Menyelesaikan
Prostitusi secara Manusiawi
Gempur
Santoso ; Sekretaris Dewan
Pendidikan Jatim,
Guru Besar
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Juni 2014
MEMANG banyak
yang meyakini bahwa dunia dan seisinya dalam harmoni keseimbangan. Termasuk
kebaikan dan keburukan dalam keseimbangan pula. Seorang pemimpin seharusnya
sadar bahwa yang dipimpin itu adalah manusia seperti dirinya. Ada manusia
yang baik, ada yang buruk. Semua harus dipimpin, dilindungi, diayomi dalam
keseimbangan.
Banyak
orang yang menyimpulkan pula bahwa memimpin itu bagian dari seni kehidupan.
Tidak mungkin seorang pemimpin hanya mau mengurusi manusia yang baik, yang
dianggap buruk dibiarkan, atau sebaliknya. Bagaimana seorang pemimpin dapat
mengalunkan harmoni seni kehidupan dalam keseimbangan. Bila yang buruk itu
digambarkan ”hitam” dan yang baik digambarkan ”putih”, biarlah yang hitam
menjadi hitam jangan harapkan jadi putih dan biarlah yang putih dijaga
menjadi putih, juga tidak tercoreng-coreng jadi lorek.
Para
tokoh spiritual pun pernah berdakwah bahwa dalam manusia baik pasti ada
buruknya dan dalam manusia buruk ada baiknya. Jadi, manusia hanyalah
melakukan peran kehidupan atas ”garis tangan” masing-masing yang diberikan
Tuhan. Ragam kehidupan telah diberikan Yang Mahakuasa, terbentang luas di
dunia ini, manusia tinggal memilih. Tentu semua manusia menginginkan
kehidupan yang baik dan benar. Tetapi, tidak semua manusia memperoleh pilihan
baik dan benar secara maksimal, bergantung pada pengetahuan yang dimiliki dan
kemampuan mengabstraksikan dalam pikirannya. Kemudian, abstraksi pikiran itu
dijadikan kesimpulan dirinya untuk bertindak/berbuat sebagai pilihan perilaku
kehidupannya.
Prostitusi
anggaplah salah satu sisi ”gelap” atau ”hitam” bentangan kehidupan. Ternyata,
banyak pula manusia terlibat dalam prostitusi yang merupakan pilihan perilaku
kehidupannya. Aktor utama prostitusi adalah para wanita cantik yang orang
biasa menyebut pekerja seks komersial (PSK) dan ada yang memberi sebutan
wanita harapan bangsa (WHB). Manajer para aktor prostitusi biasa disebut
mucikari.
Dolly
adalah tempat lokalisasi prostitusi di Surabaya terbesar se-Asia Tenggara.
Tanggal 18 Juni 2014 secara resmi ditutup wali kota Surabaya bersama gubernur
Jawa Timur dan menteri sosial. Sebelumnya terjadi pro-kontra. Kenyataannya,
penutupan Dolly berjalan lancar tanpa ada korban jiwa manusia. Pada masa
”kejayaannya” antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK lebih dari 9.000
orang. Ketika ditutup hari ini, jumlah PSK tinggal 1.200-an orang (Jawa Pos,
18 Juni 2014). Apakah Dolly ditutup dengan serta-merta PSK di Surabaya sudah
tidak ada? Tentu saja tidak, bahkan ada yang menduga kuat dengan teori
keseimbangan, jika PSK di seluruh dunia dibunuh, bersamaan itu akan lahir PSK
baru.
Dolly
memang secara kesan (image)
dianggap mencoreng nama baik. Sebutan Surabaya yang selama ini memiliki kesan
nama Kota Pahlawan, dengan adanya lokalisasi Dolly, bertambah sebagai ”Kota
Prostitusi” karena Dolly terkenal dan terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, ada
yang menyebut ke Surabaya jika tidak ke Dolly kurang lengkap walau itu
sekadar jalan-jalan. Para ulama sudah lama risau dengan semakin besarnya
lokalisasi Dolly dan baru ada seorang pemberani, Tri Rismaharini, yang
menutupnya tanpa ada korban bentrokan.
Para PSK
di dunia prostitusi memiliki risiko terbesar. Mereka berisiko terkena
penyakit infeksi menular seksual (IMS) berupa HIV/AIDS dan bakteri lainnya.
Selain itu, PSK telah masuk dalam aktivitas amoral yang merupakan tudingan
masyarakat sebagai penyakit sosial (masyarakat). Kemudian, dari segi ekonomi
yang merupakan sumber ekonomi PSK, mereka akan kelimpungan jika tidak
memiliki pemasukan keuangan. Tampaknya, itu sudah menjadi pemikiran pemerintah.
Tetapi, apakah risiko yang dialami para PSK telah diselesaikan secara tuntas?
Jika
suatu lokalisasi prostitusi ditutup, seharusnya para PSK diisolasi dan diberi
biaya hidup. Mereka diisolasi (karantina) untuk pemulihan dengan pengobatan
sampai terbebas dari penyakit IMS. Para mantan PSK diberi pendidikan siraman
rohani sesuai agama masing-masing agar tumbuh dan meningkat keimanan dan
ketakwaannya serta secara psikologis mengalami ketenangan jiwa, siap menjadi
manusia bermoral. Mental dan moral yang kuat diperlukan saat terjun di
masyarakat agar tidak lagi terombang-ambing, tetap teguh tidak kembali ke
’’dunia hitam”. Mantan PSK juga perlu diberi pelatihan keterampilan untuk
hidup sehingga mereka mempunyai mata pencaharian yang halal. Tentu saja terakhir
diberikan modal uang yang cukup untuk usaha. Kemudian, bila tahap di atas
telah selesai dan tuntas, baru mereka bisa dilepas kepada masyarakat sehingga
menjadi bagian masyarakat yang mandiri.
Mengembalikan
PSK menjadi masyarakat sipil pada lazimnya tidak sekadar sukses menutup atau
membubarkan lokalisasi prostitusi dengan memberikan uang pesangon kepada
mereka. Penyelesaian dengan sekadar menutup atau membubarkan lokalisasi
prostitusi tidak menyelesaikan masalah, tetapi memindahkan masalah. Tentu semua
tidak berharap akan terjadi penyakit seksual menular yang meluas ke seluruh
kota dan daerah sekitarnya. Juga semua berharap jangan sampai prostitusi yang
tidak terlokalisasi justru membuat seluruh kota menjadi tempat prostitusi.
Peran pemerintah kota (daerah) sangat penting untuk mengontrol masyarakat
agar tidak tumbuh prostitusi terselubung.
Prostitusi
dapat dikatakan tergolong pekerjaan hitam (black work atau black
activity) di bidang jasa hiburan. Pekerjaan hitam selain itu, ada
pengedar narkoba, sindikat pencurian, pengemis terorganisasi, dan lain-lain.
Semua penduduk kota pasti menginginkan situasi dan kondisi masyarakat dan
lingkungannya yang sejahtera, sehat, nyaman, indah, dan menyenangkan.
Pemimpin kota (daerah) beserta jajarannya mempunyai tanggung jawab untuk
menumbuhkan tempat kerja yang halallan
toyiban, terciptanya sosial budaya yang mengangkat nilai-nilai manusiawi,
terciptanya ekosistem lingkungan yang sehat. Memang berat tugas pemimpin.
Pemimpin adalah amanah yang diharapkan dapat menciptakan harmoni keseimbangan
di berbagai kehidupan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar