Teladan Diplomasi ala Lee
Hendra Kurniawan
; Dosen
Pendidikan Sejarah; Juru Bicara Lingkar Studi Dosen Universitas Sanata Dharma
(USD) Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 26 Maret 2015
SETELAH sekian lama berjuang melawan penyakit
pneumonia akut yang dideritanya, pendiri sekaligus perdana menteri (PM)
pertama Singapura, Lee Kuan Yew, berpulang. Ia wafat pada hari Senin (23/3)
dini hari dalam usia 91 tahun.
Perdana Menteri Hsien Loong telah mengumumkan
masa berkabung nasional selama 7 hari untuk menghormati mendiang ayahandanya
itu yaang rencananya dimakamkan pada Minggu (29/3). Wafatnya Lee menjadi
kehilangan besar tidak hanya bagi Singapura tapi juga dunia. Bapak Singapura
itu adalah tokoh besar yang banyak memberi sumbangsih bagi perkembangan
negara- negara di Asia, khususnya Asia Tenggara, melalui ASEAN.
Lee sosok pembawa damai yang turut berjuang
dalam upaya penggabungan Singapura dengan Malaysia tahun 1963. Namun
perbedaan kondisi sosial memaksa Singapura memisahkan diri dari Negara
Federasi Malaysia.
Pada 9 Agustus 1965, Singapura berdiri sendiri
sebagai negara berdaulat di bawah kepemimpinan Lee. Lee menyadari bahwa
Singapura tak memiliki wilayah dan potensi alam memadai. Tapi selama 31 tahun
menjabat PM, ia berhasil membawa kemajuan bagi negaranya, yang kemudian
berhasil menempatkan diri sebagai negara yang berpengaruh dalam bidang
ekonomi.
Ia menyulap Singapura dari kota pelabuhan
kumuh dan berlumpur menjadi kota raya yang molek dan kaya. Didukung rakyat
dan pemerintahannya yang dinamis perekonomian negara itu maju pesat.
Singapura dihuni warga multiras, seperti keturunan India, Sri Lanka,
Tionghoa, dan Melayu.
Namun lewat politik budaya multikultural yang
dianut, mereka berhasil menunjukkan identitas diri sebagai kesatuan bangsa.
Sebagai negara tetangga, hubungan kita dengan Singapura tidak selalu
harmonis. Pada masa awal berdirinya, Singapura menghadapi konflik dengan
Indonesia berkait kasus Usman-Harun.
Dua personel Korps Komando Operasi/ KKO (kini
Korps Marinir) TNI AL itu dijatuhi hukuman mati oleh Singapura setelah
tertangkap saat menjalankan misi komando Ganyang Malaysia. Presiden Soeharto
mengajukan permohonan agar Usman-Harun tidak dihukum mati namun pemerintah
Singapura di bawah Lee tetap bersikukuh pada keputusannya.
Dua prajurit itu tetap harus menjalani hukuman
gantung di Penjara Changi pada 17 Oktober 1968. Jasad keduanya dikembalikan
ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Dua
tahun kemudian, Lee berkunjung ke Indonesia, bahkan ia bersedia memenuhi
permintaan Soeharto untuk meletakkan sendiri karangan bunga di makam Usman
dan Harun.
Artinya, Singapura bersedia mengakui
penghormatan yang diberikan oleh Indonesia terhadap dua pahlawan bangsa itu.
Sejak itu hubungan Indonesia dengan Singapura membaik. Bahkan Lee memiliki
hubungan personal dengan Soeharto hingga masa tua mereka. Kebetulan keduanya
juga memiliki kesamaan gaya kepemimpinan.
Menjadi Teladan
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Lee dalam
upaya diplomatiknya bisa menaruh hormat dan menjaga perasaan negara tetangga.
Meskipun pernah berkonflik yang merugikan negaranya, Lee tetap optimistis
menjalin hubungan bilateral dan persaudaraan yang baik dengan Indonesia.
Pemerintah kita pun tetap menghargai kedaulatan Singapura atas hukuman mati
yang dijatuhkan. Sebaliknya Singapura melalui Lee juga menghargai negara kita
dengan bersedia berziarah ke makam Usman dan Harun. Sikap Lee kiranya bisa
menjadi teladan para pemimpin negara saat ini.
Taruhlah persoalan diplomasi antara Indonesia
dan Australia yang berulang kali mencapai titik didih. Dari masalah
penyadapan pembicaraan telepon oleh Australia hingga persoalan eksekusi mati
yang dijatuhkan oleh Indonesia terhadap warga Australia yang jadi pengedar
narkotika. Kemunculan kasus penyadapan jelas menunjukkan hilangnya etika
dalam hubungan bertetangga.
Penolakan hukuman mati juga semestinya bisa
dilakukan tanpa harus melukai kedaulatan hukum negara lain. Dengan demikian
persoalan diplomasi kedua negara tidak perlu sampai ke ranah publik.
Kerendahan hati Lee memberikan warisan berharga bagi keterciptaan hubungan
antarnegara yang harmonis dan saling menghormati.
Hubungan bilateral antarnegara merupakan hal
penting dan turut menentukan kemajuan suatu negara. Dalam dunia yang makin
global tidak akan ada negara yang bisa hidup sendiri. Masyarakat berharap
teladan diplomasi ala Lee terus menginspirasi bagi keterciptaan dunia yang
lebih damai. Selamat jalan Sang
Inspirator! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar