Antisipasi
Pemanasan Global
Indroyono
Soesilo ; Direktur Perikanan dan Akuakultur,
Food and Agriculture
Organization, Roma
|
KOMPAS,
07 Juni 2014
Pemanasan global benar-benar
terjadi dan saat ini tengah berlangsung. Laporan terakhir Inter-Governmental Panel on Climate Change,
kelompok pakar PBB yang ditugasi mengkaji secara ilmiah perubahan iklim
global, pada pertemuan di Yokohama, Jepang, 31 Maret 2014 lalu, melaporkan
bahwa pada 100 tahun terakhir, suhu muka Bumi naik 0,8 derajat Celsius.
Bahkan, pada 30 tahun terakhir merupakan periode terpanas.
Tampaknya, kenaikan suhu muka
Bumi akan menembus ambang batas 2 derajat Celsius pada tahun 2100 dibandingkan
periode pra-industri, yaitu sebelum tahun 1850-an. Jelas, ini akan berdampak
pada mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan sehingga permukaan laut
naik 20 sentimeter dari awal 1900-an. Pulau-pulau akan tenggelam, curah hujan
meningkat, dan bencana banjir di mana-mana.
Lautan menyerap banyak karbon
dioksida sehingga menjadi lebih asam dan ikan akan susah hidup. Di daratan,
produksi jagung, gandum, dan padi diprakirakan anjlok 25 persen pada tahun
2050 dan dapat mengganggu ketahanan pangan global.
Inter-Governmental
Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan, 95 persen pemanasan global
disebabkan ulah manusia, utamanya pada 50 tahun terakhir, akibat gas rumah
kaca di mana akumulasi gas CO2 meningkat 40 persen lebih tinggi dibandingkan
periode pra-industri. Dunia harus segera meninggalkan energi fosil dan
menerapkan energi bersih, seperti tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin,
tenaga gelombang, tenaga panas bumi, biofuel, dan tenaga nuklir.
Bagaimana Indonesia
Sama seperti kondisi global, temperatur
di Indonesia juga meningkat antara 0,2-0,3 derajat Celsius pada beberapa
dekade terakhir. Hal ini berdampak pada pola kelembapan Nusantara, yaitu
semakin basah di wilayah Sumatera dan Kalimantan, serta semakin kering di
wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Musim kemarau panjang dan musim
hujan berkepanjangan kerap muncul.
Bencana banjir pun tak terelakkan. Gejala
variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina, semakin sering hadir dan
berdampak pada kemarau panjang, gagal panen, kebakaran hutan, dan lahan,
serta gejala kebalikannya, yaitu hujan berkepanjangan dan banjir. Produksi
pangan dan ketahanan pangan akan terganggu.
Muka laut di wilayah Indonesia
naik sekitar 5 milimeter per tahun dan bisa menenggelamkan pulau-pulau kita.
Ini tak boleh terjadi. Apalagi, ada 12 pulau terluar milik Indonesia tempat
titik-titik pangkal batas negara berada. Tahun 2003, Presiden Megawati
Soekarnoputri harus menyelamatkan dan mereklamasi Pulau Nipah di Kepulauan
Riau yang berbatasan dengan Singapura, dan tahun 2005 Presiden Yudhoyono
harus ke Pulau Sebatik di Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia,
guna mempertegas bahwa pulau-pulau tadi adalah wilayah kedaulatan NKRI.
Pemanasan global juga mengancam
keragaman hayati kita karena 50 persen keanekaragaman hayati di darat
berisiko rusak, 80 persen terumbu karang terancam hancur, dan bisa berakibat
punahnya habitat ikan. Belum lagi dampaknya bagi kesehatan manusia, seperti
meningkatnya malaria dan demam berdarah.
Indonesia menempuh berbagai cara
untuk mengantisipasi hal itu. Ada berbagai kegiatan seperti pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan, penerapan agro-ekosistem terpadu baik di
darat maupun di lautan, juga program pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu.
Tahun 2009, Indonesia, Filipina,
Brunei, Timor Leste, Malaysia, dan Kepulauan Solomon meluncurkan program Coral Triangle Initiative (CTI) guna
menyelamatkan 75.000 kilometer persegi terumbu karang di wilayah CTI dari
dampak perubahan iklim global.
Hasil lima tahun CTI dibahas
pada kegiatan World Coral Reef
Conference 2014 (WCRC ’14) di Manado, pertengahan Mei 2014. Melalui
Program Global Environmental Facility
(GEF), Indonesia dan Food and
Agriculture Organization (FAO) melaksanakan kegiatan penyelamatan
keragaman hayati perikanan air tawar dan ekosistem laut Indonesia.
Mitigasi
Agenda mitigasi Indonesia
mendorong penggunaan ragam energi bersih seperti konversi minyak tanah ke
gas, aplikasi sel surya dan panel surya, energi hidro, energi angin, energi
gelombang, energi panas bumi, dan penambahan komponen biofuel pada bensin.
Dalam rangka mitigasi perubahan
iklim ini, pada KTT G-20 di Pittsburgh, AS (2007), Presiden Yudhoyono
mencanangkan rencana Indonesia menurunkan emisi karbon sukarela 26 persen
tahun 2020 dan menjadi 41 persen. Hutan dan lahan gambut Indonesia berpotensi
menurunkan emisi karbon 52 persen, bahkan ada potensi Karbon biru, yaitu dari
mangrove dan padang lamun yang belum diperhitungkan.
Dunia menyambut gembira komitmen
Indonesia dan berbondong-bondong menyodorkan bantuan, termasuk hibah 1 miliar
dollar AS dari Pemerintah Norwegia. Pada 16 April 2014, sebanyak 30 negara
menawarkan 4,3 miliar dollar AS hibah untuk Program GEF 2014-2018 guna
membantu 140 negara berkembang, termasuk Indonesia. Dana itu digunakan untuk
menangani perubahan iklim, keragaman hayati, tanah, air, laut, dan ketahanan
pangan. Semua telah dibahas pada Sidang Umum GEF di Cancun, Meksiko, akhir
Mei 2014.
Saatnya
Indonesia bersama badan-badan multilateral, seperti FAO, semakin terlibat di
dalam kegiatan konservasi dan preservasi Planet Bumi beserta penghuninya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar