Selasa, 31 Maret 2015

Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik

Mewaspadai Simtom Parlemen Despotik

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Romantika demokrasi sebagai manajemen politik yang memuliakan kekuasaan karena mempersyaratkan hadirnya nilai-nilai yang menghargai martabat manusia, ternyata dalam praktiknya tidak mudah diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, penyebab paling dominan adalah perwujudan daulat rakyat dilakukan dengan sistem perwakilan. Persoalan menjadi semakin eksplisit karena tidak ada jaminan para wakil rakyat benar- benar mewakili kepentingan rakyat. Fenomena tersebut menjadikan demokrasi seba- gai sistem yang cacat sejak dilahirkan. Selalu terjadi kemungkinan lembaga perwakilan rakyat justru memasung kedaulatan rakyat.

Fenomena ini dalam terminologi Condorcet disebut indirect despotism. Secara eksplisit ia mengatakan, agen kekuasaan despotik yang baru adalah parlemen. Hal itu terjadi ketika aspirasi publik tidak lagi benar-benar terwakili dalam parlemen atau telah terjadi ketimpangan (kepentingan) antara rakyat dan para wakilnya. Kutipannya The agent this new kind of political despotism was the parliament, ... the despotism of "the legislative body takes place when the people are no longer truly represented or when it becomes too unequal" to them (Condorcet, Representative Democracy: Principles and Genealogy, 2006).

Dalam konteks kekinian, kehadiran gejala "parlemen despotik" tersebut dirasakan sejak Indonesia memasuki pasca reformasi, bahkan semakin menguat setelah Pemilu 2014. Manuver-manuver politik sebagian anggota DPR dalam menyusun Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Rancangan Undang-Undang Pilkada adalah beberapa contoh simtom menguatnya fenomena tersebut.

Kegaduhan politik akhir-akhir ini, terutama terbelahnya Partai Golkar menjadi kubu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, tampaknya menyeret lebih dalam parlemen dalam kubangan kekuasaan yang despotik. Konflik internal Partai Golkar yang sudah dilerai berdasarkan UU No 2/2011 tentang Partai Politik, yang menegaskan penyelesaian perselisihan internal parpol dilakukan mahkamah parpol yang dibentuk oleh parpol. UU yang sama juga menegaskan putusan mahkamah parpol bersifat final dan mengikat secara internal. Oleh karena itu, keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya "mengadministrasi" keputusan politik internal Partai Golkar.

Karena itu, banyak kalangan merasa heran, mengapa sebagian anggota parlemen ingin menggunakan hak angket yang merupakan senjata pamungkas menuju jalur tengkorak (kematian politik) bagi pejabat publik yang dijadikan sasaran penggunaan hak tersebut. Terlebih, hak angket seharusnya hanya dipergunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Oleh sebab itu, keterlibatan sejumlah partai dalam hak angket justru memberikan kesan kuat bukan hanya mengintervensi Partai Golkar, melainkan merupakan wujud dari penggunaan kekuasaan politik yang eksesif.

Praktik penggunaan kekuasaan yang arbiter sangat memprihatinkan. Sebab, hal itu mencerminkan beberapa hal. Pertama, absennya spirit atau roh yang memuliakan kekuasaan. Kalau petinggi Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan konstituen, musibah ini dapat dijadikan berkah dengan melakukan konsolidasi. Kesempatan emas itu dapat dilakukan dalam Musyawarah Nasional 2016 yang merupakan bagian dari keputusan mahkamah partai. Momentum tersebut perlu dilakukan mengingat agenda ke depan antara lain pilkada sudah di depan mata. Mengabaikan peluang tersebut, Partai Golkar akan banyak kehilangan pendukung.

Kedua, terjadi proses pendangkalan pemahaman makna kekuasaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum oleh para elite politik karena nurani mereka tergerus oleh hasrat kuasa yang berlebihan. Tragisnya, nafsu kuasa sudah dimulai dari niat dalam kompetisi politik. Akibatnya, ranah kekuasaan politik menjadi sekadar arena adu kuat dan saling mengalahkan, bukan membangun kebersamaan. Hak angket yang seharusnya untuk isu-isu strategis, justru dipergunakan untuk urusan internal Partai Golkar. Isu tersebut secara kategoris sama sekali tidak termasuk dalam wilayah itu.

Ketiga, diskursus publik telah kehilangan dimensi reflektifnya karena wacana publik hampir dimonopoli oleh auman para elite politik yang hanya bertujuan memperoleh kemenangan atau mengalahkan lawan. Sangat sedikit diskursus politik yang menghadirkan pendalaman mengenai isu-isu yang berkenaan dengan kepentingan rakyat. Debat politik menjadi kering dan sering kali oleh beberapa media lebih mengutamakan serunya debat daripada mutu diskusi.

Kembali kepada Condorcet, yang menegaskan cara mengatasi parlemen despotik (indirect despotism) lebih rumit daripada direct despotism, seperti negara tiran otoriter dan sebagainya. Kasus terakhir lebih mudah karena struktur kekuasaan dapat ditumbangkan oleh kekuatan rakyat yang lebih besar. Dalam kasus pertama lebih rumit karena menyangkut kompleksitas kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam demokrasi perwakilan.

Mencermati fenomena itu masyarakat harus bergandengan tangan dengan kekuatan di parlemen yang masih mempunyai niat politik yang memuliakan kekuasaan, demi kepentingan rakyat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar