Selasa, 24 Juni 2014

Ilusi

Ilusi

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Saya selalu ingin tertawa sendiri setiap kali melihat seseorang melakukan presentasi dengan PowerPoint. Diproyeksikan di layar, dengan perangkat lunak ini orang membagikan gagasannya, mengemukakan rencananya, memaparkan strateginya, bagaimana tujuan hendak dicapai, hidup hendak diubah, kalau perlu dunia hendak dibalik sekalian. Kadang dalam sehari bisa beberapa kali saya terlibat pada pertemuan semacam itu. Dihitung-hitung, berapa banyak dalam seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya?

Hanya saja, hidup rasanya kok ya seperti ini-ini saja. Kutub Utara tak kunjung berbalik berada di Afrika Selatan. Rekan kerja kelihatannya tak tambah rajin juga, bahkan sering menggerundel, buat apa rajin. Rajin malas sama saja, ucapnya sembari menangkupkan tangan di perut yang kian membuncit. Si tukang pemberi presentasi dengan PowerPoint juga tetap seperti itu. Setelah merasa berhasil meyakinkan dunia bahwa hidup bisa didorong untuk mencapai apa saja, batasnya langit bualnya, ia pulang ke rumah. Ia mencopot kaus kaki yang seminggu tak diganti. Energi terkuras oleh kemacetan lalu lintas. Lupa cium istri. Tak sempat sama-sama menikmati film bagus Cinema Paradiso sebelum bobok.

Soal presentasi tadi? Di mana semua tampak gampang, saking gampangnya orang Jawa bilang gamping? Tinggal pilih mau apa? Sukses, kaya, bahagia, surga?

Saudara-saudara, mungkin itulah yang disebut ilusi. Microsoft berhasil menciptakan ilusi terbesar dengan temuannya bernama PowerPoint. Sebuah perangkat yang menciptakan kemudahan, atau malah hiburan alias fun. Tak diperlukan pemikiran mendalam. Program ini dicipta untuk menyingkat pemikiran, biar bisa diterima secara cepat.

Itulah kekuatan program tersebut. Ia berkesesuaian dengan semangat zaman yang bergegas, ingin serba cepat, termasuk dalam menyampaikan dan menerima gagasan. Gagasan cukup sekelebatan saja. Elaborasi, apalagi praksis hidup yang kompleks, menyimpan berbagai kemungkinan termasuk ke-tak terduga-an nasib dan kemukjizatan proses, tak masuk hitungan. Para motivator umumnya suka senyum-senyum penuh kepuasan. Semua seolah sudah terjadi tatkala skema ditampilkan di layar komputer.

Dikepung kenyataan virtual seperti inilah sekarang kita hidup. Di depan televisi jutaan orang menanti adu debat calon pemimpin negeri. Semua orang ingin mendengar soal visi misi (tetangga saya di Cibedug tanya apa itu pisi misi. Saya bilang itu mantera orang kota, kita tak perlu peduli).

Sebelum itu, sebagai preview, media massa memberitakan persiapan masing-masing calon. Kejutan apa kira-kira yang hendak ditampilkan. Zaman Romawi kuno orang menanti hiburan berupa pertandingan para gladiator, kita kini menanti para gladiator dunia virtual adu bicara.

Pada pertandingan di alam virtual kenyataan hidup yang berdarah daging, berdebu, bau keringat ditransformasikan menjadi citra. Elemennya selain gebyar permukaan, juga mistik angka-angka. Yang disebut terakhir ini melahirkan lembaga pengolah angka-angka, namanya lembaga survei. Sebegitu percayanya banyak orang pada angka, dalam skor perolehan suara, satu pihak seolah sudah menang, bahkan sebelum Anda atau siapa pun memilih.

Ada yang bertanya, apakah saya tak ikut menonton acara adu debat di televisi?

Saya ikut menonton. Soal percaya atau tidak dengan apa yang diomongkan para gladiator, itu soal lain lagi.

Sebab, seperti ditulis oleh Christopher Witt dalam Real Leaders Don’t Do Power Point, apa yang dikemukan seseorang tidak terpisahkan dengan siapa orang tersebut. Karakter Anda, siapa Anda, apa yang telah Anda kerjakan, apa nilai-nilai yang Anda junjung, secara otomatis membentuk pesan itu sendiri. Dengan kata lain, siapa Anda adalah apa yang Anda sampaikan.

Kalau pesohor Paris Hilton bicara soal asketisme atau keprihatinan hidup misalnya, jelas orang akan mencibir. Sama halnya kalau Hitler dan para fasis turunannya bicara soal humanisme dan hak-hak asasi manusia, mana ada orang sudi percaya.

Eh, ngomong-ngomong, Anda sendiri percaya pada siapa....

bicar* � a@� � Saya menikmati menyaksikan pertunjukan apa pun tanpa harus berkompromi dengan orang lain, baik soal waktu, baik soal apa yang mau disaksikan.


Saya bisa memutuskan pergi berlibur dengan teman yang ini dan bukan teman yang itu, tanpa lagi memedulikan apakah ada yang tersinggung. Dengan menolong diri sendiri, saya mengerti apa arti teman, sahabat, dan musuh dalam selimut.

Saya cukup bisa menguasai diri sendiri ketika berhadapan dengan klien yang datang ke sebuah rapat dengan muka tak bersahabat, penuh penilaian, dan kecurangan. Menolong diri sendiri itu adalah kemampuan saya tidak dipengaruhi dengan perilaku yang demikian itu dan fokus pada tujuan rapat.

Menolong diri sendiri itu hanya punya satu obyektif. Membahagiakan bukan untuk malah menyengsarakan. Dan dalam beberapa bulan setelah saya mencoba, menolong diri sendiri hanya membutuhkan satu modal, keberanian. Terutama melawan ketakutan diri sendiri.

Dan kesenangan tertinggi dari menolong diri sendiri adalah merasakan untuk pertama kalinya, saya mampu memberi kebebasan dan penghormatan kepada orang lain untuk memilih tersinggung atau tidak, tanpa saya harus memberi penjelasan apa pun.

Menolong diri sendiri itu ternyata memberi kesempatan orang lain untuk membebaskan saya dari keterkungkungan sebuah persaudaraan, pertemanan, atau apa pun itu. Seharusnya saya juga menghormati, bukan malah berisik di belakangnya, ketika orang berani dan sedang menikmati kenaikan kelas dari yang bergantung menjadi tidak bergantung.

Dari yang terkekang menjadi tidak terkekang. Dari yang gamang berdiri di kaki sendiri, sekarang berdiri di kakinya meski masih gemeteran dan akan menjadi kuat setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar