Revolusi
Kebudayaan Bahari
Arif
Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
DI Hari
Kelautan Sedunia ini semestinya para capres-cawapres menghadirkan harapan-harapan
baru tentang bagaimana menemukan kembali Indonesia melalui kelautan.
Krisis
identitas bangsa bahari telah terjadi. Artinya, kebudayaan bahari telah
tercerabut. Secara kasatmata, ini terlihat dari pergeseran cara pandang
terhadap laut yang kini dijadikan halaman belakang dan sebagai faktor
pemisah. Akibatnya, sentuhan untuk menata dan mengelola laut demi kepentingan
ekologis, ekonomi, sosial, serta estetika menjadi minim.
Mengapa
hal ini bisa terjadi? Bagaimana langkah menemukan kembali kebudayaan
tersebut?
Kebudayaan
bahari
Menurut
Koentjaraningrat (1979), kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya. Jadi, ada yang berwujud
material (teknologi), ada pula yang berwujud nonmaterial (nilai, tata aturan,
kebiasaan, dan aktivitas).
Kebudayaan
juga memiliki sejumlah unsur universal yang dapat ditemukan di hampir semua
masyarakat. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur-unsur sistem
kepercayaan, bahasa, kesenian, ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, dan teknologi. Pertanyaannya, apakah laut bisa memengaruhi
terbentuknya kebudayaan?
Bagi
penganut paham determinisme lingkungan, laut adalah pembentuk kebudayaan.
Namun, bagi penganut ekologi budaya, laut hanya akan memengaruhi sebagian
unsur kebudayaan saja, yaitu kependudukan dan organisasi sosial, sistem
ekonomi, sistem pengetahuan, serta teknologi. Oleh antropolog Julian Steward,
unsur-unsur inilah yang disebut sebagai inti kebudayaan. Dalam inti
kebudayaan inilah berlangsung interaksi antara kebudayaan dan lingkungan
hidup di sekitarnya (Adiwibowo, 2010).
Jadi,
kebudayaan bahari semestinya dicirikan sejauh mana laut memengaruhi bentuk
organisasi sosial, ciri ekonomi, tingkat pengetahuan, dan teknologi. Pada
zaman Sriwijaya, misalnya, di mana kejayaan sebagai bangsa bahari pernah
terwujud, kebudayaan bahari setidaknya dicirikan dengan kuatnya pertahanan
laut, masyarakat kosmopolit yang terbuka dan pemberani, ekonomi perdagangan
berbasis laut, memiliki pengetahuan dan keterampilan pelayaran, serta
menguasai teknologi perkapalan.
Orang
bisa berdalih, dahulu kebudayaan bahari berkembang karena tuntutan kondisi
pada waktu itu yang serba terbatas sehingga secara otomatis laut adalah
satu-satunya jalan. Ini tidak salah, tetapi harus dipahami bahwa kebudayaan
bahari terus berkembang. Fakta-fakta di Inggris, Norwegia, dan Jepang
menunjukkan kekuatan di laut yang terus berkembang daripada sekadar
pelayaran. Kekuatan angkatan laut, teknologi perkapalan, perminyakan lepas
pantai, serta perikanan mereka sangat besar. Mereka berusaha meneruskan
kebudayaan bahari yang telah tertanam lama karena sadar pentingnya berjaya di
laut.
Fakta
geografis sebagai negara pantai dengan laut yang luas telah menyadarkan
mereka betapa menguasai wilayah laut sangatlah strategis, minimal untuk
mempertahankan diri. Kesadaran inilah yang membentuk cara pandang positif
terhadap laut sehingga mampu mendorong sistem pengetahuan dan teknologi untuk
menunjang pertahanan dan ekonomi kelautan. Bahkan, di Jepang, tradisi
berenang yang hilang akibat reklamasi yang masif membuat mereka menggantinya
dengan kolam renang dan mewajibkan murid SD mampu berenang menyeberang pulau.
Keberlanjutan sejarah mereka di laut telah menjadikan mereka tetap berjaya di
laut.
Sementara
itu, keterputusan sejarah kita di laut membuat kita tak berdaya di laut. Ini
dicirikan dengan fakta bahwa luas
wilayah didominasi laut, tetapi kita tak mampu menguasai wilayah kita
sendiri. Kapal ikan asing begitu liar, nyaris tak tersentuh. Penyelundupan di
mana-mana, kekuatan pertahanan lemah, dan belum maksimalnya pemanfaatan
potensi ekonomi kelautan. Padahal, menguasai laut adalah kunci kedaulatan,
dan kedaulatan adalah cita-cita proklamasi.
Revolusi
Mengembalikan
kebudayaan bahari harus melalui revolusi dan tak bisa dengan cara-cara biasa.
Revolusi adalah perubahan menyangkut sendi-sendi kehidupan. Ada sejumlah
dimensi revolusi kebudayaan bahari.
Pertama,
revolusi cara pandang, yakni perubahan cara pandang bahwa laut adalah halaman
terdepan dan wilayah kedaulatan yang harus dijaga secara maksimal, baik secara ekologis, ekonomis,
maupun geopolitik. Hasil revolusi cara pandang adalah kesadaran kolektif dan
kesadaran politik yang berarti mewujud pada gerakan aksi yang memberikan
dampak perubahan secara sistemik.
Kedua,
revolusi ekonomi, yakni mewujudkan laut sebagai sumber kemakmuran bangsa dan
kesejahteraan rakyat yang harus dikelola secara lestari dan adil. Untuk
perikanan saja potensinya mencapai 78,1 miliar dollar AS, hal itu mestinya
bisa membuat nelayan sejahtera. Belum lagi untuk industri kemaritiman,
farmasi, energi, wisata bahari, dan jasa kelautan lainnya. Perlu strategi
besar yang jelas dan terukur untuk mewujudkan revolusi ini.
Ketiga,
revolusi iptek kelautan, yakni memperkuat sistem pendidikan dan penelitian
untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang kelautan, serta menghasilkan
riset-riset unggulan yang menjadi sumber kemandirian iptek kelautan. Jangan
sampai laut kita terus-menerus menjadi obyek penelitian asing yang membuat
peneliti asing lebih tahu laut kita daripada sendiri.
Keempat,
revolusi kelembagaan, yakni menciptakan tata aturan yang jelas dalam
pengelolaan dan pemanfaatan laut serta organisasi pengelola kelautan yang
lebih efisien. Sebagai contoh, ada 12 kementerian dan lembaga yang bergerak
dalam pengawasan di laut, hal tersebut tentu menimbulkan tumpang tindih.
Kelembagaan rakyat pun harus terintegrasi dalam pengelolaan laut ini.
Ingat, darat dan laut bukan sesuatu yang terpisah. Revolusi kebudayaan
bahari bukanlah upaya meniadakan pembangunan di darat, melainkan lebih pada
mengisi kekosongan yang sudah lama dibiarkan. Dengan demikian, revolusi
kebudayaan bahari adalah upaya menciptakan keseimbangan keduanya. Laut sudah
lama tertinggal. Lalu, mampukah capres dan cawapres kita menjalankan revolusi
kebudayaan bahari agar identitas bangsa bahari muncul kembali? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar