Korupsi
Penyelenggaraan Haji
Emerson
Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
06 Juni 2014
Bandingkan dengan
artikel EY dgn topik sama yang dimuat di Jawa Pos 03 Juni 2014
KOMISI
Pemberantasan Korupsi, Kamis (22/5/2014), secara mengejutkan menetapkan
Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait
penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013.
KPK
menduga Suryadharma Ali menggunakan dana haji untuk membayari pejabat
Kementerian Agama dan keluarganya naik haji serta melakukan penggelembungan
harga (mark up) katering,
pemondokan, dan transportasi jemaah haji.
Ada banyak celah
Penetapan
Menteri Agama sebagai tersangka korupsi jelas sangat ironis. Menteri Agama
yang seharusnya panutan bagi pranata pemerintahan dan masyarakat justru
tersandung kasus korupsi.
Suryadharma
Ali adalah Menteri Agama kedua yang tersandung kasus korupsi terkait
penyelenggaraan haji di Kementerian Agama (Kemenag). Sebelumnya Menteri Agama periode 2001-2004,
Said Agil Husin Al Munawar, juga tersangkut korupsi dalam pengelolaan dana
abadi umat yang berasal dari setoran haji, sebesar Rp 275,9 miliar. Pada
2006, Said Agil dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dan dihukum
penjara selama 5 tahun.
Aroma
korupsi terkait penyelenggaraan haji sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada
2010, KPK pernah melakukan kajian dan menemukan sejumlah titik rawan korupsi
pengelolaan ibadah haji yang dikelola Kemenag. Komisi anti korupsi ini juga
memberikan 48 rekomendasi yang harus dibenahi oleh Kemenag agar tidak terjadi
lagi peluang korupsi dalam penyelenggaraan haji. Sayangnya tak semua
rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh Kemenag.
Lalu,
pada 2013, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir
adanya dugaan penyalahgunaan penggunaaan dana haji. Dari setoran ongkos naik
haji (ONH) Rp 80 triliun, bunga bank sebanyak Rp 2,3 triliun diduga
diselewengkan. PPATK juga menemukan dugaan transaksi mencurigakan di Kemenag
senilai Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya.
Bahkan,
sejak 2004, Indonesia Corruption Watch
sudah mengungkapkan setidaknya ada empat celah potensi korupsi dalam
penyelenggaraan ibadah haji.
Pertama,
pengelolaan dana setoran awal calon haji, baik yang reguler maupun khusus
(ONH plus). Untuk dapat nomor antrean keberangkatan, calon haji harus
membayar biaya haji yang telah ditentukan pemerintah. Jumlah setoran ongkos
haji yang mencapai Rp 9 triliun per tahun dan bunga bank yang diperoleh
berpotensi disalahgunakan.
Penentuan
besaran ongkos biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selama ini ditentukan
bersama oleh Kemenag dan DPR. Mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel
itu menyebabkan terjadinya kongkalikong dan potensi suap-menyuap dalam
menentukan biaya haji yang cenderung
naik setiap tahun.
Kedua,
pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Pengadaan
yang berpotensi terjadinya kolusi dan korupsi adalah pengadaan transportasi
darat dan udara di Arab Saudi, katering, pemondokan, hingga asuransi untuk
jemaah haji. Proses pengadaan yang tertutup cenderung membuat mereka yang
dekat dengan pejabat di Kemenag dan DPR yang akan menjadi pemenang. Karena
proses pengadaan yang sarat kolusi dan korupsi, pada akhirnya berdampak terhadap pelayanan
haji kepada para jemaah menjadi kurang memuaskan.
Ketiga,
penggunaan dana abadi umat (DAU) yang berasal dari hasil efisiensi biaya
penyelenggaraan ibadah haji. Sudah rahasia umum, DAU jadi dana taktis atau
nonbudgeter di Kemenag yang sering digunakan untuk kepentingan atau kegiatan
yang bersifat pribadi. Kriteria penggunaan dan mekanisme
pertanggungjawabannya yang tidak jelas membuka peluang terjadinya
penyalahgunaan. Tahun 2005-2006, hasil penghitungan ICW menyebutkan potensi
DAU yang berpotensi korupsi mencapai
10 juta dollar AS.
Keempat,
selain tiga celah tersebut, penyalahgunaan lain yang juga muncul, antara
lain, penggunaan dana haji untuk memfasilitasi kolega ataupun kerabat pejabat
di lingkungan kementerian untuk menunaikan ibadah haji dan pemberian
gratifikasi kepada anggota DPR yang melakukan pengawasan pelaksanaan haji di
Arab Saudi.
Langkah
KPK dalam mengusut kasus korupsi penyelenggaraan haji layak diapresiasi dan
seharusnya dijadikan momentum dalam upaya membersihkan Kemenag dari korupsi.
Upaya ini dapat dilakukan dengan aspek penindakan dan sekaligus pencegahan.
Pada
aspek penindakan, selain Suryadharma Ali, KPK juga harus menuntaskan dan
menjerat semua pelaku yang juga diduga terlibat ataupun menikmati praktik
korupsi dalam penyelenggaraan haji. Mereka yang diduga kuat terlibat korupsi
pelaksanaan haji harus dituntut seberat-beratnya agar memberikan efek jera
bagi pelaku dan memberikan peringatan bagi yang lain untuk tidak melakukan
tindakan serupa.
Perlu badan khusus haji
Adapun
dari aspek pencegahan, penting dilakukan upaya perbaikan tata kelola
penyelenggaraan haji dan sekaligus mencegah praktik korupsi serupa terulang
di masa mendatang. Kemenag harus kooperatif dalam melaksanakan semua
rekomendasi KPK dalam memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.
Penyelenggaraan
ibadah haji di masa mendatang sebaiknya tidak lagi dikelola oleh Kemenag,
tetapi sudah saatnya ditangani oleh badan khusus haji yang bertanggung jawab
langsung kepada presiden. Badan khusus haji ini nantinya harus dikelola
secara profesional dan akuntabel.
Selama
proses pembenahan pengelolaan haji dilakukan, perlu dilakukan penghentian
sementara atau moratorium pendaftaran calon haji dan setoran dana haji
seperti pernah diwacanakan KPK sejak 2012. Dengan komitmen dan dukungan semua
pihak, masyarakat berharap penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang
berjalan lebih baik dan tidak lagi tercemar oleh praktik korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar