Distribusi
Guru Berkeadilan
Rohani
Elita Simanjuntak ; Guru dan Pemerhati Pendidikan
|
KOMPAS,
05 Juni 2014
HARIAN Kompas edisi 13 Mei 2014
mewartakan bahwa kemampuan dasar, seperti membaca, menulis, dan menghitung,
para murid di Papua dan Papua Barat masih rendah. Minimnya sumber daya guru
menjadi persoalan mendasar di daerah tersebut.
Papua dan Papua Barat hanyalah
sebagian kecil. Faktanya masih banyak daerah 3T (terluar, terdepan,
tertinggal) di Indonesia yang mengalami permasalahan serupa. Minimnya jumlah
guru di daerah 3T ini sangat kontraproduktif jika dibandingkan dengan jumlah
guru yang faktanya melimpah di Indonesia. Hasil studi World Bank Indonesia (2011) bahkan memperlihatkan data bahwa
Indonesia ternyata berkelebihan guru. Maka, pendidikan hanya maju di daerah
perkotaan dengan fasilitas dan sumber daya guru yang melimpah.
Penyebab buruknya mutu
pendidikan di Indonesia saat ini tidak lepas dari buruknya sistem dan kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan. Kurikulum yang terus berubah-ubah secara
terminologi tetapi tak menyentuh esensi dasar pendidikan untuk memanusiakan
manusia menunjukkan bahwa negeri ini tidak mempunyai model yang tepat dalam
mendidik bangsanya.
Kondisi semakin diperparah
dengan tidak meratanya distribusi guru secara kualitas, kuantitas, dan mata
pelajaran ke seluruh wilayah Indonesia. Data Pemetaan BPSDMP-PMP Kemdikbud
(2011) menunjukkan, persebaran guru masih sentralistik. Di perkotaan, guru
berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan juga kelebihan hingga 68 persen,
padahal di banyak sekolah wilayah 3T kekurangan guru hingga 66 persen.
Akibatnya, para pelajar di daerah 3T tidak mendapatkan kesempatan yang sama
untuk mengecap pendidikan yang berkualitas.
John Bock, dalam The Education and Development: A Conflict
Meaning (1992), mengidentifikasi bahwa esensi utama pendidikan adalah
untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa,
kemudian mempersiapkan tenaga kerja untuk memeratakan kesempatan dan
pendapatan.
Akibat minimnya sumber daya
guru, pemerintah secara tidak langsung mematikan kesempatan anak-anak di
daerah 3T untuk memiliki masa depan yang cerah. Padahal, sudah menjadi tugas
pemerintah sesuai dengan tuntutan undang-undang agar membuka ruang
selebar-lebarnya dalam memenuhi kebutuhan dasar khususnya pendidikan bagi
rakyatnya.
Hak untuk mendapatkan pendidikan
merupakan salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam BAB XA tentang
HAM. Lebih dari itu, pendidikan merupakan hak dasar warga negara Indonesia
berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 dan Pasal 28C.
Namun, pemerintah tidak mampu
menjadi katalisator di dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Pemetaan
kebutuhan dan pendistribusian guru sangat tidak adil dan hanya menguntungkan
sebagian daerah di republik ini. Pemerintah seharusnya malu karena sebagai
pemangku kebijakan tak mampu membuat kebijakan yang bermanfaat bagi
rakyatnya.
Padahal, pemerintah seharusnya
serius memperhatikan aspek perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotrik
seluruh generasi mudanya. Untuk itu, pemerintah perlu memiliki visi
menjadikan pendidikan sebagai engine of growth untuk mencapai tujuan
nasional. Karena itu, kebijakan distribusi guru di Indonesia perlu ditata
ulang. Distribusi guru ke seluruh daerah termasuk daerah 3T harus adil dan
merata.
Guru adalah ujung tombak bagi
kemajuan pendidikan. Guru sangat dibutuhkan karena merupakan figur sentral
dalam mendidik siswa-siswi di daerah 3T. Guru merupakan kunci terhadap
pencapaian delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi kompetensi
lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian.
Keutamaan (virtue) dari seorang guru memberikan kontribusi yang signifikan
dalam menghasilkan generasi muda dengan kualitas spiritual, intelektual, dan
emosional yang seimbang. Gurulah pahlawan terdepan dalam mengatasi titik buta
bangsa. Tanpa kehadiran guru sebagai pendidik, mustahil memajukan pendidikan
di daerah 3T.
Pemerintah perlu berkaca dan
kembali memetakan ulang kebutuhan guru. Kebijakan yang ada saat ini, seperti
Sarjana Mengajar di Daerah Terpencil, Terdepan, dan Terluar (SM3T), nyatanya
hanya kesia-siaan belaka. Para guru SM3T hanya mengajar sementara waktu
(temporer), padahal daerah 3T membutuhkan guru-guru permanen yang
berkualitas.
Apa salahnya jika pemerintah
memindahkan kelebihan guru di satu daerah ke daerah lain yang kekurangan?
Republik ini dulu bersedia mengirimkan guru ke negara lain seperti Malaysia,
tetapi mengapa sekarang ini begitu sulit mengirimkan guru-guru permanen untuk
mendidik generasi muda di daerah 3T?
Negeri ini perlu menakar kembali
pendidikan publik. Sudahkah keutamaan pendidikan publik terselenggara di
negeri ini? Kita tidak boleh lupa bahwa Nelson Mandela pernah berkata, ”Education is the most powerful weapon
which you can use to change the world.”
Kita berharap, guru tidak lagi
hanya menumpuk di perkotaan. Perekrutan calon pegawai negeri sipil hendaknya
diprioritaskan untuk daerah 3T dan diperketat dengan komitmen mengajar seumur
hidup.
Pemerintah
diharapkan serius menyelesaikan permasalahan krusial ini agar pemerataan
pendidikan dapat tercapai sehingga kualitas sumber daya manusia meningkat
demi memajukan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar