Demokrasi
Indonesia Harus Kokoh
Maria
Hartiningsih & Budi Suwarna ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
08 Juni 2014
Proses
demokrasi di Indonesia harus bertahan kokoh karena kerumitan dalam proses
demokrasi prosedural berpeluang mengembalikan Indonesia ke jurang
otoritarianisme. Dinamika demokrasi dipantau dari kapasitas politik aktor
demokrasi dalam memanfaatkan atau menyalahgunakan prosedur.
”Regulasi
pemilu cukup baik dan pelaksanaannya berjalan bebas meskipun pemilu tahun ini
tampaknya ada peningkatan kasus intimidasi dan kecurangan,” ujar pakar ilmu
politik dari Universitas Oslo, Prof Olle Tornquist, tahun ini (63). ”Tetapi
partai hampir tidak diatur sama sekali. Mereka bahkan tidak harus bersikap
demokratis. Para pemimpin dan para kadernya nyaris bisa bertindak apa pun.”
Olle
ditemui di Jakarta, ketika kembali dari Aceh, akhir Januari 2014. Wawancara
dilanjutkan setelah pemilu legislatif melalui surat elektronik.
Menjelang
akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014, Olle melakukan survei lanjutan
tentang aktor demokrasi, fokus penelitian yang membedakan Olle dengan
peneliti demokrasi lain, yang lebih tertarik pada prosedur dan kelembagaan.
Ia menghadiri lokakarya hasil survei putaran akhir di Yogyakarta, sebulan
lalu.
Melalui
hasil survei lebih dari 500 responden dari Aceh sampai Maluku, ia melihat
dinamika demokrasi melalui variabel kapasitas politik para aktor. Survei
putaran ketiga tahun 2013 bersama tim peneliti Universitas Oslo dan
Universitas Gadjah Mada di bawah proyek penelitian ”Power, Welfare and Democracy” adalah kelanjutan survei bersama
Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), pertama tahun 2003, kedua
tahun 2007.
Menurut
Olle, demokrasi seharusnya berujung pada peningkatan kesejahteraan, tetapi
demokrasi elektoral yang menjamin hak sipil dan politik tidak cukup mendorong
demokrasi tersambung pada kesejahteraan.
Olle
mengikuti dari dekat beberapa peristiwa politik penting di negeri ini. Ia
sedang melakukan studi di Yogyakarta ketika terjadi penyerbuan markas Partai
Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati , Juli 1996. Ia tiba di Jakarta tak
lama setelah pembredelan Tempo, Detik, dan Editor, Juni 1994. Ia sedang
melakukan studi di Filipina saat Soeharto turun, setelah pengepungan Gedung
DPR MPR, Mei 1997.
Dibajak
Basis
argumen yang diungkapkan Olle sejak survei tahun 2003, yang disimpulkan tahun
2004, adalah dibajaknya demokrasi prosedural oleh para elite lama dan baru
yang terutama memiliki akses pada modal ekonomi (uang), kekuasaan, dan
koneksi.
”Pelaku oligarki di Indonesia adalah orang-orang
dengan modal ekonomi (uang), tetapi untuk bisa mendominasi politik dan
memenangi pemilu, mereka perlu mengubah uang itu menjadi sebentuk legitimasi
dan otoritas. Untuk itu, mereka membutuhkan banyak modal sosial (koneksi),
pengetahuan juga klientilisme dan populisme.”
Oleh
sebab itu, ”Tak diragukan lagi,
partai-partai di parlemen disetir dan didominasi oleh kekuatan oligarki dan
pemimpin dengan banyak modal simbolik dan koneksi khusus.”
Hasil
survei 2013 itu membenarkan karakter klientilistik demokrasi di Indonesia.
Meskipun kepemilikan modal dan koneksi (politik) tidak serta-merta
mengimplikasikan politik klientilisme, kombinasi keduanya dipahami secara
luas sebagai elemen utama hubungan patron-klien.
”Saya kira makin banyak orang sadar bahwa politik
yang didominasi kaum elite itu menghancurkan,” ujar Olle, ”Harus ada
pembaruan dalam sistem pemilu dan kepartaian, juga kebijakan untuk membangun
saluran-saluran tambahan bagi keterwakilan kepentingan, gagasan, dan kaum
minoritas.”
Gerakan demokrasi
Menurut
Olle, persoalan dasar saat ini bukan sistem pemilu atau sistem kepartaian,
melainkan tidak adanya organisasi-organisasi berbasis kepentingan dan gagasan
yang dibangun dari bawah, tersebar di sejumlah daerah dan terintegrasikan di
tingkat nasional. Ia mengingatkan dominasi kelompok bisnis harus diimbangi
dengan gerakan berorientasi kerakyatan. ”Tanpa
itu, kelompok pro demokrasi tidak bisa membangun partai yang lebih baik dan memenangi
pemilu, meskipun ada berbagai aturan dan regulasi,” ujarnya.
Gerakan
dan organisasi berbasis massa yang demokratis dapat menyumbang
gagasan-gagasan dalam implementasi kebijakan dan mengawasi politisi serta
birokrat agar akuntabel. ”Pemenang pemilu
tak bisa seenaknya,” tegas Olle, ”Tanpa
organisasi seperti ini, parpol akan tetap dikuasai kelompok elitis yang
sangat berkuasa. Berbagai kepentingan dan gagasan akan sangat diwarnai
pikiran para pemimpin informal, NGO yang elitis, kelompok lobi dan aksi yang
juga elitis dan tidak terlalu demokratis.”
Dengan
kata lain, ”Kita tidak bisa memiliki
sistem kepartaian dan sistem pemilu yang lebih baik hanya dengan mengandalkan
para ahli untuk merancang hukum dan aturan, atau meminta para pimpinan parpol
dan anggota parlemen untuk mereformasi diri sendiri. Juga tidak bisa
meliberalisasi sistem politik yang mengarah pada politik berbasis figur,
karena cara seperti itu sangat naif, sama naifnya dengan menganggap satu
figur bisa menyelesaikan persoalan ekonomi dan oligarki seperti layaknya
pasar bebas.”
Olle
melanjutkan, ”Pasar tidak netral. Kita
berhadapan dengan ekonomi politik. Persoalan terpenting adalah kekuasaan.
Untuk keseimbangan, warga biasa dan kelompok-kelompok kepentingan yang utama
harus berorganisasi dengan lebih baik agar mereka bisa mengklaim
keterwakilannya.”
Reformasi bertahap
Meski
demikian, menurut Olle, untuk mengurangi beberapa persoalan dan mendorong
organisasi-organisasi berbasis kepentingan dan gagasan yang lebih solid,
harus ada reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu secara bertahap.
Dengan
memperhatikan semua kepentingan penuh pamrih dari para bos kelompok politik
dan bisnis yang sangat berkuasa, Olle mengusulkan komisi pemerintah yang
independen dengan para pakar yang memiliki reputasi dan integritas tinggi,
terkait keterwakilan demokrasi dan beberapa pemimpin terbaik dari parpol. Di
dalam komisi itu digodok berbagai gagasan, lalu didiskusikan secara luas
dengan publik. Proposal final yang sudah disepakati secara luas tidak boleh
ditolak mentah-mentah oleh presiden ataupun parlemen.
Gagasan
yang tampaknya dipengaruhi sistem politik di Skandinavia bisa saja
diperdebatkan. Namun, beberapa hal penting yang diungkapkan Olle tampaknya
harus dipertimbangkan.
Di
antaranya dibukanya ruang partisipasi bagi warga negara yang memungkinkan
aksi warga untuk membangun partai anti korupsi di tingkat lokal, seperti Aam
Aadmi Party (Partai Rakyat Jelata, AAP), diresmikan 26 November 2012, yang
kemudian memenangi pemilu kota New Delhi.
”Saat
ini memang hal itu hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia saat ini,” ujar
Olle, ”Dan benar-benar sulit untuk membangun Partai Buruh seperti yang dibuat
Lula di Brasil, yang mampu memprakarsai dan mendorong dana partisipasi dan
kebijakan kesejahteraan yang berlaku saat ini dan mengombinasikannya dengan
pertumbuhan ekonomi.
Istilah
”partisipasi pemangku kepentingan” dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrembang) tampaknya sangat mengganggu Olle karena pada kenyataannya tidak
demokratis dan tak mengubah apa pun.
”Partisipasi
harus berdasarkan keterwakilan demokratik dari bawah, bukan dipilih atau
ditanam dari atas,” ujar Olle, ”Untuk
mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan dinamik, seperti halnya
melawan korupsi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
kelompok-kelompok dan kepentingan yang selama ini dipinggirkan. Beri mereka
perlakuan khusus.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar