Rambu-rambu Interpretasi UU
Adi Andojo Soetjipto ;
Mantan
Ketua Muda Mahkamah Agung
|
KOMPAS,
28 Maret 2015
Judul tulisan di atas menunjukkan bahwa apabila seorang hakim akan melakukan interpretasi
terhadap undang-undang, dia tidak boleh bersandar pada pendapat pribadinya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum mengenai jenis
dan rambu-rambu ini ditulis secara panjang lebar dan dijadikan pegangan buku
bagi pakar-pakar hukum secara luas. Adalah hal yang berbeda antara menemukan
hukum dan menginterpretasikan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, hakim sebagai penegak
hukum dan penegak keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ini berarti bahwa hakim harus
bisa mengenali, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Menemukan hukum sama dengan menciptakan hukum.
Di sini jelas bahwa hakim mempunyai tugas ”menemukan hukum” (rechtsvinding). Dari istilah
”menemukan”, ”menggali”, dan ”menciptakan” dalam Pasal 27 UU tersebut kiranya
jelas apabila terdapat kekosongan UU. Kalau tidak ada kekosongan, hakim tidak
boleh menciptakan hukum semau-maunya.
Beda dengan menginterpretasikan UU. Hukumnya
sudah ada dan diatur oleh UU itu. Dalam menginterpretasikan UU ada
rambu-rambu yang mengikat hakim agar tidak melampauibatas yang diizinkan
(batas-batas ultima atau ultiemegrenzen).
Ia mesti dari pengertian hukum itu sendiri dan selalu menjaga agar actieradius-nya tidak terlalu jauh
sehingga kepastian hukumnya dikorbankan.
Jadi, hakim tidak bisa seenaknya melewati
batas kemungkinannya untuk sebuah UU itu diinterpretasi. Hakim di negeri ini
sebenarnya hidup dalam negara, di mana peraturan perundangannya sudah diatur
dengan sempurna. Jadi, mereka tinggal menerapkan kepastian hukumnya karena
itu ia sudah terjamin.
Terikat ”aturan main”
Akan tetapi, hakim di Indonesia tidak boleh
puas menjadi hakim apabila hanya menjadi ”corong undang-undang”. ”La bouche de la lois,” kata
Monstesqieue. Jadi, hakim tidak boleh sekadar melaksanakan ”schablonen
arbeit”, hakim itu harus otonom.
Menginterpretasikan UU, seperti kita tahu,
harus berpegang pada ”interpretatie
instrumentarium”, seperti argumentum
a contratio dan argumentum fortiori. Hakim dalam mengadakan interpretasi
harus selalu menjunjung tinggi dan tetap terikat pada ”aturan main”
berdasarkan asas yang telah ditentukan dalam ilmu pengetahuan hukum. Sebutlah
seperti (1) asas proporsionalitas (dalam melakukan interpretasi harus
mempertimbangkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan) serta (2) asas
subsidiaritas (dalam melakukan interpretasi harus dihasilkan pemecahan yang
tidak menimbulkan kerugian besar).
Hakim dalam melakukan interpretasi selalu
harus mempertimbangkan keseimbangan antara (1) tujuan yang hendak dicapai,
(2) cara yang digunakan, dan (3) hasilnya tidak akan menimbulkan gejolak yang
bisa meresahkan masyarakat ataupun menimbulkan reaksi yang hebat dari
masyarakat.
Setelah membaca tulisan di atas, kiranya para
pembaca dapat menilai mengenai putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara
gugatan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar