Gugatan
Jender di Balik “Tarian Bumi”
Sri
Rejeki ; Wartawan Kompas? (
Tanpa Penjelasan )
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Novelis
Oka Rusmini tidak sekadar menarikan kata-katanya ketika menulis buku Tarian
Bumi, Ia juga menyelipkan pesan di balik jalinan fakta yang ia rangkai
menjadi kisah fiksi. Kesetaraan jender menjadi hal khusus yang ia soroti,
selain perubahan Bali sebagai bingkai utama.
”Tarian
Bumi menjadi simbol pergolakan perempuan untuk melepaskan diri dari sistem
kasta. Buku ini juga menarik ditelaah karena kita bisa menyelami jiwa orang
Bali,” kata Tommy F Awuy, dosen filsafat dari Universitas Indonesia dalam
Diskusi ”Wanita, Sastra, dan Kasta”
yang diselenggarakan Yayasan Lontar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Rabu
(18/6).
Tarian
Bumi, dinilai Tommy, sama gelap dan tragisnya ketika ia membaca Hamlet karya
Shakespeare. Rangkaian kalimat yang indah tetapi menceritakan kisah muram
para tokohnya.
Oka
membingkai masalah ketidakadilan jender lewat kisah cinta tokoh-tokoh di
dalam bukunya. Para tokoh perempuannya kebanyakan penari. Ada Telaga yang
harus menjalani upacara patiwangi untuk melepas status kebangsawanannya demi
benar-benar menjadi wanita sudra. Meski sebenarnya Telaga telah ditinggal
mati suami, ia masih mematuhi keinginan sang mertua untuk menjalani upacara
patiwangi agar tidak terus-menerus dianggap sebagai pembawa sial. Perempuan
bangsawan yang menikahi laki-laki sudra dianggap membawa sial.
”Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan
perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan
tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau
sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi!” Luh
Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang.
Di
bagian akhir buku Tarian Bumi yang
juga sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris menjadi Earth Dance ini, digambarkan tentang Telaga yang menjalani upacara patiwangi.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu
Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus
menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan
gemilangku sebagai Telaga.”
Telaga
bergumam, membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya untuk
menjelmakan dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra! Upacara
patiwangi, menurut Oka, sebenarnya sudah dihapus dengan keluarnya keputusan
Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951. Namun dalam praktiknya, upacara patiwangi
masih sering dilakukan hingga tahun-tahun belakangan ia menyusun bukunya.
Berkebalikan
adalah kisah Kenanga, ibu Telaga yang naik kasta dari sudra menjadi brahmana.
Namun, Kenanga harus menghadapi kenyataan perilaku suaminya yang hanya gemar
menyenangkan diri sendiri. Bebannya bertambah dengan sikap ibu mertua yang
justru menyalahkan dirinya atas perilaku anaknya sendiri yang buruk.
Ada pula
Luh Kambren, penari yang dianggap sebagai kekasih Dewa Tari, takut menikah
karena berbeda kasta. Sebagai penari mumpuni, tidak terhitung puluhan piagam
penghargaan diterimanya. Sayang, hal itu tanpa diiringi imbalan kesejahteraan
memadai. Hari tua Kambren berlangsung tragis, dalam kesendirian dan
kemiskinan. Piagam penghargaan dipakainya untuk menyumpal dinding rumahnya
yang bocor.
”Saya bertemu dengan perempuan-perempuan Bali yang
mengalami tekanan. Mungkin ada yang berpikir saya menjual Bali, tetapi tidak.
Saya hanya ingin mendokumentasikan budaya dalam sebuah novel. Saya berharap
penulis lain melakukan hal serupa, memperkenalkan budaya lewat buku atau
novel,” kata Oka dalam diskusi dengan moderator Direktur Eksekutif Yayasan
Lontar Kestity Pringgoharjono.
Fakta jurnalistik
Apa yang
ditulis dalam Tarian Bumi merupakan fakta-fakta yang ditemui Oka dalam
kehidupan sehari-harinya sebagai seorang wartawan di Bali Post sejak tahun
1990-an. Cerita tentang Luh Kambren, upacara patiwangi, para penari Bali yang
dieksploitasi sebagai obyek seni para seniman Barat, ditemuinya sendiri dalam
tugas jurnalistiknya. Namun, fakta-fakta ini kemudian ia ramu menjadi cerita
fiksi dengan setting budaya Bali yang amat kental.
”Kalau saya menulisnya menjadi buku biasa, mungkin
saya bisa diserbu orang, dianggap ’murtad’ sebagai orang Bali. Tetapi saya
mengamuflasekannya dengan cara menulisnya menjadi novel,” ungkap
Oka yang bernama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini.
Meski
gugatan atas ketidaksetaraan jender kental terasa dalam bukunya, Oka mengaku
tidak membuatnya secara sengaja. Ia lebih ingin merekam budaya dan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Bali. Oka ingin buku yang bagus tentang Bali
tidak hanya ditulis oleh orang asing, tetapi juga oleh pribumi. Buku Oka di
kemudian hari menjadi pembicaraan di kalangan indonesianis.
Tommy
menilai apa yang dilakukan Oka sangat berani. Ia sampai menanyakan, apakah
Oka pernah berdiskusi dengan kalangan laki-laki di Bali tentang buku-bukunya.
Oka menjawabnya, ia sering dikira tidak tinggal di Bali, melainkan di Jakarta
sehingga ia ”aman”. Diakui Oka, ada kekhawatiran dirinya, gugatannya ini akan
dihadapkan dengan persinggungan dengan agama sehingga menyulitkan dialog.
Bagi
Tommy, membaca Tarian Bumi seperti
membuka kotak pandora karena ada banyak hal mengejutkan, termasuk luka dan
kemuraman yang muncul. Tarian Bumi dinilainya
menceritakan kesuraman budaya yang sangat bertolak belakang dengan citra
manis Bali di dunia pariwisata. ”Itu
mengapa pendekatan budaya ditakuti karena bisa memunculkan banyak borok,”
kata Tommy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar