Di
Bungamayang Lengan Itu Tergores
Dahlan
Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 09 Juni 2014
Setelah
meninjau pembangunan kapal-kapal TNI-AL di PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari
(Persero) atau PT DKB Selasa lalu, besoknya saya ke Lampung Utara. Yakni
setelah sidang kabinet. Saya ingin segera melihat hasil pembaharuan yang
dilakukan manajemen Pabrik Gula (PG) Bungamayang di lingkungan PTPN VII
(Persero).
Kapal-kapal
TNI-AL yang saya tinjau itu sendiri tidak ada pilihan lain. Harus bisa
diperagakan pada HUT TNI tanggal 5 Oktober depan. Secara teknis hampir tidak
ada persoalan. Kapal sudah hampir jadi. Tapi, karena dana pembangunan kapal
ini berasal dari APBN, ada saja persoalan kelambatan pencairannya. Padahal,
peralatan-peralatan yang harus diimpor tidak akan dikirim kalau belum ada
pembayaran. Seperti alat navigasi untuk pendaratan helikopter di kapal itu.
Maka,
saat peninjauan, dalam rapat di ruang kemudi yang lagi dicat di tingkat 5
kapal itu, saya putuskan untuk mencari terobosan. Cari bridging: pinjaman ke
bank BUMN. Tidak perlu ribut. Cekcok hanya akan bikin proyek lebih terlambat.
Bank Mandiri setuju. Biarlah DKB menanggung bunga bridging asal proyek bisa
selesai. Dengan demikian, DKB bisa merebut kepercayaan untuk mendapat
order-order pembuatan kapal berikutnya.
Kalau di
DKB harus banyak memeras otak, tiba di Lampung Utara, semuanya serba
menyenangkan. Saya lihat program-program pembaharuan PG Bungamayang berjalan
baik. Bahkan sangat baik. Melebihi yang disepakati dua tahun lalu. Baik saat
pembahasan di Surabaya, di Jakarta, di Semarang, maupun saat pembahasan
dengan petani tebu di Lampung.
Agar
tidak keburu magrib, Dirut PTPN VII Kusumandaru N.S. menawarkan untuk
langsung meninjau kebun. Saya ambil alih kemudi jip agar saya bisa meninjau
bagian mana saja yang saya kehendaki. Kebun ini sangat luas: 18.000 hektare
(ha). Yang ditanami tebu saja 8.000 ha.
Karnoto,
general manager (GM) PG Bungamayang, duduk di sebelah saya untuk menjelaskan
semua pelaksanaan program. Terutama apa yang dilakukan agar produksi tebu
bisa meningkat. Kalau bisa menjadi 100 ton per ha agar bisa sama dengan PG
swasta di Lampung yang dikenal sebagai PG terbaik di Indonesia saat ini.
Perombakan
utama yang dilakukan adalah: perubahan total sistem irigasi. Dari menyerah
begitu saja kepada hujan menjadi sistem overhead irrigation atau yang juga
biasa disebut sistem tornado. Untuk itu, Bungamayang harus membangun
danau-danau kecil atau embung-embung besar di bagian-bagian terendah kebun
tersebut. Dari situlah air disedot untuk dikirim ke mesin-mesin tornado besar
yang secara otomatis menyemprotkan air secara berputar.
Perombakan
lainnya: penetapan bibit yang tepat untuk panen awal, panen tengah, dan panen
akhir. Yang juga penting adalah disiplin pemupukan: jumlahnya maupun hari
pemupukannya.
Intinya:
disiplin, rajin, dan tepat.
Hasilnya
luar biasa. PG BUMN tidak lagi malu oleh ejekan abadi: selalu jauh tertinggal
dari swasta. PG Bungamayang di PTPN VII Lampung sudah bisa membuktikan tidak
harus kalah dengan swasta.
Tahun
lalu PG Krebet Baru dari grup PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)
sebenarnya juga sudah membuktikan bisa mengalahkan swasta tetangganya di
Malang. Belum pernah seumur hidupnya Krebet Baru bisa lebih baik daripada
swasta. Hanya masih kalah dengan PG swasta yang di Lampung itu. Ini karena
Krebet Baru tidak memiliki kebun sendiri. Tebunya 100 persen dari petani tebu
di Malang.
Saya
memang terus memacu mereka untuk bersaing secara all-out. Logikanya
sederhana: kalau swasta bisa, mengapa BUMN tidak bisa? Kalau luar negeri
bisa, kenapa kita tidak?
Saya
mengucapkan terima kasih kepada manajemen PG Gunung Madu yang telah
mengizinkan staf Bungamayang belajar di beberapa bidang. Hasilnya nyata: Bungamayang
bisa menyamai Gunung Madu. Inilah prestasi terbaik PG itu sejak didirikan
pada 1984.
Saat
saya meninjau pabrik pun, semua staf mengatakan, ”Sejak saya bekerja di sini,
inilah prestasi terbaik.” Mereka mengatakan itu dengan sinar mata yang berbinar-binar.
Malam
itu saya dan para pejabat eselon satu Kementerian BUMN tidur di mes pabrik.
Usai makan malam saya manfaatkan untuk dialog dengan petani tebu. Para petani
pun terbawa maju. ”Sekarang kami sepenuhnya ikut sistem BUMN,” ujar Bambang
Supran yang memiliki kebun tebu 5 ha dan kebun singkong 3,5 ha. ”Dulu kami menggunakan bibit yang kami
sukai. Sekarang kami tanam bibit sesuai dengan yang diplot Bungamayang,”
katanya.
Bambang
dkk juga disiplin dan terjun sendiri ke kebun. ”Lihat ini, Pak, tergores-gores,” katanya sambil menunjukkan
lengannya yang penuh tanda kena goresan daun tebu.
”Goresan
di lengan” itulah sebenarnya intinya: berkebun dengan sungguh-sungguh. Tidak
hanya menonton dari jauh bagaimana tebu tumbuh sendiri. ”Kebun kami sudah
bisa menghasilkan 100 ton per hektare,” ungkap Bambang, petani yang juga
sarjana pertanian itu.
Target
bisa 100 ton per ha inilah yang akan jadi sasaran semua kebun tebu. Milik
BUMN maupun petani yang kredit tanamannya dijamin PG milik BUMN. Caranya
tidak bisa lain kecuali bibitnya harus unggul, irigasinya harus baik,
pemupukannya harus tepat dan cukup, serta pemeliharaannya harus baik. Dengan
kesungguhan yang tinggi, pabrik akan menerima bahan baku tebu yang ideal.
”Di Bungamayang kami sudah mencapai rendemen 9,1,” ujar
Karnoto.
Dengan
sukses di Bungamayang ini, mau tidak mau PG BUMN yang juga memiliki kebun
sendiri harus bisa mencapai prestasi itu. Misalnya PG Cinta Manis di Sumatera
Selatan, Jatiroto di Jawa Timur, dan Jati Tujuh di Subang (Jawa Barat). Tidak
ada alasan lagi. Bungamayang bisa, berarti yang lain juga harus bisa.
Tanda ke
arah sana sudah kelihatan. Bahkan, seperti PG milik RNI di Subang, karena
tidak mungkin membangun embung dalam jumlah yang banyak (kebunnya hanya 4.000
ha dan tanahnya rata), RNI mencoba menggunakan drip irrigation. Seperti di Israel atau Jordania. ”Tahun ini sudah 1.200 hektare yang
menggunakan sistem irigasi air menetes,” kata Ismed Hasan Putro, Dirut
RNI.
Hari itu, di bawah hujan renyai-renyai, saya lega meninggalkan Lampung
Utara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar