Kakus
dan Balkon Peradaban
Indira
Permanasari ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Juni 2014
Jendela,
balkon, dinding, pintu, langit-langit, sampai kakus mengiringi peradaban
manusia. Di kota tua Venesia, balkon sampai kakus itu ”bercerita” tentang
tugas mereka dalam melayani dan memanjakan hidup manusia.
Ragam
kakus dari segala masa tertata di ruang pamer di Giardini, Venesia, di
Italia. Salah satunya, sebuah kakus tua, dari abad ke-3 yang berasal dari
sebuah kamar mandi di Caracalla, Roma. Kakus komunal dari batu itu wujudnya
mirip kereta zaman Romawi kuno, dengan lubang di tengah dan pahatan berbentuk
roda di sisi-sisinya. Dapat dibayangkan, para penggunanya di masa lalu
seperti duduk mengendarai kereta ketika menyelesaikan urusan buat hajat.
Ada pula
jamban canggih dan cerdas. Kemampuan kakus intelek dari abad milenium itu
sungguh menggoda. Si kakus secara otomatis membuka tutupnya, mengeluarkan
wewangian, dan dilengkapi plasma kluster untuk menyegarkan udara. Masih ada
yang lebih canggih, sang kakus sanggup mengambil sampel urine untuk mengecek
kadar gula darah.
”Sajian”
toilet itu, satu dari 15 elemen arsitektur yang dipamerkan dalam
International Architecture Exhibition la Biennale di Venesia yang ke-14. Kali
itu, elemen arsitektur digali sejarahnya.
Selain
toilet, masih ada langit-langit, jendela, koridor, lantai, balkon, perapian,
fasad (bagian muka bangunan), atap, pintu, dinding, tangga, ram, eskalator,
dan elevator. Elemen-elemen itu banyak ditemukan pada bangunan di berbagai
penjuru dunia.
Elements
of Architecture merupakan satu dari tiga komponen ekshibisi yang mengambil
tema besar Fundamental itu. Dua komponen lainnya ialah Absorbing Modernity;
1914-2014 yang berkisah tentang perjalanan 66 negara menyerap modernitas dan
Monditalia, pameran yang khusus mengenai perkembangan arsitektur di Italia.
Maka,
ekshibisi arsitektur itu pun tidak hanya berbicara garis, ruang, bentuk, dan
bidang, tetapi juga melihat lebih dalam 15 elemen dasar yang dikaitkan dengan
perannya dalam ”melayani” kebutuhan manusia serta peradaban. Toilet,
misalnya, sebetulnya merupakan zona fundamental yang mencerminkan interaksi
antara manusia dan arsitektur pada level paling intim.
Kurator
internasional pameran itu, arsitek ternama asal Belanda yang pernah
menghabiskan beberapa tahun hidupnya di Indonesia, Rem Koolhaas, seakan ingin
membawa pengunjung mengenal elemen-elemen yang hadir dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam
lembar awal katalog pameran setebal 600 halaman, Rem Koolhaas menyatakan,
”Fundamentals” merupakan biennale yang berfokus kepada sejarah. Termasuk,
bagaimana akhirnya elemen-elemen arsitektur juga mengalami modernitas.
Layaknya cuplikan kalimat di dinding depan paviliun utama di Giardini: ”Seperti sains menunjukkan bahwa manusia
membawa gen Neanderthal dalam dirinya. Setiap elemen arsitektur membawa
potongan DNA dari masa purbanya….”
Elemen dan peradaban
Evolusi
elemen-elemen itu mulai tergambar begitu memasuki gedung berpilar paviliun
utama di Giardini. Pengunjung pameran akan langsung disuguhi sebuah instalasi
raksasa berupa potongan langit-langit, mirip plafon perkantoran modern,
lengkap dengan tiruan sistem saluran udara terbuat dari metal. Langit-langit
buatan itu menggantung, menutupi separuh langit-langit bangunan asli yang
berbentuk kubah. Sebuah kubah besar yang didekorasi dengan lukisan karya
Galileo Chini pada 1909. Perbedaan keduanya terasa mencolok.
Di dalam
ruang pamer, perjalanan elemen-elemen itu semakin dalam disajikan. Toilet dan
elemen lainnya mendapatkan ruangan masing-masing. Selama dua tahun, Rem
Koolhaas bekerja sama dengan sejumlah peneliti dan universitas, seperti Harvard Graduate School of Design,
untuk meriset sejarah elemen-elemen itu. Hasilnya, 15 buku tentang elemen-elemen
dasar arsitektur dan pameran dibangun di seputar narasi buku-buku tersebut.
Elemen-elemen
itu dilihat secara mikroskopik, termasuk proses industrialisasinya. Di salah
satu sisi dinding ruangan, misalnya, terpajang puluhan jendela dengan beragam
bentuk, mulai dari jendela dari kulit hewan yang dilembutkan dengan susu
milik hunian kaum Yakutian tahun 1900-an, jendela kayu dekoratif abad ke-18,
hingga bingkai jendela aluminium dengan kaca pabrikan.
Industrialisasi
memungkinkan pembuatan jendela dari kaca. Bahkan, dalam perkembangannya,
industri memasifkan kaca dan menggunakan ”tirai” kaca sebagai dinding sejak
abad ke-20. Termasuk, di negara tropis seperti Indonesia.
Arsitek,
ketua tim kurator paviliun Indonesia, Avianti Armand, berpandangan kaca sebetulnya
material yang sedikit ”konyol” untuk Indonesia yang tropis. ”Di negara beriklim empat seperti Eropa,
hampir sebagian besar kegiatan dilakukan dalam ruangan. Untuk mendapatkan
pemandangan luar tanpa siksaan rasa dingin, masyarakat Eropa butuh kaca,”
ujarnya.
Sebaliknya
dengan Indonesia yang beriklim tropis. Aktivitas kebanyakan di luar ruangan.
Ketika berada di dalam ruangan dan ingin menikmati pemandangan atau udara
luar, cukup membuka jendela. Perubahan suhu tidaklah drastis. Namun, semakin
banyak bangunan menggunakan material kaca di Indonesia dan untuk mendapatkan
hawa sejuk, dipakailah pendingin ruangan yang memicu masalah energi dan
lingkungan.
Tak
hanya proses industrialisasi yang mewarnai perjalanan elemen-elemen itu.
Dalam perjalanannya, elemen arsitektur pun ikut ”melayani kepentingan
simbolis politik. Itu, misalnya, tecermin dalam kisah elemen balkon. Di ruang
pamer balkon, berjajar miniatur gambar tokoh dan kepala negara seperti
Hitler, Paus, dan Nelson Mandela. Ada yang sedang melambai-lambaikan tangan
atau berpidato di balkon dengan kerumunan orang di bawahnya. Di dalam
keterangan pameran, balkon disebut-sebut sebagai panggung kegiatan politik.
Salah satu aksi puncak di balkon yang banyak dikenang ialah pidato Eva Peron
di Buenos Aires tahun 1951 dan kemunculan pertama Nelson Mandela di Cape Town
City Hall setelah bebas dari penjara tahun 1990.
Balkon
meregulasi ketidakformalan antara interior dan eksterior serta antara domain
privat dan publik. Balkon seakan-akan mengumumkan identitas diri kepada
publik yang kini mulai digantikan dengan laman-laman media sosial dalam
jaringan.
Tak
hanya lewat kisah balkon identitas akan terungkap, tetapi juga dari ragam
kumpulan elemen lainnya. Bahkan, identitas Indonesia pun sempat muncul di
ruang pamer elemen atap. Ragam miniatur rumah adat Minang, Batak, Jawa, dan
Sulawesi koleksi Tropen museum, Belanda, ditampilkan dalam kotak kaca raksasa
di tengah ruangan. Tak jauh, dipasang instalasi raksasa model atap bangunan
tradisional China.
Atap-atap
itu seperti mengamini kata-kata Rem Koolhaas dalam salah satu dialog yang
menjadi bagian ekshibisi besar itu, betapa lewat elemen-elemen dasar itu
tecermin identitas, dan itu fundamental. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar