Daya
Rusak Kampanye Hitam
Effnu
Subiyanto ; Mahasiswa Doktor Unair,
Pendiri
Koalisi Rakyat Indonesia Reformis
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Mei 2014
KAMPANYE hitam kini melanda dua pasangan
bakal calon presiden yang berlaga tahun ini. Dua-duanya sibuk memberikan
tanggapan dan pernyataan karena kampanye hitam dipandang mem punyai potensi
pembunuhan karakter dan merusak dukungan suara saat pilpres 9 Juli
mendatang.
Bakal calon presiden Joko Widodo
disebut tidak kompeten oleh pasangannya, JK, dibuktikan dengan tayangan video
JK sendiri. Kubu Jokowi sendiri sudah memberikan klarifikasi bahwa tayangan
tersebut diambil empat bulan setelah Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI
pada 2012. JK menyebut konteksnya tidak relevan lagi pada saat ini karena
Jokowi kini berkemampuan kenegaraan jauh lebih baik dan berpengalaman. Masih
banyak kampanye hitam untuk pasangan bakal capres PDIP itu termasuk soal
SARA.
Sementara itu, bakal capres
Prabowo Subianto terbelit soal kerusuhan Mei 1998, penghilangan aktivis
reformasi, dan kewarganegaraan ganda Indonesia-Yordania. Sampai sekarang pun,
kubu Prabowo-Hatta harus mati-matian memberikan penjelasan dan menjernihkan
persoalan tersebut.
Kampanye hitam tidak hanya
merugikan dan membahayakan pasangan calon presiden, tetapi tidak kalah
bahayanya juga untuk pemilih yang notabene rakyat Indonesia peserta pemilu
tahun ini. Pandangan dan sikap objektif riskan terdistorsi karena terpengaruh
oleh kampanye tersebut dan akhirnya justru yang terpilih adalah kandidat
presiden yang salah.
Pada jenis masyarakat yang well educated, kampanye hitam tidak
mempunyai daya pengaruh signifikan. Namun, pada masyarakat dengan tingkat gap
pendidikan tinggi seperti di Indonesia, kampanye itu notabene sangat serius.
Faktor pendorongnya ialah
teknologi. Maraknya teknologi komunikasi sekarang ini, bahkan setiap penduduk
di lereng gunung mempunyai perangkat itu, akan sangat menentukan sekali bagi
pilpres 9 Juli. Penduduk jenis itu yang sangat mayoritas jumlahnya mudah
sekali terpengaruh dan dengan mudah percaya informasi yang menyesatkan
tersebut.
Inilah risiko demokrasi yang
fatal dan kita anut sekarang ini. Suara rakyat (vox populi) kini tidak bisa lagi disebut dengan suara Tuhan (vox dei) karena vox populi sendiri kini sudah tercemar oleh informasi yang
dibangun populi-populi lainnya
untuk kepentingan tertentu. Bahaya itu diketahui Aristoteles yang bersedia
mati (322 SM) dengan meminum racun karena berseberangan paham dengan Plato,
gurunya sendiri.
Jokowi vs Prabowo
Kampanye hitam kali ini memiliki
dua perbedaan signifikan. Indikasinya menyerang secara pribadi kepada capres
Jokowi-JK, tetapi menyorot histori dan rekam jejak kepada pasangan bakal
capres Prabowo-Hatta. Bagi pemilih cerdas, hal itu jelas tidak menguntungkan
bagi pasangan bakal capres Prabowo-Hatta.
Letak posisi merugikan bagi
pasangan bakal capres-cawapres Prabowo-Hatta ialah rekam jejaknya sendiri.
Prabowo sebagai mantan jenderal TNI akan sangat sulit memberikan klarifikasi
yang bisa diterima soal penghilangan aktivis, kasus Mei 1998, dan isu
pembelotan dirinya ke Yordania. Kini masalah yang digantung dan tidak
terselesaikan sejak 1998 itu justru menjadi bumerang bagi pasangan
Prabowo-Hatta.
Beda persoalannya bagi pasangan bakal capres-cawapres
Jokowi-JK yang lebih banyak diserang dari sisi pribadi dan SARA, tetapi
sebetulnya justru kian menguntungkan. Semakin besar intensitas kampanye hitam
yang menyerang soal pribadi dan SARA menunjukkan bahwa kubu kompetitor
kehilangan substansi sebagai konten kampanye hitam.
Gagasan
Mengembangbiakkan rumor dan isu
yang disusun menjadi kampanye hitam jelas harus dihentikan karena tidak
membangun budaya demokrasi yang sehat. Masyarakat sama sekali tidak
memperoleh manfaat berdemokrasi sebagai alat berpolitik terbaik saat ini.
Sebaliknya, itu malah menumbuhkan sikap untuk percaya rumor dan isu yang
sesat. Koridor demokrasi harus dikembalikan sesuai muruahnya dan tim sukses
setiap pasangan capres seharusnya meneken pakta integritas untuk menghindari
kampanye hitam.
Sebagai gantinya, kampanye dalam
bentuk gagasan dan program kerja capres ialah hal substansial yang perlu
dibangun lebih intensif ketimbang kampanye hitam. Sudah saatnya bakal capres
membuat program yang lebih detail untuk mengantarkan rakyat Indonesia
sejahtera per tahun dan akhirnya per bulan dari masa jabatannya 2014-2019.
Ada tujuh program yang kini
harus dilevelkan penilaiannya di antara dua pasangan capres. Program tersebut
ialah infrastruktur, pangan, energi, pendidikan, kesejahteraan sosial, hukum
dan pemerintahan, dan birokrasi. Namun, gagasan kali ini pun masih
menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya, kapan dilaksanakan, dan berapa
uangnya. Rakyat sebetulnya menunggu agar pasangan capres menyelesaikan secara
detail apa, bagaimana, dan kapan setiap gagasannya itu mampu diwujudkan.
Itu menunjukkan kesiapan
pasangan bakal capres tersebut dalam mengeksekusi gagasannya. Begitu terpilih
langsung tancap gas menjalankan roda pemerintahan atau begitu terpilih masih
berpikir lama memilih dan menimbang-nimbang calon menteri.
Kini persoalan waktu begitu
mendesak karena fakta yang sudah terjadi, tidak mudah mewujudkan salah satu
program, misalnya Masterplan Percepatan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak 2011 yang menemui
berbagai kendala dan dinamika. Kompetisi ke depan tidak lagi di dalam negeri,
tetapi sudah antarnegara begitu Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan akhir 2015, siap atau tidak siap.
PR terbesar presiden terpilih ialah menyelesaikan
masalah dalam negeri agar mempunyai daya saing kompetitif. Berikutnya
presiden harus membawa bangsa ini masuk skala regional dan global dengan
selamat dan tidak menjadi korban. Bisakah semua masalah ini diselesaikan
sebelum akhir 2015? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar