Anak
dan Sastra Anak
Tati
Durriyah Wardi ; Doktor Pedidikan Literasi dan Sastra Anak
|
KOMPAS,
07 Juni 2014
Ketika membaca buku cerita anak,
pernahkah terlintas siapa target pembacanya? Ambil contoh Little Prince karya Antoine de
Saint-Exupéry. Sekilas novel tipis bersampul
gambar pangeran kecil ini terkesan ringan. Kenyataannya, Saint-Exupéry berisi
percikan perenungan tentang kehidupan dan sifat-sifat manusia dewasa, bak
novel filosofis yang menyamar sebagai buku anak.
Contoh lain adalah Harry Potter
karya JK Rowling. Kita tahu seri ini mengisahkan petualangan sihir Harry
Potter. Namun, banyaknya anak-anak dan dewasa yang terpikat memunculkan
reaksi pelarangan buku Harry Potter di beberapa kawasan karena dianggap
memopulerkan sihir yang bertentangan dengan agama.
Pertanyaan tentang siapa target
pembaca buku anak juga berkait erat dengan soal seberapa besar peran serta
dan keterlibatan anak di dalamnya. Apakah bacaan
anak memang mewakili selera dan kepentingan anak, atau justru orang dewasa
yang tersembunyi (the hidden adults)?
Ada anggapan anak-anak itu polos
(innocent), menyerap apa saja yang
mereka terima tanpa filter, baik yang positif maupun negatif. Oleh karenanya,
orang dewasa merasa perlu menentukan bacaan anak. Orang dewasa juga merasa
punya hak menyensor bacaan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai
mereka.
Peran dan suara anak nyaris
minim dalam proses produksi buku: dari ide pembuatan (apa yang ideal
ditampilkan dalam bacaan) hingga keputusan tentang tepat atau tidaknya sebuah
buku untuk dibaca anak (dalam bentuk rekomendasi dan sensor buku). Semua
proses ini didominasi oleh orang dewasa.
Sering juga terjadi
ketidaksinkronan antara anak dan buku anak. Buku yang sangat populer di
kalangan anak sering tidak dianggap edukatif oleh kritikus sastra anak,
contohnya buku komik. Sebaliknya, buku yang mendapat banyak pujian malah
kadang kurang menarik buat anak-anak. Ini menunjukkan adanya ketidakcocokan
antara apa yang kita (orang dewasa) definisikan sebagai buku untuk anak dan
bacaan yang benar-benar pilihan anak.
Untuk waktu yang lama, buku anak
di dunia akademis Barat belum dianggap sebagai bahan kajian sastra serius.
Baru pada dekade 1960-an, buku anak mulai dilihat sebagai obyek sastra yang
perlu dikritisi. Konten bacaan anak dikaji dengan perspektif teori sejarah,
sosial, budaya, atau jender. Biasanya studi sastra anak dari sudut ini
memfokuskan analisis kritis terhadap representasi anak dalam buku, seperti
kehadiran tokoh anak perempuan.
Namun, kajian sastra anak pada
masa itu tidak dibarengi dengan perhatian terhadap anak sebagai pembaca. Kita
tidak punya informasi yang bisa menjawab pertanyaan soal perilaku membaca
anak, seperti apakah usia membedakan minat membaca anak, dan jika iya bacaan
apa yang tepat?
Peran sentral anak
Baru pada tahun 1970-an, setelah
kelahiran teori membaca transaksional (transactional
reading theory) oleh Louise Rosenblatt, profesor kesusastraan pada
Columbia University, perhatian terhadap pembaca anak mulai mendapat tempat
serius. Bertolak dari pendekatan reader
response criticism, Rosenblatt menekankan peran sentral pengalaman anak
ketika membaca buku anak.
Pengaruh teori ini sangat tampak
dalam ilmu pendidikan. Anak dan buku menjadi obyek yang tidak terpisahkan
ketika mengkaji sastra anak. Paradigma ini menghasilkan data yang mengaitkan
perkembangan anak (bagaimana anak membaca) dengan bacaan yang tepat (apa yang
mereka baca). Dengan penggabungan teori transaksional dan perkembangan anak,
kita sekarang tahu bahwa anak-anak memiliki perilaku dan minat baca berbeda
sesuai usia dan tingkat kematangannya.
Usia 2-4 tahun adalah masa
penguasaan bahasa dan bacaan anak yang tepat adalah yang berplot sederhana
dengan gambar cerita yang jelas dan menarik, serta karakter dan penceritaan
yang akrab. Kecakapan bahasa anak usia 5-7 lebih kompleks dan simbolik, dan
mulai peduli dunia sekitar. Bacaan yang tepat untuk usia ini adalah buku novel
pendek bergenre fantasi, humor, dan
mengeksplor pengalaman baru.
Kemampuan berpikir anak usia
8-11 cenderung lebih fleksibel dan mampu melihat perspektif beda. Bacaan yang
mengeksplorasi identitas, dilema, dan misteri umumnya digemari mereka. Anak
usia 12 ke atas mulai memiliki karakteristik orang dewasa, dalam logika
berpikir dan ketertarikan seksual. Masa ini juga ditandai dengan adanya
ketegangan antara keinginan menjadi diri sendiri dengan tekanan sosial dan
rekan sebaya. Bacaan fantasi masa depan, nilai moral yang ambigu, serta isu
sosial dan seksualitas akan membantu anak di pra-dewasa ini menyalurkan
proses imajinasi dan memaknai pengalaman mereka.
Informasi seperti ini membantu
kita memilih bacaan yang tepat sesuai perkembangan anak dan minat mereka.
Kita bisa menanamkan tradisi buku ke anak sejak bayi dengan cara
”mengerumuni”-nya dengan beragam desain buku dan cerita yang sesuai kebutuhan
mereka.
Upaya seperti ini adalah contoh
konkret kepedulian kita terhadap anak sebagai pembaca dengan cara memberikan
anak kesempatan luas mereguk dan memaknai pengalaman membaca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar