MENYAMBUT
TAHUN KEDAULATAN RAKYAT
Alienasi
Kedaulatan Rakyat
Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
|
KOMPAS,
10 Juni 2014
Pengantar
Redaksi
Menandai peringatan Hari Kebangkitan Nasional,
Desk Opini "Kompas" bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia
(LMI) pada Rabu, 21 Mei 2014, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Pertama
2014 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema "Menyambut Tahun Kedaulatan
Rakyat", diskusi mengetengahkan pembicara Ignas Kleden (Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi/KID), Mochtar Pabottingi (LIPI), dan B Herry
Priyono (STF Driyarkara). Hasil diskusi dirangkum oleh Sri Palupi dan Chris
Panggabean dari LMI serta wartawan "Kompas", Salomo Simanungkalit,
yang diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
TAHUN
2014 disebut sebagai tahun politik Indonesia. Pada tahun ini, Indonesia
menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan presiden RI.
Pemilu
acap kali disebut sebagai pesta rakyat karena dengan memilih para wakil dan
presidennya, rakyat seolah-olah memiliki dan menjalankan kedaulatannya.
Padahal, dalam kenyataannya, pemilu tak lebih dari pertarungan para politisi
yang berebut posisi, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat,
melainkan untuk memperbesar peluang menjarah aset dan hak-hak rakyat.
Rakyat
hanya konstituen mereka sebelum pemilu. Seusai pemilu, konstituen mereka
bukan lagi rakyat, melainkan pemodal, partai, para kroni, keluarga, dan
kerabat dekat. Demokrasi yang semestinya berbanding lurus dengan aktualisasi
prinsip kedaulatan rakyat dalam kenyataannya terdistorsi oleh penyalahgunaan
kekuasaan. Rakyat terperangkap dalam pembodohan politik dan teralienasi dari
prinsip dan praktik kedaulatan.
Keterasingan rakyat
Keterasingan
rakyat dari prinsip dan praktik kedaulatan telah berlangsung selama 55 tahun
terhitung sejak berakhirnya Demokrasi Parlementer sampai era Reformasi.
Sedemikian lamanya alienasi ini terjadi sampai-sampai rakyat menerima
ketidakberdaulatannya sebagai yang normal dan terberi. Stiker Piye khabare,
le?, yang luas beredar dan banyak terpasang di belakang truk-truk, merupakan
ekspresi betapa dalam rakyat terbenam dalam kubang kepandiran politik.
Alienasi
kedaulatan rakyat bisa ditelusuri akar-akarnya pada kenyataan perpolitikan
Indonesia pasca kemerdekaan. Pertama, begitu singkatnya momen dan sistem
demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat, momen ketika rakyat memiliki
pengalaman akan kedaulatan ini hanya berlangsung selama tak lebih dari
sembilan tahun, yaitu pada periode Demokrasi Parlementer (1950-1958).
Pada
periode itu demokrasi dinilai berjalan lurus tanpa distorsi sistemik. Pada
saat itu pemilihan umum benar-benar pemilihan umum, bukan proses jual beli
suara rakyat dan rekayasa penghitungan suara. Partai politik benar-benar
partai politik yang mengandalkan hasil iuran para anggotanya bukan penjarah
dana-dana publik. Anggota parlemen benar-benar merupakan wakil-wakil rakyat
yang kompeten dan andal dalam integritas bukan kumpulan calo proyek dan
pedagang pasal undang-undang.
Kedua,
berlangsungnya sistem demokrasi yang merampas kedaulatan rakyat, baik secara
terselubung maupun terangterangan. Perampasan kedaulatan ini berlangsung
dalam waktu lama dan berkesinambungan. Dimulai dari era Orde Lama dengan
Demokrasi Terpimpin yang otoriter dan dilanjutkan dengan era Orde Baru dengan
demokrasi karikatural yang sarat rekayasa dan penindasan.
Ketiga,
diabaikan atau bahkan ditinggalkannya prinsip kebangsaan, cita-cita
kemerdekaan, dan pemihakan kepada bangsa sendiri. Ini terjadi di masa Orde
Baru dan terus berlanjut di era Reformasi. Kebijakan politik Orde Baru lebih
menekankan pada state building daripada nation building, sementara kehidupan
politik pada era Reformasi kian meninggalkan prinsip kebangsaan dan
kesejahteraan rakyat.
Era
Reformasi pada kenyataannya bukanlah anti tesis dari Orde Baru karena yang
berganti pada era Reformasi hanya konstitusi beserta rangkaian undang-undang,
sementara personalia rezim Orde Baru (minus Soeharto) beserta mesin dan
jaringan politiknya serta borok-boroknya tetap menguasai pemerintahan, mulai
dari tingkat pusat sampai daerah.
Bedanya
dengan era Orde Baru, menjauhnya kedaulatan rakyat di era Reformasi terjadi
bukan karena direncanakan, melainkan karena kotor, semrawut, dan tak terkontrolnya
mekanisme politik yang mengatasnamakan demokrasi. Supremasi hukum berada di
titik nadir di mana rangkaian pelanggaran hak asasi manusia terjadi tanpa
penyelesaian hukum serta korupsi berlangsung sedemikian masif dan meluas
hingga memangsa habis hak-hak dan aset rakyat.
Keempat,
krisis ekonomi, liberalisasi ekonomi, dan kooptasi kekuasaan negara oleh
kekuatan ekonomi oligarki dan konglomerasi. Kekuatan ekonomi oligarki dan
konglomerasi ini hanya mengejar keuntungan dan tak peduli pada ikatan
kebangsaan apalagi kedaulatan rakyat dan cita-cita kemerdekaan.
Potensi rakyat
Kedaulatan
rakyat hanya mungkin bertumbuh pada mereka yang pada dasarnya berdaulat.
Mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara, rakyat disebut berdaulat apabila
tidak berada di bawah penjajahan (independen), tidak gampang dibodohi (self determination), dan tidak hidup
dalam keterampasan (self reliance).
Yang terjadi dalam kenyataannya, potensi rakyat untuk berdaulat kian tergerus
oleh perampasan aset-aset ekonomi rakyat, rendahnya kualitas pendidikan
akibat bobroknya sistem penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sistem
legislasi atau perundang-perundangan yang tidak berpihak pada kepentingan
rakyat dan kepentingan nasional.
Perampasan
aset-aset ekonomi rakyat itu sendiri telah berlangsung ratusan tahun di bawah
sistem dan kebijakan ekonomi Hindia Belanda dan berlanjut di bawah sistem dan
kebijakan ekonomi Orde Baru. Sistem ekonomi Hindia Belanda dan Orde Baru
menjadikan sektor-sektor ekonomi tradisional rakyat—khususnya pertanian dan industri
kecil—sebagai hamba dari sektor-sektor ekonomi perkotaan, modern, bermodal
besar, dan terutama asing. Atas nama pembangunan, aset-aset kedaulatan rakyat
diserahkan pada kekuatan oligarki dan konglomerasi.
Krisis
ekonomi terburuk pada tahun 1998 dan resep yang dipaksakan IMF menjadikan
Indonesia sebagai obyek jarahan kapitalisme dunia. Pada masa ini terjadi
gelombang besar pengulian rakyat. Penggadaian aset-aset ekonomi nasional,
rangkaian konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri,
pertambangan, perkebunan, rantai kolusi politik dan bisnis, deretan ”hak-hak”
monopoli dan lisensi istimewa, bangunan military business complex, pembiaran
urusan pengiriman TKI sepenuhnya di tangan swasta, semuanya bekerja merampas
landasan ekonomi bagi kedaulatan rakyat dan menjadikan Indonesia bangsa kuli
dan kuli di antara bangsa-bangsa. Tergadainya kedaulatan ekonomi Indonesia
berarti perampasan kedaulatan rakyat karena tak ada kedaulatan rakyat tanpa
kedaulatan ekonomi.
Dua
kondisi yang paling telak memangkas potensi rakyat untuk berdaulat adalah
buruknya penyelenggaraan pendidikan nasional dan sistem legislasi atau
perundang-undangan yang tidak berpihak pada rakyat dan pada kepentingan
nasional. Penyelenggaraan pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan
sebagai obyek politik cenderung menghasilkan bukan kumulasi pencerdasan
kehidupan rakyat, melainkan kumulasi pembodohan dan pembejatan.
Sistem
ujian nasional, misalnya, hingga saat ini masih terus menggalakkan dan
meluaskan praktik pelembagaan kebiasaan menipu diri sendiri di kalangan
pendidik, peserta didik, dan lembaga pendidikan. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan serta sekolah di seluruh Indonesia secara terus-menerus menjejali
generasi muda dengan semangat keculasan, oportunisme, serta kerusakan
karakter dan budi pekerti. Penyelenggaraan pendidikan menekankan ketaatan
pada kekuasaan dan bukan ketaatan pada akal sehat. Dalam sistem seperti ini,
membangkitkan kedaulatan rakyat tak ubahnya seperti menegakkan benang basah.
Buruknya
penyelenggaraan pendidikan nasional berjalan seiring dengan buruknya sistem
legislasi dan perundang-undangan. Sistem legislasi dan perundang-undangan
tidak berpihak pada kepentingan nasional dan secara telanjang merugikan
rakyat dan bangsa sendiri. Para penyelenggara negara habis-habisan
mengkhianati rakyat melalui pengkhianatan mereka terhadap konstitusi dan
cita-cita kemerdekaan.
Akhir
kata, dari rakyat yang pendidikannya dirusak secara terlembaga dan sistemik
dan dari bangsa yang hak-hak konstitusionalnya dirampas secara kasar dan
telanjang, mustahil bangkit rakyat yang berdaulat. Kedaulatan rakyat hanya
mungkin dibangkitkan dengan mengoreksi secara terus-menerus laku-laku khianat
dalam ranah negara. Karena itu, pemilihan presiden menjadi momen penting
merebut kembali kedaulatan rakyat.
Kita butuh pemimpin yang setia pada konstitusi dan mampu mengembalikan
rakyat kepada posisinya yang tertinggi. Bagi bangsa yang beragam seperti
Indonesia, potensi kedaulatan rakyat hanya mungkin ditumbuhkan melalui
demokrasi deliberatif dan bukan sistem militeristik. Sejarah mengajarkan
bahwa penerapan sistem militeristik pada bangsa yang beragam hanya akan
melahirkan bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar