Usaha
Memahami “Goa Hati”
Raka Santeri ; Wartawan; Tinggal di Bali
|
KOMPAS,
20 Maret 2015
Fokus
sentral dari tradisi Nyepi adalah kedalaman kontemplatif. Pada kedalaman
kontemplatif tersebut, manusia berusaha memahami ”goa hatinya”, yang dipercayai
sebagai tempat bersemayamnya Brahman (Tuhan) di dalam diri sendiri.
Oleh
karena itu, sejak awal Rsi Patanjali telah menegaskan, ”Yoga adalah
pengekangan benih-benih pikiran (citta) dari pengambilan berbagai wujud
(perubahan, wrtti).” Santo Paulus memberikan istilah sebagai ”berjalan dalam
roh ketika berbaliknya pikiran dan hati menuju kehidupan baru”.
Adalah
Raja Kaniska I pada suatu saat di tahun 77 Masehi tercenung memahami goa
hatinya. Penguasa Dinasti Kusana yang termasyhur itu selalu berdiri tegak di
atas kemenangan setelah dapat mengalahkan musuh-musuhnya.
Namun,
tiba-tiba pada suatu malam yang gelap, ketika bulan mati, dia tercenung dari
kemegahan egonya. Dengan rendah hati, dia bertanya kepada diri sendiri,
”Apakah arti kemasyhuran dalam hidup jika selalu diwarnai dendam dan diancam
pemberontakan? Adakah yang lebih indah dalam hidup ini selain kedamaian?”
Pengalaman
memahami goa hati itulah yang kemudian melahirkan hari raya Nyepi sebagai
saat untuk melihat ke dalam diri sendiri sambil menundukkan ego yang telah
dikuasai berbagai hal bersifat material-profan. Setidaknya pada saat Nyepi
seperti ini, seseorang berusaha mengimbangi keserakahan egonya dengan visi
kebersamaan yang lebih bermakna bagi keselamatan umat manusia.
Ke dimensi spiritual
Banyak
orang yang percaya bahwa abad XXI akan ditandai dengan tren munculnya
berbagai gerakan spiritual. Manusia seolah ingin kembali menengok ke dalam
dimensi spiritualnya yang selama ini ditinggalkan. Karena itulah
spiritualisme dan budaya akan terus menguat.
Misalnya,
Capra mengutip sosiolog Pitirim Sorokin yang sudah sejak tahun 1940-an
memperkenalkan ”tiga sistem nilai dasar”. Ketiga sistem nilai dasar itu
melandasi semua manifestasi suatu kebudayaan.
Sistem
nilai indrawi yang pertama berdiri di atas realitas ultim. Fenomena spiritual
dianggapnya hanya merupakan suatu manifestasi dari materi. Semua nilai etika
bersifat relatif, tetapi persepsi indrawi merupakan satu-satunya sumber
kebenaran.
Kedua,
sistem nilai ideasional (ideational).
Dalam sistem ini realitas yang sejati justru terletak di luar dunia materi,
yaitu pada alam spiritual. Bahkan, pengetahuan dapat diperoleh melalui
pengalaman batin.
Sementara
sistem nilai ketiga merupakan sintesis kedua sistem nilai terdahulu. Namun,
sangat diyakini, transformasi yang kita alami saat ini akan berlangsung jauh
lebih dramatis dan lebih cepat daripada yang pernah dialami manusia
sebelumnya.
Keyakinan
para ahli itu mulai dan terus mewujud sekarang. Gerakan yang dianggap paling
menonjol pada akhir abad XX dan awal abad XXI ini adalah gerakan new age
untuk melawan modernisme yang didominasi peradaban Barat. Namun, new age
hanya melangkah sejauh berpaling dari agama Barat untuk kemudian menyelami
agama Timur, seperti Hindu, Buddha, Zen, Taoisme, dan agama-agama asli di
Amerika.
Perlawanan
yang lebih keras sekaligus lebih kejam terhadap modernisme muncul dalam
bentuk radikalisme, antara lain Al Qaeda, Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS), dan Boko Haram. Gerakan ini bersifat menyempit terhadap ajaran agama
yang dianut dan menganggap agama lain, bahkan pemeluk agama sendiri yang tak
sepaham, sebagai kafir.
Kearifan spiritual
Para
bijak menyebut, transformasi memang menimbulkan sakit dan penderitaan. Karena
itu, tetua di Bali selalu menandai transformasi, bahkan setiap perubahan
dalam siklus hidup manusia dan alam, dengan melangsungkan upacara memohon
keselamatan. Namun, transformasi memang tidak bisa dihindari, sebaliknya
harus disambut dengan kearifan spiritual: membiarkan yang lama semakin surut
dan menata yang baru menggantikan untuk tumbuh.
Karena
itu, sekarang kita bisa memahami mengapa seorang Ahmed al-Tayib, Imam Besar
Al-Azhar, menyerukan reformasi ajaran agama di negara Muslim untuk mencegah
penyebaran ekstremisme agama.
Dan,
bagaikan gayung bersambut, Nahdlatul Ulama juga akan mengukuhkan Islam
Nusantara pada muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, awal Agustus. Islam
Nusantara yang dibangun akan saling memperkuat Islam dan nasionalisme serta
diharapkan menjadi model keislaman dunia.
Seolah
melengkapi ide Nahdlatul Ulama, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
mengatakan, ”Kita harus bisa memberikan
alternatif kepada dunia bahwa untuk melihat dan mempelajari Islam itu tidak
hanya bertumpu ke Timur Tengah, tetapi juga ke Indonesia.”
Secara
kebetulan, itulah yang telah dilakukan umat Hindu. Umat Hindu di seluruh
dunia tidak akan pernah sama dalam menerapkan ajarannya karena selalu
disesuaikan dengan budaya setiap daerah. Ketika membentuk World Hindu Parisad
dua tahun lalu di Bali, tokoh-tokoh Hindu dunia mengagumi keanekaan Hindu di
Indonesia sehingga sepakat menjadikan Bali sebagai pusat kerja sama umat
Hindu sedunia.
Ya,
spiritualitas, goa hati, tampaknya sedang bergerak untuk menyatukan seluruh
umat beragama. Bukan hanya intern umat beragama, melainkan juga antarumat
beragama. Dalam kerukunan seperti itu, setiap pemeluk agama harus terus
berusaha menghidupkan agama atau keyakinan yang mereka anut masing-masing.
”Setiap orang harus
mengetahui bahwa agama mempunyai tubuh dan jiwa. Apa pun tubuh agama yang
Anda sentuh, Anda harus menyentuh jiwanya. Namun, jika Anda menyentuh
jiwanya, Anda telah menyentuh tubuh agama,” ujar sufi Hazrat
Inayat Khan. Dia menyebut agama yang benar ada di dalam hati yang terbuka,
dalam pandangan yang luas, dan dalam agama yang hidup. ”Carilah Tuhan di dalam hati umat manusia,” ujarnya.
Karena
itu, marilah pada hari suci Nyepi ini kita
belajar memahami suara di dalam goa hati kita masing-masing. Selamat merayakan Nyepi Tahun Baru Saka
1937. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar