Ilusi
Bre
Redana ; Penulis Kolom “Udar
Rasa” di Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Saya
selalu ingin tertawa sendiri setiap kali melihat seseorang melakukan
presentasi dengan PowerPoint. Diproyeksikan di layar, dengan perangkat lunak
ini orang membagikan gagasannya, mengemukakan rencananya, memaparkan
strateginya, bagaimana tujuan hendak dicapai, hidup hendak diubah, kalau
perlu dunia hendak dibalik sekalian. Kadang dalam sehari bisa beberapa kali
saya terlibat pada pertemuan semacam itu. Dihitung-hitung, berapa banyak
dalam seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya?
Hanya
saja, hidup rasanya kok ya seperti ini-ini saja. Kutub Utara tak kunjung
berbalik berada di Afrika Selatan. Rekan kerja kelihatannya tak tambah rajin
juga, bahkan sering menggerundel, buat apa rajin. Rajin malas sama saja,
ucapnya sembari menangkupkan tangan di perut yang kian membuncit. Si tukang
pemberi presentasi dengan PowerPoint juga tetap seperti itu. Setelah merasa
berhasil meyakinkan dunia bahwa hidup bisa didorong untuk mencapai apa saja,
batasnya langit bualnya, ia pulang ke rumah. Ia mencopot kaus kaki yang
seminggu tak diganti. Energi terkuras oleh kemacetan lalu lintas. Lupa cium
istri. Tak sempat sama-sama menikmati film bagus Cinema Paradiso sebelum bobok.
Soal
presentasi tadi? Di mana semua tampak gampang, saking gampangnya orang Jawa
bilang gamping? Tinggal pilih mau
apa? Sukses, kaya, bahagia, surga?
Saudara-saudara,
mungkin itulah yang disebut ilusi. Microsoft berhasil menciptakan ilusi
terbesar dengan temuannya bernama PowerPoint. Sebuah perangkat yang
menciptakan kemudahan, atau malah hiburan alias fun. Tak diperlukan pemikiran
mendalam. Program ini dicipta untuk menyingkat pemikiran, biar bisa diterima
secara cepat.
Itulah
kekuatan program tersebut. Ia berkesesuaian dengan semangat zaman yang
bergegas, ingin serba cepat, termasuk dalam menyampaikan dan menerima
gagasan. Gagasan cukup sekelebatan saja. Elaborasi, apalagi praksis hidup
yang kompleks, menyimpan berbagai kemungkinan termasuk ke-tak terduga-an
nasib dan kemukjizatan proses, tak masuk hitungan. Para motivator umumnya
suka senyum-senyum penuh kepuasan. Semua seolah sudah terjadi tatkala skema
ditampilkan di layar komputer.
Dikepung
kenyataan virtual seperti inilah sekarang kita hidup. Di depan televisi
jutaan orang menanti adu debat calon pemimpin negeri. Semua orang ingin
mendengar soal visi misi (tetangga saya di Cibedug tanya apa itu pisi misi.
Saya bilang itu mantera orang kota, kita tak perlu peduli).
Sebelum
itu, sebagai preview, media massa memberitakan persiapan masing-masing calon.
Kejutan apa kira-kira yang hendak ditampilkan. Zaman Romawi kuno orang
menanti hiburan berupa pertandingan para gladiator, kita kini menanti para
gladiator dunia virtual adu bicara.
Pada
pertandingan di alam virtual kenyataan hidup yang berdarah daging, berdebu,
bau keringat ditransformasikan menjadi citra. Elemennya selain gebyar
permukaan, juga mistik angka-angka. Yang disebut terakhir ini melahirkan
lembaga pengolah angka-angka, namanya lembaga survei. Sebegitu percayanya
banyak orang pada angka, dalam skor perolehan suara, satu pihak seolah sudah
menang, bahkan sebelum Anda atau siapa pun memilih.
Ada yang
bertanya, apakah saya tak ikut menonton acara adu debat di televisi?
Saya
ikut menonton. Soal percaya atau tidak dengan apa yang diomongkan para
gladiator, itu soal lain lagi.
Sebab,
seperti ditulis oleh Christopher Witt dalam Real Leaders Don’t Do Power Point, apa yang dikemukan seseorang
tidak terpisahkan dengan siapa orang tersebut. Karakter Anda, siapa Anda, apa
yang telah Anda kerjakan, apa nilai-nilai yang Anda junjung, secara otomatis
membentuk pesan itu sendiri. Dengan kata lain, siapa Anda adalah apa yang
Anda sampaikan.
Kalau pesohor
Paris Hilton bicara soal asketisme atau keprihatinan hidup misalnya, jelas
orang akan mencibir. Sama halnya kalau Hitler dan para fasis turunannya
bicara soal humanisme dan hak-hak asasi manusia, mana ada orang sudi percaya.
Eh,
ngomong-ngomong, Anda sendiri percaya pada siapa.... ●
|
Saya
bisa memutuskan pergi berlibur dengan teman yang ini dan bukan teman yang
itu, tanpa lagi memedulikan apakah ada yang tersinggung. Dengan menolong diri
sendiri, saya mengerti apa arti teman, sahabat, dan musuh dalam selimut.
Saya
cukup bisa menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan klien yang datang
ke sebuah rapat dengan muka tak bersahabat, penuh penilaian, dan kecurangan.
Menolong diri sendiri itu adalah kemampuan saya tidak dipengaruhi dengan
perilaku yang demikian itu dan fokus pada tujuan rapat.
Menolong
diri sendiri itu hanya punya satu obyektif. Membahagiakan bukan untuk malah
menyengsarakan. Dan dalam beberapa bulan setelah saya mencoba, menolong diri
sendiri hanya membutuhkan satu modal, keberanian. Terutama melawan ketakutan
diri sendiri.
Dan
kesenangan tertinggi dari menolong diri sendiri adalah merasakan untuk
pertama kalinya, saya mampu memberi kebebasan dan penghormatan kepada orang
lain untuk memilih tersinggung atau tidak, tanpa saya harus memberi
penjelasan apa pun.
Menolong
diri sendiri itu ternyata memberi kesempatan orang lain untuk membebaskan
saya dari keterkungkungan sebuah persaudaraan, pertemanan, atau apa pun itu.
Seharusnya saya juga menghormati, bukan malah berisik di belakangnya, ketika
orang berani dan sedang menikmati kenaikan kelas dari yang bergantung menjadi
tidak bergantung.
Dari
yang terkekang menjadi tidak terkekang. Dari yang gamang berdiri di kaki
sendiri, sekarang berdiri di kakinya meski masih gemeteran dan akan menjadi
kuat setelahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar