Di Ambang Keruntuhan Golkar
Syamsuddin Haris
; Profesor
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
28 Maret 2015
Meskipun Menteri Hukum dan HAM sudah
menerbitkan keputusan pengesahan kepengurusan baru DPP Partai Golkar, konflik
internal partai beringin ini tampaknya belum berakhir. Kubu Aburizal Bakrie
melakukan perlawanan terhadap Agung Laksono. Mengapa konflik internal Golkar
kali ini lebih keras? Bagaimana masa depan partai beringin?
Di tengah gerak cepat kubu Agung Laksono untuk
melakukan konsolidasi internal, melobi pimpinan parpol pendukung Presiden
Joko Widodo dan merestrukturisasi personalia DPP Golkar, Aburizal dan para
pendukungnya ternyata tak tinggal diam. Secara hukum, kubu Aburizal menggugat
surat keputusan Menkumham melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Sementara secara politik, Ketua Umum Golkar versi Munas Bali itu
mengonsolidasikan parpol anggota Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR. Diwartakan
pula, atas dukungan politik KMP, kubu Aburizal berniat mengajukan hak angket
terkait pengesahan kepengurusan Golkar pimpinan Agung oleh Menkumham.
Sudah terlampau sering dikemukakan, konflik
internal Golkar bukanlah fenomena baru. Kehadiran parpol replika partai
beringin, seperti Partai Demokrat, PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai
Gerindra, dan Partai Nasdem yang dapat dikatakan lahir dari friksi internal
Golkar, merefleksikan hal itu. Namun, berbeda dengan konflik-konflik
sebelumnya yang cenderung elitis dan dalam skala terbatas, konflik Golkar
kali ini jauh lebih masif dan cenderung ”kasar”.
Betapa tidak, perseteruan tidak hanya
melibatkan unsur pimpinan pusat partai beringin, tetapi juga massa pendukung
masing-masing. Perkelahian fisik antarmassa pendukung di kantor DPP Golkar
Slipi, Jakarta, akhir November 2014, menggambarkan jelas ”kualitas” konflik
internal Golkar kali ini. Adu argumen dua orang yang mewakili kubu
masing-masing secara live di televisi yang semestinya berakhir dengan saling
pengertian justru berujung adu jotos secara terbuka di depan publik.
”Primus interpares”
Konflik internal parpol sebenarnya bukan
semata-mata fenomena Golkar. Partai Persatuan Pembangunan hingga kini masih
memiliki kepengurusan ganda, masing-masing dipimpin M Romahurmuziy (versi
Muktamar Surabaya) dan Djan Faridz (Muktamar Jakarta). Beruntung Partai
Amanat Nasional yang baru saja selesai menyelenggarakan muktamar di Bali
mampu menghindarkan diri dari perpecahan internal. Zulkifli Hasan terpilih
secara demokratis sebagai Ketua Umum baru PAN menggantikan Hatta Rajasa.
Salah satu faktor penting di balik konflik
internal parpol, termasuk Golkar, era reformasi adalah tidak adanya lagi
figur atau tokoh karismatik yang mampu menjadi simbol sekaligus pemersatu
partai. Dalam konteks Golkar, misalnya, tidak ada lagi tokoh yang mampu
menjadi primus interpares, seperti Soeharto, yang tidak hanya mempersatukan
berbagai unsur Golkar yang sangat beragam, tetapi juga menjadi sumber
legitimasi bagi Golkar itu sendiri. Apalagi, pada saat memasuki era
reformasi, tidak ada lagi pilar-pilar penyangga Golkar, seperti birokrasi
sipil dan militer pada masa Orde Baru. Hampir semua tokoh senior Golkar yang
masih aktif saat ini dianggap setara satu sama lain, tidak ada yang
benar-benar berada ”di atas” atau lebih senior dan berjasa dari yang lain.
Realitas politik seperti inilah yang kini juga
dikhawatirkan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Belum terbayangkan oleh
segenap kader, politisi, dan pengurus PDI Perjuangan, apa yang bakal terjadi
seandainya Megawati tidak bersedia menjadi ketua umum kembali. Hal yang sama
berlaku bagi Demokrat. Tidak terbayangkan oleh jajaran partai segitiga biru
ini seandainya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari
pencalonan ketua umum partai pada kongres mendatang. Apa boleh buat, gambaran
semacam itulah yang menjadi realitas partai politik di negeri kita hari ini.
Kekaryaan sebagai
”roh”
Selain soal figur primus interpares, dalam
konteks Golkar, konflik internal bertambah ruwet karena beberapa faktor lain
berikut ini. Pertama, semakin dominannya orientasi perburuan jabatan dan atau
kekuasaan di dalam partai ketimbang memperjuangkan kebijakan yang berpihak
pada kepentingan bangsa. Di sisi lain, diskusi tentang ideologi dan visi
Golkar dalam perilaku para politisi partai beringin semakin tidak mendapat
tempat. Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (2009-2014), misalnya,
memiliki visi tentang Indonesia Sejahtera 2045. Namun, sayangnya,visi untuk
konteks 100 tahun Indonesia merdeka itu tidak banyak diketahui publik karena
hampir tidak pernah diperdebatkan secara publik pula.
Kedua, menguatnya gejala pemaksaan kehendak
secara oligarkis. Fenomena ini amat memprihatinkan karena menyerupai
kecenderungan premanisme yang pernah tumbuh subur pada beberapa organisasi
pemuda era Orde Baru. Pemaksaan kehendak secara oligarkis tidak hanya dapat
disaksikan dari cara setiap kubu mengelola dan menyelenggarakan Musyawarah
Nasional di Bali dan Ancol, Jakarta, tetapi juga tampak dalam ”premanisasi”
bahasa yang digunakan para pihak yang bertikai. Benar-benar memprihatinkan
jika perbedaan pendapat dalam pengelolaan partai berujung pada serangan yang
bersifat personal.
Ketiga, berlangsungnya personalisasi aspirasi
dan kehendak partai. Sebagai wadah agregasi kepentingan rakyat, parpol
seperti Golkar seharusnya menjadikan aspirasi dan kehendak publik sebagai
arah perjuangan. Namun, dalam realitasnya, partai akhirnya hanya mewadahi
aspirasi para petinggi partai dan bahkan acap kali tak lebih dari kehendak
ketua umum. Kecenderungan personalisasi aspirasi dan kehendak partai semacam
inilah yang akhirnya memicu munculnya konflik internal seperti berlangsung
saat ini.
Keempat, para elite Golkar terpasung oleh
kepentingan jangka pendek mereka sendiri. Doktrin kekaryaan, yakni segenap
kerja yang berorientasi pada program pembangunan sebagai ”roh” yang pernah
membesarkan Golkar, sudah tidak mendapat tempat lagi dalam perilaku dan
perjuangan Golkar. Kini, interaksi, relasi, dan persaingan internal partai
beringin lebih berpusat pada perebutan sumber-sumber politik dan ekonomi yang
masih tersisa, baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Ironisnya, berbagai faktor yang dikemukakan di
atas lebih menjanjikan keruntuhan bagi Golkar ketimbang kejayaan. Oleh karena
itu, apabila semangat saling ”menghabisi” lebih dominan ketimbang kesediaan
yang tulus untuk saling mengalah dalam upaya penyelesaian konflik internal
Golkar, Golkar barangkali tidak memiliki masa depan. Seperti dikhawatirkan
banyak kalangan, tidak mustahil ujung dari konflik Golkar adalah lahirnya
replika baru partai beringin seperti terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Sebaliknya, jika ketulusan untuk saling
mengalah mewarnai penyelesaian konflik, Golkar masih memiliki peluang dan
harapan untuk menjadi besar kembali. Persoalannya kini terpulang kepada para
elite politik yang bertikai, apakah benar-benar hendak membesarkan partai
atau menguburnya bersama-sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar