Masih
Ada Masyarakat Sipil
Mohamad
Didit Saleh ; Peneliti Pendidikan, Bahasa,
dan
Kebudayaan di Komunitas Kalimetro
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
Gambaran kondisi pelayanan
publik di Indonesia kebanyakan seperti ini: Pergi berobat ke rumah sakit,
tidak punya uang, tetapi harus membayar uang jaminan. Tanpa uang, tidak ada
pengobatan. Bahkan, setelah ada program jaminan sosial kesehatan, biaya
pengobatan tidak otomatis menjadi mudah buat rakyat.
Pelayanan publik didefinisikan
sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun
jasa publik yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, pemerintah
wajib mendorong pelayanan publik yang lebih baik. Untuk itu, pada 18 Juli
2009, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Kenyataannya, selama hampir lima
tahun UU Pelayanan Publik ditetapkan, masih banyak persoalan terkait
pelayanan publik. Misalnya, transportasi yang belum berkualitas, kualitas
jalan yang belum memadai bagi kelompok difabel, serta persoalan taman kota
yang tidak layak menjadi ruang publik.
Masyarakat Peduli Pelayanan
Publik (MP3) pernah merilis satu kajian bahwa pasca ditetapkannya UU
Pelayanan Publik pada 2009, hingga Desember 2013 ditemukan lebih dari 95
persen penyelenggara layanan publik yang tidak patuh terhadap UU Nomor
25/2009 itu. Indikator kajian ini berdasarkan lima mandat utama yang
termaktub dalam UU Pelayanan Publik yang masih rendah tingkat pelaksanaannya.
Lima mandat tersebut adalah: (1)
Penetapan standar pelayanan dan maklumat pelayanan; (2) Mekanisme pengaduan;
(3) Penguatan penyelenggara layanan; (4) Partisipasi dan pengawasan
masyarakat; dan (5) Pelayanan kelompok berkebutuhan khusus.
Membangun optimisme
Melihat temuan dan kondisi itu,
tidak elok apabila kita bersikap pesimistis, bahkan apatis, terhadap masa
depan kualitas pelayanan publik. Kita harus melihat potensi yang ada di
sekitar yang bisa membantu mendorong layanan publik agar lebih berkualitas.
Di saat pemerintah belum mampu
membangun kualitas layanan publik menjadi lebih baik, tidak sedikit kita
jumpai entitas kelompok masyarakat sipil secara konsisten mengampanyekan
isu-isu pelayanan publik. Misalnya, Koalisi Pejalan Kaki yang konsisten
mendorong hak para pejalan kaki, Persatuan Tuna Netra Indonesia yang selalu
mengampanyekan hak layanan yang mudah diakses oleh kaum difabel, hingga
Asosiasi Toilet Indonesia yang secara serius mendorong perbaikan fasilitas
layanan toilet umum.
Di tingkat daerah terdapat
banyak komunitas masyarakat sipil yang memberi perhatian penuh dan berupaya
mendorong pelayanan publik agar lebih baik. Misalnya, di Malang terdapat
Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) yang memantau penyelenggaraan
pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan Lombok Tengah, dengan aktivitas kader
posyandu untuk mendampingi dan memperbaiki gizi anak.
Di saat pejabat pemerintah
banyak dilanda korupsi, entitas masyarakat sipil masih mampu bangkit untuk
mendorong perubahan layanan menjadi lebih baik. Mereka bangkit dengan
kesadaran penuh dan bekerja karena panggilan jiwa.
Para pegiat komunitas yang
tumbuh dan berkembang itu mempunyai mimpi yang sama untuk membangun pelayanan
publik yang lebih baik. Pelayanan pendidikan yang adil, pengurusan hak identitas
yang cepat dan murah, hingga pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif.
Muara dari perjuangan para
pegiat masyarakat sipil ini tidak berbeda dengan cita-cita luhur pendiri
bangsa. Sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
alinea keempat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Merawat konsistensi
Aktivitas komunitas masyarakat
sipil yang tumbuh dan berkembang tersebut sudah sepatutnya mendapatkan
apresiasi publik dan pemerintah. Dengan demikian, mereka dapat menjaga
konsistensi para pegiat sosial, menginspirasi publik lebih luas, dan
memperluas sikap optimisme bahwa masih ada jalan untuk menuju kesejahteraan.
Dengan demikian, ada beberapa
poin alternatif yang harus dilakukan negara untuk merawat konsistensi
masyarakat sipil dalam mendorong pelayanan publik menjadi lebih baik.
Pertama, negara tidak usah lagi
mengatur komunitas masyarakat sipil dengan dalih akan mengganggu stabilitas
politik dan ekonomi. Hal ini antara lain dilakukan dengan menetapkan UU Nomor
17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pengaturan ini justru akan
mengganggu ruang ekspresi dari kehidupan komunitas yang tumbuh dan
berkembang. Oleh karena itu, UU Nomor 17 Tahun 2013 seharusnya dibatalkan
pemerintah.
Kedua, publik dan pemerintah
sepatutnya memberikan ruang dialog kepada mereka untuk berbagi gagasan dan
pengetahuan. Gagasan dan pengalaman mereka bisa menginspirasi publik luas dan
menghilangkan ”stigma negatif” pemerintah terhadap aktivitas masyarakat
sipil.
Momentum
Pemilihan Presiden 2014 ini diharapkan mempertimbangkan kedua poin alternatif
di atas sebagai salah satu agenda pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian,
kita bisa memiliki pemerintah yang demokratis, tanpa korupsi, dan
mengapresiasi gagasan masyarakat sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar