Fenomena
Pendukung Jokowi
Hendardi
; Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Mei 2014
KEMUNCULAN Joko `Jokowi' Widodo
dalam panggung politik kontemporer di Indonesia tergolong unik. Bagaimana
tidak, ia disebut berpotongan ndeso,
dicap lugu, diragukan kemampuannya untuk menjadi seorang presiden, dituding
bukan seorang nasionalis, `pemimpin penipu', dianggap sebagai `boneka',
bahkan dianggap `sakit', tapi malah datang dukungan secara bergelombang
hingga hari-hari ini.
Apa sih hebatnya Jokowi hingga
banyak orang mengeluelukannya? Sebenarnya ia biasa saja. Seorang kawan
bernama Theodorus Jacob Koekerits--biasa dipanggil Ondos (mendiang)--menemukan
dan memantau bakat politik Jokowi ketika beberapa kali ia berkunjung ke Solo.
Hasil pantauannya dilaporkan kepada Ketua Umum PDIP Megawati. Maka,
ditariklah Jokowi ke Jakarta untuk bertarung menghadapi incumbent mantan
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Jokowi dan media
Rupanya kesederhanaan dan
kebiasaan Jokowi blusukan yang mendekatkan sosoknya pada rakyat kebanyakan
itulah yang menggugah kalangan jurnalis dan media massa. Kostum kampanye
dengan baju kotakkotak--bukan mewakili kostum parpol pengusung mereka-menjadi
identitas Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kostum itu menjadi
sangat populer. Mereka pun menang.
Berkat media, Jokowi ibarat
superstar politik. Beberapa kebijakannya sebagai Gubernur DKI juga mendapat
dukungan dari warganya seperti rumah susun, kampung deret, dan waduk. Ketika
melakukan peninjauan, ia tak sungkan turun ke gorong-gorong, saat lapar makan
di warteg. Ia juga membuat gebrakan lelang jabatan lurah, pelantikan pejabat
di alam terbuka, dan berani mencopot jabatan wali kota.
Metode dan gaya blusukan yang
dipertontonkannya, semakin banyak warga yang dijumpainya, sembari juga
mendengar unek-unek mereka. Ia juga `berkonflik' dengan pihak rumah sakit
yang mengabaikan pasien miskin. Ia dikesankan membela `orang kecil'. Limpahan pemberitaan itu membuat banyak orang
tergugah kendati tak sedikit pula yang mencemoohnya. Namun, semua cemoohan
itu dijawabnya dengan `rapopo!'
Kesan yang tampak ialah Jokowi
siap menerima kritik, cibiran, dan cemoohan apa pun yang ditujukan kepadanya
tanpa perlu membalas dengan kata-kata bernada marah, melainkan dengan kerja.
Semua itu mendapatkan blow up dari
media sehingga semakin banyak orang merindukan figur politik Jokowi.
Di balik tampang yang ndeso dan lugu, Jokowi juga bisa
tampil gaul. Ia termasuk generasi muda dasawarsa 1980-an yang pernah didera
penindasan politik. Namun, pada masa itu juga muncul budaya global yang
sebagian terbentuk melalui musik rock termasuk heavy metal. Ketika dua kelompok musik--Guns N' Roses dan
Metallica--manggung di Jakarta, Jokowi salah seorang penggemar yang berbaur
dengan fan lainnya yang ikut berjingkrak-jingkrak. Dari seorang personel
Metallica, ia dihadiahi gitar bas.
Barisan pendukung
Gairah partisipasi politik di
Indonesia sejak Orde Baru hingga pra-Jokowi kiranya belum pernah sekuat sejak
kemunculan Jokowi di Jakarta. Partisipasi politik itu tidak mereka salurkan
melalui partai-partai politik, tetapi dengan membentuk kelompok-kelompok
relawan. Kerelaan politik mereka langsung teridentifikasi kepada Jokowi--bukan
partai-partai politik.
Mengapa mereka tidak menyalurkan
kepada partai-partai politik? Karena sebagian relawan tersebut telah
mendengar dan menyaksikan di televisi serta membaca berita bagaimana sejumlah
pemimpin parpol menjadi tersangka korupsi, seperti kasus impor daging sapi
yang melibatkan Presiden PKS, kasus Hambalang dengan tersangka Ketua Umum
Partai Demokrat, serta yang terakhir kasus korupsi penyelenggaraan haji yang
disangkakan pada Ketua Umum PPP.
Karena itu, fenomena relawan
pendukung Jokowi juga tergolong unik. Pertama, mereka tidak
mengidentifikasikan kepentingan politik kepada PDIP atau partai koalisinya. Mereka
memang mendukung Jokowi, tapi belum tentu mendukung PDIP. Identifikasi
politik itu juga tak lepas dari kemuakan mereka atas para pemimpin dan
`kader' partai politik yang lebih berkepentingan pada kehendak berkuasa,
bagi-bagi kursi, bukan blusukan
menjangkau mereka yang terabaikan.
Kedua, mereka membentuk
kelompok-kelompok relawan secara independen. Memang sebagian ada yang berasal
dari PDIP, tapi kebanyakan bukan pimpinan atau pengurus. Bisa jadi mereka tak
puas dengan model partai yang lebih didominasi trah Soekarno tersebut. Bersama
relawan lainnya mereka membentuk Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi,
Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), Jokowi for President (JKW4P), Jokowi
Ahok Social Media Volunteers (Jasmev), Jokowi untuk Nusantara (Jora),
Jokowi untuk Indonesia Baru (JUIB), Gerakan Penyelamat Bangsa Menuju
Indonesia Baru, Jokowi Presidenku, Posko Center Rakyat Jokowi for President, Kebangkitan Indonesia Baru (KIB), Jokowi
Mania (Jo-Man), Srikandi Jokowi, dan Bangun Gotong Royong Jakarta (Bang
Rojak), dan masih banyak lagi. Para relawan itu tersebar dari Aceh hingga
Papua.
Ketiga, dari sisi stratafikasi
sosial, mereka berasal dari lapisan pekerja, pedagang kecil, penarik becak,
pengojek, pekerja profesional, jurnalis, dosen atau staf pengajar, mahasiswa,
dan aktivis LSM. Bergabungnya elemen-elemen tersebut mungkin dapat saja
dipandang sebagai bentuk kebangkitan populisme di Indonesia. Mereka seperti
sedang memupuk harapan kebutuhan politik pada sosok Jokowi.
Keempat, partisipasi politik
barisan relawan yang terus bergelombang itu disuarakan dalam satu tekad:
masukkan Jokowi ke daftar bakal calon presiden (capres)! Mereka telah
berperan membentuk pendapat umum mengenai Jokowi. Maka, serangkaian aktivitas
politik mereka yang bergairah untuk mencalonkan Jokowi telah mengakibatkan
banyak lembaga survei sulit menghasilkan tokoh politik yang dapat menandingi
keunggulan Jokowi. Cepat atau lambat, Megawati sebagai pengambil keputusan
juga tak dapat berpaling dari Jokowi. Pada 14 Maret lalu, pencalonan Jokowi
dideklarasikan di Rumah Pitung.
Kini, para relawan itu
meningkatkan kerja mereka untuk mengajak mayoritas rakyat yang berhak memilih
untuk menentukan pilihan mereka kepada Jokowi. Kerja mereka akan berujung
pada pemilihan presiden, 9 Juli mendatang: hari penentuan.
Tentu saja, yang menjadi
pertanyaan ialah apakah semua itu cukup? Mereka harus berhitung, siapa lawan
yang mereka hadapi dalam duel maut (sudden
death) mendatang? Mereka harus berhitung tidak hanya atas apa kekuatan
yang tampak, tetapi juga apa kekuatan tak kasatmata pada lawan mereka yang
dapat saja tak mereka pertimbangkan. Bukankah, kecil atau besar, demokrasi pemilihan
cenderung dicurangi dan dilanggar di mana pun? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar