Era
Baru Mengatasi Pengelak Pajak
Setyo
Budiantoro ; Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa,
Koordinator Global
Alliance for Tax Justice Asia Tenggara
|
KOMPAS,
07 Juni 2014
Dunia
kini memasuki era baru mengatasi pengelakan pajak.
Kondisi
fiskal negara maju yang berdarah-darah, sebaliknya perusahaan multinasional
(MNC) menyembunyikan keuntungan raksasa, telah menimbulkan kemarahan.
Dikalkulasi aset keuangan Rp 230.000 triliun atau 250 kali ekonomi Indonesia
disembunyikan di yurisdiksi ”surga pajak”.
Meski
negara maju begitu geram, yang lebih dirugikan sebenarnya negara berkembang.
Lokasi fisik beroperasinya MNC, terutama di sektor ekstraktif, komoditas atau
buruh murah, ada di negara berkembang. Aset keuangan menguap dari Indonesia,
misalnya, mencapai Rp 3.600 triliun; dua kali lipat APBN 2014.
Globalisasi
telah merevolusikan rantai nilai global dan memfragmentasikan rantai produksi
di banyak negara. Produksi lintas negara bisa membuat pajak berganda (double taxation) atau justru tanpa
pajak (double non-taxation). Aturan
pajak bersifat domestik dan berbeda antarnegara. Celah ini dapat dimanfaatkan
untuk menghindari pajak.
Penyembunyian
keuntungan mudah dilakukan, bahkan tanpa harus melanggar aturan. Adanya
Entitas Bertujuan Khusus (Special
Vehicle Entity) di negara surga pajak, yaitu entitas yang bahkan bisa
tanpa kantor fisik atau karyawan tetapi menjalankan investasi raksasa, makin
memfasilitasi hal ini. Dari data yang ada, tren terpisahnya lokasi fisik
wilayah usaha beroperasi dan pelaporan keuntungan untuk pengelakan pajak kini
makin meningkat.
Longsor pajak dunia
Negara
maju yang bergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan) sangat geram atas perilaku perusahaan yang menghindari pajak.
Namun, mendeteksi manipulasi pajak MNC tidaklah mudah karena sekitar 70
persen transaksi adalah di antara perusahaan terafiliasi sendiri
(intragroup). Mekanisme transfer mispricing
intragroup selama 2005-2007 hanya dari negara non-Uni Eropa ke Amerika dan
Uni Eropa dikalkulasi mencapai Rp 12.000 triliun.
Starbucks,
Apple, Google, dan Amazon adalah contoh perusahaan terkenal yang ternyata
melakukan penggelapan pajak miliaran dollar. Laporan OECD Addressing Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
menjabarkan modus MNC melakukan pengelakan pajak. Rencana aksi mengatasi BEPS
kini juga menjadi prioritas negara G-20.
Pertukaran
informasi secara otomatis antarnegara mengenai informasi pajak dan rekening
bank disepakati dilakukan untuk menelisik praktik curang pemanfaatan celah
aturan lintas negara. Pemerintah AS bahkan mengeluarkan aturan unilateral
yang mengharuskan lembaga keuangan dan non-keuangan negara lain melaporkan
rekening milik warganya. Aturan Foreign
Account Tax Compliance Act (FATCA) ini bahkan mampu mematahkan
kerahasiaan bank Swiss dan Singapura, wilayah terkenal ”surga pajak”.
Tren
dunia memperbaiki asimetri informasi untuk mengatasi pengelakan pajak
tersebut belum tentu bisa dimanfaatkan optimal oleh Indonesia, mengingat
lemahnya kapasitas institusi pajak di negeri ini. Perbaikan asimetri
informasi perlu pula dibarengi dengan peningkatan skill, pengetahuan, sistem,
teknologi, dan kelembagaan memanfaatkan informasi melimpah. Indikasi lemahnya
kapasitas setidaknya terlihat dari ketidakmampuan mendeteksi penggelapan
pajak ”superjumbo” lebih dari Rp 1 triliun kasus Asian Agri.
Dharmasaputra
(2013) memperlihatkan modus ”kriminal biasa” manipulasi pajak Asian Agri
melalui pembuatan biaya fiktif, manipulasi harga, dan transaksi lindung nilai
fiktif. Dana manipulasi ini lalu dikirim ke wilayah ”surga pajak”, seperti
Singapura, Hongkong, Mauritius, Makao, dan Kepulauan Virgin Britania Raya.
Terbongkarnya megaskandal pajak Asian Agri ini karena pengungkap kasus (whistle blower), bukan dari
pendeteksian aparat pajak. Bila tak ada pengungkap kasus, penggelapan pajak
sebesar ”gajah” ini tak akan pernah terungkap.
Pertanyaannya,
lalu bagaimana aparat pajak bisa ”mengendus” kecurangan pajak yang lebih
canggih, yaitu menghindari pajak tanpa melanggar dengan memanfaatkan celah
aturan di dalam maupun luar negeri? Kejahatan kerah putih penggelapan pajak
bukanlah kriminal biasa. Ia ibarat menangkap belut dalam drum yang penuh
pelumas.
Reformasi institusi pajak
Secara
kelembagaan, kewenangan institusi pajak terbatas karena terbentur aturan
kerahasiaan bank. Ini mengakibatkan kesesuaian kekayaan nasabah bank dengan pajak
yang dibayarkan tidak bisa dipastikan. Meski menyadari hal ini, Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) tak bisa berbuat banyak karena kewenangan terbatas.
Kerahasiaan
bank kini sudah ditinggalkan di dunia. Bahkan, dengan adanya FATCA, institusi
pajak Amerika (IRS) mendapatkan data keuangan warganya di negara lain,
termasuk Indonesia. Bila tak ada halangan, FATCA dilaksanakan di Indonesia
bulan Juli tahun ini.
Pemberlakuan
FATCA sebenarnya ironis bagi Indonesia. Sebab, pemerintah asing leluasa
mengakses data keuangan di Indonesia, tetapi Pemerintah Indonesia sendiri
(DJP) tidak bisa. UU Perbankan seharusnya direvisi agar institusi pajak
diberi akses untuk penggalian pajak dan penagihan. Kini sudah bukan zamannya
lagi di mana UU Perbankan justru menjadi ”tameng” penggelap pajak.
Dalam
kampanye Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan rasio pajak
terhadap produk domestik bruto naik dari 12 persen jadi 19 persen. Akan
tetapi, sampai dua periode pemerintahannya, rasio pajak tak beranjak di
kisaran 12 persen. Kini capres Jokowi dan Prabowo menargetkan meningkatkan
rasio pajak 16 persen. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi konservatif 5 persen
per tahun saja, penerimaan pajak 2019 berarti mencapai Rp 2.000 triliun.
Bila kedua capres serius menargetkan penerimaan dua kali lipat selama
lima tahun, sudah waktunya institusi pajak jadi kementerian tersendiri. Tren
dunia memperlihatkan, institusi pajak yang selama ini ”terbonsai” di bawah
Kementerian Keuangan makin ditinggalkan. Namun, peningkatan kredibilitas lembaga,
perluasan kewenangan, dan fokus perlu dibarengi pengawasan dan hukuman yang
kuat. Jangan pernah ada Gayus, Dhana, dan Hadi Poernomo ”baru” muncul lagi di
republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar