Membedah Manifesto Partai Pengusung

Membedah Manifesto Partai Pengusung

Qusthan Firdaus  ;   Dosen Tidak Tetap di Universitas Surya
KOMPAS,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DUA calon presiden dan wakilnya sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum dan lolos pemeriksaan kesehatan. Prabowo Subianto sebagai calon presiden menggandeng Hatta Rajasa dan Joko Widodo menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Saatnya kita, para pemilih, menguji tingkat konsistensi langkah politis mereka dengan manifesto perjuangan partai pengusungnya.
Dua calon wakil presiden pernah berada di pemerintahan. Kalau Jusuf Kalla pernah menjadi wakil presiden SBY periode 2004-2009, Hatta Rajasa adalah Menko Perekonomian periode 2009-2014, yang kemudian mengundurkan diri setelah mencalonkan diri.

Partai Gerindra memiliki manifesto yang menyatakan bahwa partainya tampil di pentas demokrasi untuk perubahan kepemimpinan nasional dan perubahan tata laksana penyelenggaraan negara (halaman 5). Dengan menggandeng Hatta, jika menang dalam pilpres, Prabowo akan melanjutkan tata laksana penyelenggaraan negara.

Ibarat kereta, Prabowo hanya akan menjadi lokomotif pengganti, sedangkan gerbongnya tetap berisi tata laksana penyelenggaraan negara yang meminjam istilah Prabowo adalah neoliberal. Oleh karena itu, Prabowo dan Gerindra sesungguhnya sedang mengkhianati manifesto mereka sendiri.

Sementara itu, program PDI-P yang harus dijalankan Jokowi-JK jika menang adalah mewujudkan negara yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian Indonesia. Hal ini sejalan dengan program PDI-P secara keseluruhan, terutama dari sisi ekonomi, yang berkeinginan membangun perekonomian berbasis industri yang mampu memenuhi baik kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan dengan barang dan jasa yang kompetitif, unggul, relatif murah, dan memenuhi kebutuhan pasar.

Pemberantasan korupsi

Di sisi pemberantasan korupsi, manifesto menyatakan bahwa pada dasarnya pemberantasan korupsi yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, diiringi perbaikan sistem birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum secara tegas (halaman 33).

Sekurangnya terdapat dua jenis sesat pikir dalam pernyataan tersebut, yaitu question-begging danignoratio elenchi. Premis tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan seperti apa dasar argumentasi bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan dasar terpenting bagi pemberantasan korupsi? 
Selain itu, bukankah para koruptor yang dicokok KPK merupakan golongan kelas menengah ke atas yang sudah sangat sejahtera? Ini yang disebut question-begging.

Selain itu, proses penarikan kesimpulan berlangsung secara tidak memadai (ignoratio elenchi). Kesimpulan bahwa dasar terpenting pemberantasan korupsi ialah peningkatan kesejahteraan rakyat tidak dilengkapi oleh premis mengenai penegakan hukum serta perbaikan birokrasi yang memadai.

Sebagai tambahan, tidak relevan untuk mengaitkan antara, di satu sisi, gerakan pemberantasan korupsi dengan, di sisi lain, ikhtiar meningkatkan kesejahteraan. Fakta bahwa jumlah kasus korupsi di negara sejahtera (beberapa negara Skandinavia) lebih rendah ketimbang negara berkembang tidak otomatis memosisikan kesejahteraan sebagai kunci bagi pemberantasan korupsi.

Sebaliknya, dalam program Jokowi-JK, pemberantasan korupsi dimulai dengan kesadaran bahwa model bagi-bagi kursi ke partai dalam kabinet yang sedang berjalan ternyata menjadi ajang subur korupsi. Karena itu, sejak awal PDI-P dan partai pendukungnya memilih mengembalikan kabinet ke sistem presidensial dan mengadili para koruptor.

Pengadilan HAM

Ketiga, isu pengadilan HAM, kemanusiaan, dan hukum. Terdapat sesat pikir serupa dalam pernyataan, ”Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan)” (halaman 34).

Premis pertama terkesan menunjukkan keberpihakan Gerindra kepada teori hukum kodrat tetapi sekaligus menafikan eksistensi dari positivisme legal. Yang terakhir ini mendasarkan isi dan eksistensi hukum pada fakta sosial. Fakta sosial menunjukkan bahwa pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi juga secara organisasional. Akibatnya, menggunakan teori hukum kodrat guna mengabaikan pentingnya pengadilan HAM tentu menyesatkan (ignorantio elenchi). Ringkasnya, pengadilan HAM (internasional) tetap penting karena negara yang diduga melanggar HAM perlu untuk diadili.

Ketiga, seputar isu kemerdekaan serta kemurnian beragama. Manifesto menyuratkan, ”Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama” (halaman 40).

Tampaknya ada ketidakpahaman bahwa akar dari kemerdekaan beragama ialah hak asasi manusia. Hak ialah semua yang melekat secara moral dan legal pada diri manusia. Dengan demikian, warga negara boleh untuk tidak menggunakan apa yang melekat pada dirinya, termasuk hak untuk beribadah serta beragama. Di sisi lain, negara hanya menjamin kebebasan bagi mereka yang ingin menggunakan hak untuk beragama dan beribadah.

Jika sebuah manifesto tidak tahan uji, apa yang tertulis di dalamnya tidak layak untuk diperjuangkan. Selanjutnya, capres pun perlu konsisten dengan manifesto partainya agar rakyat percaya bahwa presidennya akan konsisten dengan UUD di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar