KPK
Wajib Membayar Kerugian Rp 100 Juta
Romli
Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2014
MAJELIS
hakim agung Tata Usaha Negara RI memutuskan KPK terbukti menyalahgunakan
wewenang dalam menyita harta kekayaan mantan hakim terpidana Syarifudin.
Ketika
membaca berita itu seketika saya terhenyak karena serasa mustahil KPK yang
terdiri atas manusia terpilih dan berintegritas serta profesional, tiba-tiba
terbukti telah bertindak melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan. Bak
pepatah tiada gading yang tak retak dan pengakuan bahwa manusia selalu tidak
luput dari kekeliruan atau kesalahan, itu merupakan penghibur kekecewaan kita
terhadap kinerja pimpinan KPK terkait putusan majelis hakim agung dalam
perkara TUN ini.
Namun,
bagi KPK sebagai lembaga ”superbody” dan memiliki kewenangan luar
biasa–antara lain dapat bertindak sendiri tanpa izin (pengawasan) pengadilan–
putusan kasasi dalam perkara TUN tidak dapat diremehkan dan dianggap sepele.
Apalagi, menilai putusan tersebut ditengarai keliru atau dikriminalisasi
”miscarriage of justice”; justru sebaliknya harus dijadikan bahan introspeksi
bagi kelima pimpinan KPK dan bahan evaluasi atas kinerja bawahan mereka:
deputi dan direktur.
Jika
perlu dibentuk majelis kode etik dan perilaku oleh kelima pimpinan KPK,
sekalipun setiap langkah dan pengambilan keputusan dalam lingkup tugas dan
wewenang KPK selalu harus memperoleh persetujuan kelima pimpinan KPK.
Tidak
ada keengganan bagi kelima pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK yang mewajibkan
untuk secara terbuka (transparan) mempertanggungjawabkan kepada publik, dan
mengakui telah terjadi kekeliruan dalam menetapkan kebijakan, termasuk
tindakan perampasan harta kekayaan terdakwa mantan hakim Syarifudin. Apalagi
putusan kasasi dalam perkara ini tidak menghalangi eksekusi sekalipun
pimpinan KPK memutuskan untuk mengajukan PK.
Konsekuensi
hukum putusan kasasi dalam perkara TUN ini memaksa KPK melaksanakan eksekusi.
Pertanyaannya, siapa yang harus melaksanakan eksekusi, jaksa pada KPK?
Persoalan kedua, jika putusan kasasi harus dilaksanakan berdasarkan
undang-undang tanpa peduli akan pengajuan upaya hukum PK; uang dari mana yang
harus dikeluarkan KPK karena tidak ada pos khusus anggaran belanja KPK untuk
membayar denda atau ganti rugi.
Apakah
kelima pimpinan KPK harus tanggung renteng berdasarkan asas kolektif kolegial
dengan mengeluarkan dari kocek masing-masing sebesar Rp20 juta? Kekecewaan
saya dalam konteks putusan MA tersebut karena peristiwa ini pertama kalinya
terjadi dalam sejarah perjalanan KPK sejak didirikan pada 2003.
Hal
kedua yang menarik untuk disampaikan kepada publik ialah siapa eksekutor putusan
MA tersebut karena KPK tidak memiliki jaksa/penuntut bidang tata usaha
negara, kecuali kejaksaan agung, akan tetapi apakah dimungkinkan jaksa TUN
melakukan eksekusi untuk kepentingan perorangan (terpidana)? Jaksa KPK hanya
berwenang antara lain melaksanakan eksekusi atas putusan dalam perkara
pidana.
Namun,
hukum adalah hukum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (putusan kasasi tidak menunda eksekusi) serta siapa pun atau
setiap lembaga negara, termasuk KPK, wajib tunduk dan mematuhi putusan
pengadilan.
Ke
depan, kelima pimpinan KPK harus sangat berhati-hati menggeledah dan menyita
harta kekayaan seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi
dan pencucian uang karena integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas
lembaga ini menjadi taruhannya di hadapan 250 juta rakyat Indonesia; dan
itulah yang selalu saya ingatkan kepada KPK melalui berbagai tulisan saya.
Prinsip
perlakuan hukum yang sama di muka hukum (equality
before the law), termasuk bagi setiap lembaga penegak hukum, termasuk
KPK, tetap harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam konteks ini saya dapat
katakan bahwa prinsip ”zero tolerance
against abuse of power” sama pentingnya dengan prinsip ”zero tolerance against corruption”.
Karena
harkat dan martabat kelima pimpinan KPK sama penting kedudukannya dengan
pengakuan atas harkat dan martabat seseorang sekalipun terpidana sebagai
manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
pengetahuan saya, gugatan terhadap KPK juga pernah terjadi dalam putusan
pengadilan yang telah merampas harta kekayaan mereka yang diduga turut serta
melakukan tindak pidana korupsi dan didakwa bersama pelaku (dader) tetapi terhadap mereka yang
turut serta tidak pernah dijadikan tersangka (tanpa sprindik– surat perintah
penyidikan), apalagi dilimpahkan kepada pengadilan sebagai terdakwa.
Peristiwa
ini kemudian dipandang sebagai perampasan tanpa dasar hukum yang berlaku
sekalipun perintah majelis pengadilan atau telah terjadi perampasan atas hak
atas harta kekayaan secara sewenang-wenang atau miscarriage of justice yang dilakukan pengadilan yang merujuk
kepada tindakan penyitaan yang telah dilakukan KPK.
Menurut
hemat saya, pimpinan KPK wajib mengambil langkah-langkah eksaminasi bersama
meneliti kembali semua prosedur dan langkah hukum yang telah dilaksanakan dalam
beberapa perkara korupsi lampau. Lalu pimpinan KPK segera menerbitkan SOP
baru untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali.
Langkah
ini penting karena KPK telah menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam
pemberantasan korupsi, bukan pada outputsemata-mata, melainkan juga harus
dibenarkan dari sisi prosedur. Dunia hukum dan dalam praktik diharamkan
bekerja atas dasar tujuan menghalalkan cara, kecuali bagi dunia ilmu ekonomi.
Karena
disiplin hukum selalu bekerja di atas landasan ”value oriented” bukan ”mechanistic
oriented”. Karena objek perbuatan yang dilarang dalam hukum ditujukan
terhadap manusia sesama subjek hukum dalam kehidupan masyarakat, bukan
manusia sebagai objek (perlakuan) hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar