Senin, 09 Juni 2014

Distribusi Guru Berkeadilan

Distribusi Guru Berkeadilan

Rohani Elita Simanjuntak ;   Guru dan Pemerhati Pendidikan
KOMPAS,  05 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
HARIAN Kompas edisi 13 Mei 2014 mewartakan bahwa kemampuan dasar, seperti membaca, menulis, dan menghitung, para murid di Papua dan Papua Barat masih rendah. Minimnya sumber daya guru menjadi persoalan mendasar di daerah tersebut.

Papua dan Papua Barat hanyalah sebagian kecil. Faktanya masih banyak daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) di Indonesia yang mengalami permasalahan serupa. Minimnya jumlah guru di daerah 3T ini sangat kontraproduktif jika dibandingkan dengan jumlah guru yang faktanya melimpah di Indonesia. Hasil studi World Bank Indonesia (2011) bahkan memperlihatkan data bahwa Indonesia ternyata berkelebihan guru. Maka, pendidikan hanya maju di daerah perkotaan dengan fasilitas dan sumber daya guru yang melimpah.

Penyebab buruknya mutu pendidikan di Indonesia saat ini tidak lepas dari buruknya sistem dan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Kurikulum yang terus berubah-ubah secara terminologi tetapi tak menyentuh esensi dasar pendidikan untuk memanusiakan manusia menunjukkan bahwa negeri ini tidak mempunyai model yang tepat dalam mendidik bangsanya.

Kondisi semakin diperparah dengan tidak meratanya distribusi guru secara kualitas, kuantitas, dan mata pelajaran ke seluruh wilayah Indonesia. Data Pemetaan BPSDMP-PMP Kemdikbud (2011) menunjukkan, persebaran guru masih sentralistik. Di perkotaan, guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan juga kelebihan hingga 68 persen, padahal di banyak sekolah wilayah 3T kekurangan guru hingga 66 persen. Akibatnya, para pelajar di daerah 3T tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengecap pendidikan yang berkualitas.

John Bock, dalam The Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi bahwa esensi utama pendidikan adalah untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, kemudian mempersiapkan tenaga kerja untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan.

Akibat minimnya sumber daya guru, pemerintah secara tidak langsung mematikan kesempatan anak-anak di daerah 3T untuk memiliki masa depan yang cerah. Padahal, sudah menjadi tugas pemerintah sesuai dengan tuntutan undang-undang agar membuka ruang selebar-lebarnya dalam memenuhi kebutuhan dasar khususnya pendidikan bagi rakyatnya.

Hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam BAB XA tentang HAM. Lebih dari itu, pendidikan merupakan hak dasar warga negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 dan Pasal 28C.

Namun, pemerintah tidak mampu menjadi katalisator di dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Pemetaan kebutuhan dan pendistribusian guru sangat tidak adil dan hanya menguntungkan sebagian daerah di republik ini. Pemerintah seharusnya malu karena sebagai pemangku kebijakan tak mampu membuat kebijakan yang bermanfaat bagi rakyatnya.

Padahal, pemerintah seharusnya serius memperhatikan aspek perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotrik seluruh generasi mudanya. Untuk itu, pemerintah perlu memiliki visi menjadikan pendidikan sebagai engine of growth untuk mencapai tujuan nasional. Karena itu, kebijakan distribusi guru di Indonesia perlu ditata ulang. Distribusi guru ke seluruh daerah termasuk daerah 3T harus adil dan merata.

Guru adalah ujung tombak bagi kemajuan pendidikan. Guru sangat dibutuhkan karena merupakan figur sentral dalam mendidik siswa-siswi di daerah 3T. Guru merupakan kunci terhadap pencapaian delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian.

Keutamaan (virtue) dari seorang guru memberikan kontribusi yang signifikan dalam menghasilkan generasi muda dengan kualitas spiritual, intelektual, dan emosional yang seimbang. Gurulah pahlawan terdepan dalam mengatasi titik buta bangsa. Tanpa kehadiran guru sebagai pendidik, mustahil memajukan pendidikan di daerah 3T.

Pemerintah perlu berkaca dan kembali memetakan ulang kebutuhan guru. Kebijakan yang ada saat ini, seperti Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (SM3T), nyatanya hanya kesia-siaan belaka. Para guru SM3T hanya mengajar sementara waktu (temporer), padahal daerah 3T membutuhkan guru-guru permanen yang berkualitas.

Apa salahnya jika pemerintah memindahkan kelebihan guru di satu daerah ke daerah lain yang kekurangan? Republik ini dulu bersedia mengirimkan guru ke negara lain seperti Malaysia, tetapi mengapa sekarang ini begitu sulit mengirimkan guru-guru permanen untuk mendidik generasi muda di daerah 3T?

Negeri ini perlu menakar kembali pendidikan publik. Sudahkah keutamaan pendidikan publik terselenggara di negeri ini? Kita tidak boleh lupa bahwa Nelson Mandela pernah berkata, ”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”

Kita berharap, guru tidak lagi hanya menumpuk di perkotaan. Perekrutan calon pegawai negeri sipil hendaknya diprioritaskan untuk daerah 3T dan diperketat dengan komitmen mengajar seumur hidup.

Pemerintah diharapkan serius menyelesaikan permasalahan krusial ini agar pemerataan pendidikan dapat tercapai sehingga kualitas sumber daya manusia meningkat demi memajukan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar