TV
Politik
Ubaidillah
Canu ; Kandidat Master Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM)
|
REPUBLIKA,
31 Mei 2014
Bicara tentang kampanye tidak
bisa terlepas dari peran media massa. Pemilu erat kaitannya dengan persaingan
untuk men dapatkan kekuasaan. Pemilu atau pemilihan umum dalam negara demokrasi
sering disebut pesta demokrasi, yakni seluruh rakyat berkumpul di tempat-tempat
pemungutan suara untuk menyuarakan aspirasinya, menggunakan suaranya untuk
menentukan seorang pemimpin. Setelah pemilu selesai, masyarakat biasanya
merasa lega dalam hati dan mengharapkan kehidupan yang lebih baik.
Sebentar lagi seluruh rakyat
Indonesia akan kembali melakukan pesta rutin yang diselenggrakan oleh negara
kita dalam menentukan pemimpin baru bangsa ini untuk satu periode (lima tahun)
ke depan. Pada periode kali ini, begitu masif kita cermati peran media dalam
memainkan isu dalam mengangkat elektabilitas dari capres dan cawapresnya
masing-masing.
Seperti kita ketahui bersama,
perkembangan teknologi media massa berjalan dengan pesat. Dalam masyarakat
modern, media massa mempunyai peran yang signifikan sebagai bagian dari kehidupan
manusia sehari-hari. Banyak ahli komunikasi yang menyatakan bahwa saat ini
kita hidup dalam apa yang dinamakan masyarakat komunikasi massa. Apa yang
dimaksud dengan masyarakat komunikasi massa itu?
Secara sederhana, masyarakat
komunikasi massa adalah satu masyarakat yang kehidupan kesehariannya tidak
bisa dilepaskan dari media massa. Masyarakat komunikasi massa, menjual dan
membeli barang melalui media massa, mencari informasi mutakhir, mencari bahan
untuk pendidikan, mencari hiburan, dan bahkan mencari jodoh pun melalui media
massa. (Iriantara, 2007)
Media massa yang sejatinya ber
fungsi sebagai informasi dan sarana memperluas wawasan dan pengetahuan, telah
dipolitisasi oleh para elite politik dalam merealisasi harapannya untuk
saling menjatuhkan lawannya masing-masing agar memuluskan capres dan cawapres
yang akan dimenangkan. Peran media massa kini telah mengalami pergeseran
peran yang sangat dramatis dari sarana informasi berubah menjadi sarana kampanye
hitam (black campaign). Kampanye
hitam dilakukan dengan melibatkan peran media dalam membangun opini negatif
kepada para kandidat yang ingin dijatuhkan elektabilitasnya. Bahkan, tidak sesekali
kampanye tersebut menjurus pada tindakan fitnah dan pencorengan nama baik.
Bagi budaya politik kita ini menjadi lumrah dilakukan oleh para elite
politik.
Kampanye hitam yang sedang marak
terjadi melalui media massa di Indonesia menuju Pilpres 9 Juli mendatang ini
pada dua basis, yakni basis Prabowo-Hatta dan basis Jokowi-JK. Kampanye hitam
yang menyerang Prabowo-Hatta adalah tuntutan kejelasan kasus pelanggaran HAM
Mei 1998 lalu, sementara itu Jokowi pun mendapat kampanye hitam tentang isu
kepentingan antara Megawati dan Amerika Serikat jika Jokowi terpilih sebagai
presiden. Kampanye hitam semakin mengganas di media sosial seperti Facebook
dan Twitter seolah menjadi sasaran utama menyerukan kampanye hitam berisi pembenaran
suatu parpol dan penjatuhan terhadap parpol lain.
Sekarang tidak ada yang namanya
TV berita di Indonesia. Apa ada yang masih mengira Metro TV dan TV One itu TV
berita? Bukan. Mereka lebih tepat disebut TV politik. Isinya didominasi berita
gontok-gontokkan politik antara kubu Prabowo-Hatta dengan TV One alias Golkar
TV, MNC TV, Global TV, dan RCTI alias Hari Tanusudibjo TV yang ikut-ikutan
terjun ke politik sebagai kontestan habis manis sepah dibuang.
Sementara kubu Jokowi-JK dengan
Metro TV alias NasDem TV, ikut pula Kompas TV sebagai pendukung kubu ini.
Sekarang lihat saja konten siaran keduanya. Metro TV selalu memberitakan sisi
baik Jokowi-JK dan melakukan konspirasi di balik agenda acara yang disiarkan
stasiun TV tersebut. Begitu pula dengan TV One yang Pro Prabowo-Hatta menjadi
counter issu terhadap hujatan dari kubu Jokowi-JK dan melakukan kampanye
seputar kebijakan Prabowo-Hatta.
Adanya fenomena seperti ini
telah menuntut rakyat Indonesia untuk semakin cerdas dan bijak dalam menentukan
pilihannya. Dalam upaya peningkatan kualitas pola pikir masyarakat, perlu
adanya peran media massa. Namun, pikiran masyarakat kembali diuji ketika
media massa juga diserang oleh kampanye hitam yang mengatakan bahwa media ini
bayaran, media itu orderan, dan lain-lain. Semuanya kembali pada rasionalitas
konstituen politik dalam hal ini rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, terlepas dari
benang kusut tadi, kita tetap bisa menentukan pilihan kita yakni dengan cara
menghayati bagaimana cara para calon pemimpin bertutur kata. Kritisi visi
misinya, dan lihat adakah ketulusan dan empati yang terjalin ketika mereka
berjumpa dengan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar