Kampanye
Nir-iptek
Bambang
Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
07 Juni 2014
AVIANI
Malik, penyiar di Metro TV, berkomentar tentang kampanye partai politik yang
bernada datar dan tanpa gereget yang bisa mengangkat harkat.
Walaupun
ditingkahi nyanyian dan tarian, kemiskinan liberatif dan ajakan membangun
budaya abad ke-21 tetap terasa. Padahal, negara sedang dirundung berbagai
kemalangan yang tanpa kecerdasan politik dan wawasan pengetahuan dan
teknologi akan terseret masuk negara gagal.
Sepinya
kampanye berencana aksi masih terasa. Beberapa artikel di Kompas muncul
dengan tuntutan memperbaiki cara kampanye agar ikut mendidik warga Indonesia
paham program bernegara (Daoed Joesoef,
5/5/2014; Ikrar Nusa Bakti, 5/4/2014). Kedua ilmuwan itu menginginkan
pemilih, apalagi pengumbar janji, lebih cerdas dan bernalar memetakan agenda
pembangunan.
Daoed
Yoesoef malah mengajak kita semua memunggah mutu pendidikan. Agenda
pendidikan bukan upaya dadakan, tetapi program berencana dan bersangkakala.
Konteks rencana dan program itu perlu menekankan pematangan persiapan yang
beralaskan pengetahuan bertaut dengan sistem sosial, kemajuan zaman, dan
data.
Basis pengetahuan
Metodologi
ilmu pengetahuan, yang berasas pengamatan dalam sosio-ekonomi-budaya, tidak
bisa dilepaskan dari metrik sosiologi kurun waktu. Hal itu dapat merupakan
kartu pemenang bagi perancang masa depan.
Pengangkatan
derajat kelompok kurang beruntung, sebagai contoh, tampak sederhana tetapi
tidak lepas dari kaidah ilmiah pembukaan lapangan kerja. Itu sebabnya program
pembangunan milenium PBB tidak hanya menghapus kemiskinan, tetapi juga
menghalau kelaparan dan berbagai penyakit endemik dan jenis baru. Langkah
pemerintah melindungi warga Indonesia dari MERS, jenis penyakit baru, patut
dihargai tetapi telaah musabab penyakit tersebut harus menjadi porsi ilmu
pengetahuan.
Masalah
lingkungan yang rawan tidak dapat ditangani hanya dengan pengaturan alih daya
guna lahan dan hutan. Kepekaan etika ekologi diperlukan sebab masalah intinya
tidak terletak dalam ranah ekonomi transaksional. Pengubahan tata guna lahan
dewasa ini mengusik nurani karena pembangunan seolah tereduksi menjadi
ekonomi pemilikan tanah saja.
Kenyataan
ini perlu dilihat dengan kewaspadaan karena mengancam kekayaan keanekaan
hayati dan keinginan negara untuk menyumbang kesejahteraan dan kenyamanan
dunia, yang semua itu bergantung pada kiat kita mengelola hutan dan pesisir.
Di situ tersimpan daya picu keilmuan untuk mengelola. Bahkan, permodelan
ekonomi terbaru pun tidak lepas dari pengetahuan mengenai parameter ubahan
iklim. Nature, 14 Mei 2014, mewanti agar tidak menyepelekan CO2, salah satu
faktor perubahan iklim, karena semburan molekul tersebut ke atmosfer telah
mengganggu keseimbangan elemen atmosfer lain.
Peserta
kontes kepemimpinan nasional punya kesempatan luas untuk mengeruk
permasalahan alam Indonesia yang dapat disajikan sebagai programa masa depan.
Ini dapat memoles citra pembaharuannya, idiil, dan praktis, terutama untuk
memperoleh tempat dan kepercayaan dalam pikiran dan hati publik. Pemunculan
butir programatik memang harus dirancang dan ditelaah secara saksama atas
dasar kebijakan berlandas ilmu pengetahuan. Kesempatan itu tak mampir ke
tangan, tetapi harus diraup dan disaut dari hamparan masyarakat yang dinamik
berkultur jamak. Pemilihan tematik itu, umpama, lenyapnya spesies tertentu
sampai kepada salah mongso-nya El Nino, masih harus diikuti pengumpulan data,
tidak cukup hanya dengan eufemisme keunggulan demografik. Tabir data akan
terbuka dengan pikiran jernih, waktu, tenaga, dan dana.
Segmen
konstruktif masyarakat, perguruan tinggi, sektor pendidikan formal dan
nirformal, pegiat penelitian ilmiah memerlukan dan menunggu elite politik
bersikap bersahabat dengan masa depan
di luar rentang 5 tahun, selang waktu antarpemilu.
Kualitas manusia
Betapa
pentingnya kualitas manusia dalam pembangunan sudah sering dipaparkan di
harian ini. Hendra Gunawan (Kompas,
20/5/2014) mengajak mengintip masa depan kekuatan daya pikir manusia
kita.
Warna
yang diperoleh memang tidak terlalu cemerlang, tetapi para calon pemimpin
bangsa tentunya bisa memberi imbuhan bumbu untuk mengangkat kualitas manusia
Indonesia melalui program kampanye yang realistis. Dengan imbuhan dana dan
ubahan parameter keberhasilan yang terukur, kampanye akan lebih bermutu.
Pembangunan
sumber daya manusia yang menggugah bukan hal sederhana. Perdana Menteri
Tiongkok Li Keqiang (Science, 11 April
2014) mencontohkan pemahamannya melalui cita rasa kognitif dan afektif
untuk mempercepat pendidikan anak pedesaan di Tiongkok. Ia membantu mereka
memasuki universitas ternama. Pendekatan seperti ini tak salah diterapkan,
tentu disesuaikan kepentingan program pembangunan manusia kita.
Kenyataannya,
walau tidak seluruhnya keliru, yang terjadi masih terbatas pada pembentukan
koalisi antarsahabat seperjalanan. Itu sah karena memang persekutuan seiring
harus mengajak bersama menapak lintasan menuju cita konstruktif: bisa saling mengisi
program, memperbaiki tujuan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat
banyak.
Namun,
melihat kejadian belakangan ini, timbul rasa heran karena itu semua lepas
dari kenyataan. Opsinya terlukis hanya keinginan bersama dalam tenggang waktu
antarpemilu. Rangsangan pikiran yang ada seolah hanya bergelut dengan konsep
sosial sesaat tanpa memperhatikan titik besar yang bernama tujuan kenegaraan.
Agenda
besar bangsa melingkupi pendidikan karena hasil pendidikan itulah yang kelak
akan menanggung beban hidup dalam
milenium ketiga ini. Mereka itu calon warga bangsa yang harus dibekali dengan pemikiran kritis
menanya, menimbang, dan membandingkan, tetapi pendidikan juga pilar untuk
membebaskan diri dari ketakutan, trauma kegagalan, serta ancaman.
Tarti Nugroho (Mei 2014), peneliti dari lembaga Mubyarto di Yogyakarta,
menulis esai mengenai pendidikan sebagai strategi kebudayaan. Dia
mencontohkan dalam proses pendidikan itu terkandung pilar kebangsaan dan
kebudayaan, bahkan konstitutif bagi kebudayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar