Keberpihakan
Ilmuwan Sosial
Novri
Susan ; Kepala Sociology Center Departemen
Sosiologi Unair
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
ILMUWAN sosial merupakan agensi pengetahuan yang
sangat berpengaruh dalam gerakan pembebasan masyarakat. Revolusi Perancis,
reformasi 1998 di Indonesia, dan ”Arab Spring” banyak disokong oleh para
ilmuwan sosial.
Faktisitas
historis tersebut mengatribusi makna bahwa keberpihakan ideal ilmuwan sosial
adalah kepentingan pada pembebasan masyarakat dari tirani, ketakutan, dan
ketidakadilan.
Dalam
konteks kekinian Indonesia, ilmuwan sosial kembali dihadapkan pada posisi
keberpihakan. Namun, keberpihakan kali ini adalah keberpihakan yang partisan
pada kepentingan seksional politik. Sebagian berpihak kepada Joko Widodo, dan
sebagian lagi berpihak kepada Prabowo Subianto pada Pilpres 2014.
Keberpihakan
model ini menciptakan imajinasi kolektif seksional di ruang publik. Imajinasi
tersebut mampu menjerumuskan masyarakat pada lingkaran kekerasan jangka
panjang.
Imajinasi kolektif
Sudah
merupakan genetik ilmuwan sosial untuk tumbuh sebagai agensi kompeten
pengetahuan yang berpengaruh dalam mengonstruksi realitas di ruang publik.
Sebab, pengetahuan ilmuwan sosial adalah hasil dari katarsis, yaitu proses
penyucian pengalaman-pengalaman hidup manusia sebagai pengetahuan teoretis
yang ilmiah dan mendekati pusat kebenaran.
Teori
selalu menjadi instrumen legitimasi terhadap bentuk realitas melalui
reproduksi pengetahuannya, yakni sebagai bentuk benar-salah atau bentuk
baik-buruk dalam ruang publik. Pada kompetensi mengonstruksi realitas
tersebut, posisi keberpihakan pengetahuan teoretis di ruang publik sangat
determinatif terhadap imajinasi-imajinasi kolektif.
Imajinasi
kolektif adalah struktur pengetahuan yang terbangun dalam banyak individu
serta terikat oleh kesamaan konsep benar salah dan cita-cita. Teori dari para
ilmuwan sosial memberikan basis legitimasi pada imajinasi kolektif tersebut
karena kompetensi ilmiahnya. Pada gilirannya, imajinasi kolektif di ruang
publik merupakan struktur pengetahuan yang taken for granted, yakni sudah tidak perlu dievaluasi secara
ilmiah. Ketika ilmuwan sosial menempatkan kepentingan seksional politik pada
teori-teorinya, imajinasi-imajinasi kolektif di ruang publik pun berkarakter
seksional.
Imajinasi
kolektif seksional tersebut akan mereproduksi pengetahuan sebagai argumentasi
di ruang publik yang membela dan membenarkan kepentingan terbatas politik
tertentu. Dengan demikian, apa pun faktisitas historis Prabowo atau Jokowi
akan mendapatkan pembelaan atau pembenaran teoretis.
Pengetahuan
pada kondisi imajinasi kolektif seksional ini tidak bersifat transendental.
Sebab, pengetahuan-pengetahuan tersebut mengungkung diri dalam kotak
kepentingan subyektif. Pengetahuan ini kehilangan kemampuan mendefinisikan
kepentingan yang membela dan merealisasikan kebaikan umum.
Pada
konteks Pilpres 2014 di Indonesia, ruang publik sangat tegang oleh persaingan
di antara imajinasi-imajinasi kolektif seksional tersebut. Ruang publik
menjadi sempit oleh kengototan argumentasi dari kepentingan seksional.
Pada
situasi tersebut, ruang publik tidak lagi seperti yang dibayangkan oleh
Habermas, yakni sebagai proses mencapai kebaikan bersama. Namun, ruang publik
melahirkan mobilisasi kekerasan, di antaranya keras kepala, saling
menyalahkan, dan zero-sum game.
Pembebasan masyarakat
Saya
melihat ilmuwan sosial Indonesia adalah salah satu agensi yang paling berdosa
dalam menciptakan imajinasi kolektif seksional di ruang publik. Pengetahuan
teoretis yang dibubuhi keberpihakan pada kepentingan seksional politik telah
menjadi basis-basis legitimasi kekerasan di ruang publik.
Sangat
mungkin, terjebaknya Indonesia pada kondisi transisi demokrasi yang tak
berkesudahan adalah konsekuensi dari ilmuwan sosial yang menciptakan
imajinasi-imajinasi kolektif seksional. Jika demikian, ilmuwan sosial
Indonesia telah mencederai tanggung jawabnya yang paling hakiki, yaitu
melakukan transformasi sosial berbasis pada kepentingan umum.
Pada
kondisi ini, genetik ilmuwan sosial membutuhkan fondasi moral yang kuat bagi
setiap pengetahuan teoretisnya. Fondasi moral tersebut adalah pembebasan
masyarakat.
Pada
faktisitas historis ilmu sosial, moral pembebasan masyarakat adalah
konsep-konsep tentang perdamaian, keadilan, perlindungan dari penindasan,
anti diskriminasi, dan penolakan terhadap dominasi. Oleh karena itu,
pembebasan masyarakat tidak pernah menjadi bagian dari kepentingan seksional
politik yang hanya memperjuangkan kepentingan subyektif.
Setiap
pengetahuan teoretis yang direproduksi ilmuwan sosial harus dihadapkan kepada
fondasi moral tersebut. Artinya, pengetahuan teoretis ilmuwan sosial tidak
berpihak pada entitas politik seperti Jokowi atau Prabowo, tetapi berpihak
pada fondasi moral pembebasan masyarakat. Jika ilmuwan sosial mengambil
keberpihakan pada kepentingan seksional politik, maka mereka telah gagal
mencapai keilmiahan ilmu sosial. Secara radikal, kompetensi mereka sebagai
agensi pengetahuan telah mendistorsi transformasi pembebasan masyarakat.
Ilmuwan
sosial Indonesia harus beranjak dari keberpihakan kepentingan seksional
politik. Pengetahuan teoretisnya harus menjadi sumber gagasan bagi
terbentuknya imajinasi kolektif pembebasan, yaitu imajinasi yang mampu
melepaskan kepentingan seksional dari setiap argumentasi. Imajinasi yang
memperjuangkan visi keadilan, perdamaian, dan
nir-kekerasan bagi seluruh subyek masyarakat.
Jika ilmuwan sosial Indonesia mampu melepaskan keberpihakan pada
kepentingan seksional politik, mereka tetap menjadi bagian dari faktisitas
historis pembebasan masyarakat. Itulah jalan mulia ilmuwan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar