Arsitektur
Bung Karno, Beton, dan Modernitas
Indira
Permanasari ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Beton
dan baja dirayakan di Tanah Air. Bahkan, pada era Presiden Soekarno, keduanya
”dipuja” sebagai simbol kemodernan. Wajah Jakarta pun perlahan mewujud
seperti hutan balok beton abu-abu beratap datar, mirip banyak kota lain di
dunia.
Separuh
abad lalu, Presiden Soekarno yang rajin melawat ke sejumlah negara, terinspirasi
dengan negeri-negeri asing yang dikunjunginya. Ia lalu ingin menciptakan
Indonesia yang baru seumur jagung merdeka itu menjadi bangsa ”modern” dan
”besar”. Maka, ketika Soekarno gencar menggagas nation building lewat
bangunan dan tata kota, beton pun menjadi pilihan.
Dengan
keyakinan seteguh beton dan baja, Soekarno mencetuskan proyek besar mulai
dari Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, gedung Bank Indonesia, Jembatan
Semanggi, Hotel Indonesia, hingga pusat perbelanjaan Sarinah.
Bagi
Soekarno, beton menyimbolkan modernitas dan kesetaraan. Semua itu tecermin
dalam pidato pemancangan kolom pertama Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.
”…Marilah kita membuat Masjid Jami yang bisa tahan
seribu tahun dan marilah kita, agar supaya kita mendirikan Masjid Jami yang
tahan seribu tahun itu, janganlah berpikir dalam istilah kayu dan istilah
genteng, …Marilah kita membuat Masjid Jami yang benar-benar tahan cakaran
masa, seribu tahun, dua ribu tahun, dan untuk itu kita harus membuatnya dari
besi, dari beton, pintunya dari perunggu, dari batu pualam….”
Gambar
rekaman dan kisah Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, serta Monumen Nasional
tersebut terpantul di tujuh panel kaca berderet yang membentuk dinding
sepanjang lebih dari 10 meter, membelah diagonal ruangan tua di kompleks
Arsenale, Venesia, Italia, tempat diselenggarakannya International
Architecture Exhibition la Biennale ke-14 yang berlangsung selama enam bulan,
dari 7 Juni hingga 23 November 2014.
Kesadaran material
Cerita
lebih lengkap tentang isi pameran itu, termasuk cuplikan pidato Soekarno
tadi, tertuang dalam buku bertajuk Ketukangan:
Kesadaran Material, sama dengan tema yang diangkat paviliun Indonesia.
Gambar
yang ditembakkan proyektor ke dinding kaca serasa melayang di ruangan gelap
di bekas galangan kapal tua itu. Sesekali terdengar hantaman palu dan gerak
gergaji kayu, seperti tukang bekerja. Indonesia pertama kali diundang untuk
bergabung dalam ekshibisi itu. Tahun ini, ekshibisi internasional tersebut mengangkat
tema besar ”Fundamental” yang dibagi dalam tiga komponen pameran, yakni Elements of Architecture, Absorbing
Modernity: 1914-2014, dan Monditalia. Lewat Absorbing Modernity, kurator sekaligus arsitek ternama asal
Belanda, Rem Koolhaas, mengajak merenungkan kembali modernitas.
Sebanyak
66 negara yang mengisi paviliun di kawasan ekshibisi utama Arsenale dan
Giardini diminta menunjukkan proses ”terhapusnya” karakteristik nasional demi
adopsi universal bahasa modern dalam rentang waktu 1914-2014. Tahun 1914,
saat meletusnya Perang Dunia I, menjadi penanda permulaan globalisasi modern
dan pemerataan memori budaya. Saat seremoni pembukaan ekshibisi itu, Rem
menegaskan, ekshibisi kali ini bukan tentang karya arsitek kontemporer,
melainkan tentang masa lalu yang ada pada masa kini.
Hasilnya,
dokumentasi 100 tahun perkembangan arsitektur ditampilkan dalam ragam
instalasi unik, maket, buku, dan film. Bahkan, tim Israel menggunakan mesin
dengan ”pena” berujung jarum yang bergerak, menggambar pembangunan kota di
atas pasir lembut.
Paviliun
Indonesia dipertontonkan kepada pengunjung setelah dibuka dengan ”tos”
bergelas-gelas anggur putih dan kudapan ala Italia. Ketua tim kurator
paviliun Indonesia, Avianti Armand, sesudah pesta kecil itu mengatakan, tema ”Ketukangan:
Kesadaran Material” merekam lintasan sejarah dan wacana arsitektur Indonesia,
termasuk modernitas. Kisahnya dirangkum dalam perjalanan enam material, yakni
kayu, batu, batu bata, beton, baja, dan bambu. Bagi Direktur Jenderal Ekonomi
Kreatif Berbasis Media, Desain, dan Iptek Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Harry Waluyo, di paviliun merupakan kesempatan menunjukkan
keterampilan dan kreativitas manusia Indonesia kepada dunia.
Sesaat,
layar kaca menampilkan Jembatan Ampera (dulu Jembatan Soekarno) yang terbuat
dari baja dan membentang di atas Sungai Musi, Palembang. Jembatan itu
dibangun dengan hasil pampasan perang Jepang oleh konsultan Jepang dan
diresmikan pada 1965. ”Jembatan itu
dianggap sebagai monumen pasca revolusi sekaligus modernitas,” ujar
kurator paviliun Indonesia sekaligus arsitek, Setiadi Sopandi, dalam preview
sebelumnya.
Ditarik
lebih jauh ke belakang, modernitas mula-mula tak lepas dari kedatangan besi
tuang seiring pembangunan jalur rel kereta api pertama yang menghubungkan
Semarang dan Tanggung di Grobogan pada 1864. Akhir abad ke-19, sistem kereta
api tumbuh cepat seiring bergeraknya ekonomi kolonial. Belanda ingin
mengangkut hasil bumi dari pedalaman Indonesia ke kota. Selain itu, datang
pula arsitek-arsitek muda Belanda yang membawa semangat Eropa.
Menyerap modernitas
Presiden
juri yang mengevaluasi paviliun-paviliun, Francesco Bandarin, mengatakan,
industrialisasi dan pertumbuhan kota beserta populasinya mempercepat
modernisasi. Kota-kota yang memadat membutuhkan infrastruktur, termasuk rumah
tinggal. Material yang dapat diproduksi massal oleh industri, seperti kaca,
baja, dan beton, jadi pilihan sekaligus simbol revolusi industri.
Beton,
baja, dan kaca pun tampil di paviliun negara Cile dalam bentuk utuhnya. Sebuah
panel beton dengan jendela menguasai ruangan bercahaya lampu merah membara.
Sebagai latar, tampil video sebuah flat yang dibangun dari panel beton itu.
Panel beton donasi Rusia kepada Cile tersebut diproduksi di kota Quilpue
terkait program perumahan sosial pada 1972. Pada kurun waktu 1945-1985, ada
170 juta panel beton diproduksi di seluruh dunia.
Tim
Perancis menceritakan kisah serupa lewat rangkaian instalasi, film, maket,
foto, dan teks. Pasca perang dunia, perumahan di Paris menggunakan panel beton.
Pengerjaan bangunan terstandardisasi dan murah. Sistem itu kemudian
”diekspor” ke Jerman, Kuba, dan Cile.
Arsitek
dan kurator Achmad D Tardiyana berkata, arsitektur modern dengan ungkapannya
yang selalu massal dan mudah dibangun di tempat lain itu pada akhirnya
memunculkan rasa hilangnya identitas dan alienasi, keterasingan.
Di
gedung tua Palazzo Mora, karya instalasi arsitek Budi Pradono seakan
mengamini keresahan itu. Budi diundang mengisi kegiatan paralel ekshibisi di
Venesia tersebut. Di langit-langit, segitiga-segitiga raksasa dari ragam
anyaman dan tulang rotan seakan menggeliat-geliat. Budi mengerahkan 20
perajin di Desa Gintangan, Banyuwangi, dan perajin rotan Cirebon untuk
menciptakan karya itu.
Menurut
Budi, karena cemburu dengan atap modern yang datar, atap-atap rumah
Nusantara, mulai dari gonjong Minangkabau hingga atap limas Jawa,
menari-nari, bermetamorfosis. Wujud baru itu lalu digantung terbalik, seperti
akan menampung modernitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar