Jumat, 13 Juni 2014

Alienasi Kedaulatan Rakyat

MENYAMBUT TAHUN KEDAULATAN RAKYAT

Alienasi Kedaulatan Rakyat

Laporan Diskusi Panel Kompas-LMI
KOMPAS,  10 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pengantar Redaksi

Menandai peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Desk Opini "Kompas" bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada Rabu, 21 Mei 2014, menyelenggarakan Diskusi Panel Seri Pertama 2014 di Bentara Budaya Jakarta. Dengan tema "Menyambut Tahun Kedaulatan Rakyat", diskusi mengetengahkan pembicara Ignas Kleden (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi/KID), Mochtar Pabottingi (LIPI), dan B Herry Priyono (STF Driyarkara). Hasil diskusi dirangkum oleh Sri Palupi dan Chris Panggabean dari LMI serta wartawan "Kompas", Salomo Simanungkalit, yang diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.


TAHUN 2014 disebut sebagai tahun politik Indonesia. Pada tahun ini, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan presiden RI.

Pemilu acap kali disebut sebagai pesta rakyat karena dengan memilih para wakil dan presidennya, rakyat seolah-olah memiliki dan menjalankan kedaulatannya. Padahal, dalam kenyataannya, pemilu tak lebih dari pertarungan para politisi yang berebut posisi, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, melainkan untuk memperbesar peluang menjarah aset dan hak-hak rakyat.

Rakyat hanya konstituen mereka sebelum pemilu. Seusai pemilu, konstituen mereka bukan lagi rakyat, melainkan pemodal, partai, para kroni, keluarga, dan kerabat dekat. Demokrasi yang semestinya berbanding lurus dengan aktualisasi prinsip kedaulatan rakyat dalam kenyataannya terdistorsi oleh penyalahgunaan kekuasaan. Rakyat terperangkap dalam pembodohan politik dan teralienasi dari prinsip dan praktik kedaulatan.

Keterasingan rakyat

Keterasingan rakyat dari prinsip dan praktik kedaulatan telah berlangsung selama 55 tahun terhitung sejak berakhirnya Demokrasi Parlementer sampai era Reformasi. Sedemikian lamanya alienasi ini terjadi sampai-sampai rakyat menerima ketidakberdaulatannya sebagai yang normal dan terberi. Stiker Piye khabare, le?, yang luas beredar dan banyak terpasang di belakang truk-truk, merupakan ekspresi betapa dalam rakyat terbenam dalam kubang kepandiran politik.

Alienasi kedaulatan rakyat bisa ditelusuri akar-akarnya pada kenyataan perpolitikan Indonesia pasca kemerdekaan. Pertama, begitu singkatnya momen dan sistem demokrasi yang menjamin kedaulatan rakyat, momen ketika rakyat memiliki pengalaman akan kedaulatan ini hanya berlangsung selama tak lebih dari sembilan tahun, yaitu pada periode Demokrasi Parlementer (1950-1958).

Pada periode itu demokrasi dinilai berjalan lurus tanpa distorsi sistemik. Pada saat itu pemilihan umum benar-benar pemilihan umum, bukan proses jual beli suara rakyat dan rekayasa penghitungan suara. Partai politik benar-benar partai politik yang mengandalkan hasil iuran para anggotanya bukan penjarah dana-dana publik. Anggota parlemen benar-benar merupakan wakil-wakil rakyat yang kompeten dan andal dalam integritas bukan kumpulan calo proyek dan pedagang pasal undang-undang.

Kedua, berlangsungnya sistem demokrasi yang merampas kedaulatan rakyat, baik secara terselubung maupun terangterangan. Perampasan kedaulatan ini berlangsung dalam waktu lama dan berkesinambungan. Dimulai dari era Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin yang otoriter dan dilanjutkan dengan era Orde Baru dengan demokrasi karikatural yang sarat rekayasa dan penindasan.

Ketiga, diabaikan atau bahkan ditinggalkannya prinsip kebangsaan, cita-cita kemerdekaan, dan pemihakan kepada bangsa sendiri. Ini terjadi di masa Orde Baru dan terus berlanjut di era Reformasi. Kebijakan politik Orde Baru lebih menekankan pada state building daripada nation building, sementara kehidupan politik pada era Reformasi kian meninggalkan prinsip kebangsaan dan kesejahteraan rakyat.

Era Reformasi pada kenyataannya bukanlah anti tesis dari Orde Baru karena yang berganti pada era Reformasi hanya konstitusi beserta rangkaian undang-undang, sementara personalia rezim Orde Baru (minus Soeharto) beserta mesin dan jaringan politiknya serta borok-boroknya tetap menguasai pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

Bedanya dengan era Orde Baru, menjauhnya kedaulatan rakyat di era Reformasi terjadi bukan karena direncanakan, melainkan karena kotor, semrawut, dan tak terkontrolnya mekanisme politik yang mengatasnamakan demokrasi. Supremasi hukum berada di titik nadir di mana rangkaian pelanggaran hak asasi manusia terjadi tanpa penyelesaian hukum serta korupsi berlangsung sedemikian masif dan meluas hingga memangsa habis hak-hak dan aset rakyat.

Keempat, krisis ekonomi, liberalisasi ekonomi, dan kooptasi kekuasaan negara oleh kekuatan ekonomi oligarki dan konglomerasi. Kekuatan ekonomi oligarki dan konglomerasi ini hanya mengejar keuntungan dan tak peduli pada ikatan kebangsaan apalagi kedaulatan rakyat dan cita-cita kemerdekaan.

Potensi rakyat

Kedaulatan rakyat hanya mungkin bertumbuh pada mereka yang pada dasarnya berdaulat. Mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara, rakyat disebut berdaulat apabila tidak berada di bawah penjajahan (independen), tidak gampang dibodohi (self determination), dan tidak hidup dalam keterampasan (self reliance). Yang terjadi dalam kenyataannya, potensi rakyat untuk berdaulat kian tergerus oleh perampasan aset-aset ekonomi rakyat, rendahnya kualitas pendidikan akibat bobroknya sistem penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sistem legislasi atau perundang-perundangan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.

Perampasan aset-aset ekonomi rakyat itu sendiri telah berlangsung ratusan tahun di bawah sistem dan kebijakan ekonomi Hindia Belanda dan berlanjut di bawah sistem dan kebijakan ekonomi Orde Baru. Sistem ekonomi Hindia Belanda dan Orde Baru menjadikan sektor-sektor ekonomi tradisional rakyat—khususnya pertanian dan industri kecil—sebagai hamba dari sektor-sektor ekonomi perkotaan, modern, bermodal besar, dan terutama asing. Atas nama pembangunan, aset-aset kedaulatan rakyat diserahkan pada kekuatan oligarki dan konglomerasi.

Krisis ekonomi terburuk pada tahun 1998 dan resep yang dipaksakan IMF menjadikan Indonesia sebagai obyek jarahan kapitalisme dunia. Pada masa ini terjadi gelombang besar pengulian rakyat. Penggadaian aset-aset ekonomi nasional, rangkaian konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri, pertambangan, perkebunan, rantai kolusi politik dan bisnis, deretan ”hak-hak” monopoli dan lisensi istimewa, bangunan military business complex, pembiaran urusan pengiriman TKI sepenuhnya di tangan swasta, semuanya bekerja merampas landasan ekonomi bagi kedaulatan rakyat dan menjadikan Indonesia bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa. Tergadainya kedaulatan ekonomi Indonesia berarti perampasan kedaulatan rakyat karena tak ada kedaulatan rakyat tanpa kedaulatan ekonomi.

Dua kondisi yang paling telak memangkas potensi rakyat untuk berdaulat adalah buruknya penyelenggaraan pendidikan nasional dan sistem legislasi atau perundang-undangan yang tidak berpihak pada rakyat dan pada kepentingan nasional. Penyelenggaraan pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan sebagai obyek politik cenderung menghasilkan bukan kumulasi pencerdasan kehidupan rakyat, melainkan kumulasi pembodohan dan pembejatan.

Sistem ujian nasional, misalnya, hingga saat ini masih terus menggalakkan dan meluaskan praktik pelembagaan kebiasaan menipu diri sendiri di kalangan pendidik, peserta didik, dan lembaga pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta sekolah di seluruh Indonesia secara terus-menerus menjejali generasi muda dengan semangat keculasan, oportunisme, serta kerusakan karakter dan budi pekerti. Penyelenggaraan pendidikan menekankan ketaatan pada kekuasaan dan bukan ketaatan pada akal sehat. Dalam sistem seperti ini, membangkitkan kedaulatan rakyat tak ubahnya seperti menegakkan benang basah.

Buruknya penyelenggaraan pendidikan nasional berjalan seiring dengan buruknya sistem legislasi dan perundang-undangan. Sistem legislasi dan perundang-undangan tidak berpihak pada kepentingan nasional dan secara telanjang merugikan rakyat dan bangsa sendiri. Para penyelenggara negara habis-habisan mengkhianati rakyat melalui pengkhianatan mereka terhadap konstitusi dan cita-cita kemerdekaan.

Akhir kata, dari rakyat yang pendidikannya dirusak secara terlembaga dan sistemik dan dari bangsa yang hak-hak konstitusionalnya dirampas secara kasar dan telanjang, mustahil bangkit rakyat yang berdaulat. Kedaulatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan dengan mengoreksi secara terus-menerus laku-laku khianat dalam ranah negara. Karena itu, pemilihan presiden menjadi momen penting merebut kembali kedaulatan rakyat.

Kita butuh pemimpin yang setia pada konstitusi dan mampu mengembalikan rakyat kepada posisinya yang tertinggi. Bagi bangsa yang beragam seperti Indonesia, potensi kedaulatan rakyat hanya mungkin ditumbuhkan melalui demokrasi deliberatif dan bukan sistem militeristik. Sejarah mengajarkan bahwa penerapan sistem militeristik pada bangsa yang beragam hanya akan melahirkan bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar