Melindungi
Profesi Guru
Doni Koesoema A ; Pemerhati
Pendidikan
|
KOMPAS,
26 Maret 2015
Persoalan kekerasan dalam pendidikan saat ini
memasuki tahapan baru yang sangat krusial, yaitu pemidanaan pendidik yang
menegakkan aturan sekolah.
Kasus pemolisian kepala SMA Negeri 3 Jakarta
oleh orangtua siswa pelaku penganiayaan pelajar mesti dibaca sebagai tanda
bahaya bagi perlindungan profesi guru dan keberlanjutan pendidikan yang ramah
anak pada masa depan!
Kriminalisasi pendidik tidak pernah boleh
terjadi di negeri yang sangat serius mau mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru
sebagai pendidik anak-anak bangsa mesti dilindungi profesinya dan didukung
agar dapat menciptakan sekolah yang ramah anak dan anti kekerasan.
Tiga refleksi
Dari kasus SMA Negeri 3 Jakarta, kita bisa
merefleksikan tiga hal penting agar kejadian serupa tak terjadi lagi.
Pertama, perlunya komunikasi yang baik antara
lembaga pendidikan dan orangtua. Pemidanaan seorang kepala sekolah yang telah
melakukan proses gelar perkara bersama dewan guru dan pengawas sekolah
menunjukkan adanya ketidakpahaman publik, terutama orangtua siswa, terkait
tugas dan profesi seorang pendidik. Lembaga pendidikan kita mengalami
kegagalan komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah dalam rangka pendidikan
anak-anak yang dipercayakan ke lembaga pendidikan.
Kedua, ketidaksiapan birokrasi dan instansi
lebih tinggi dalam mendukung dan membela kemartabatan profesi guru.
Intervensi birokrasi—dalam hal ini kepala dinas—yang ikut campur urusan
skorsing yang jadi kewenangan unit sekolah, bahkan cenderung mempersalahkan
kepala sekolah dan menafikan keputusan dewan guru yang memberikan skorsing,
jelas lebih mengutamakan kekuasaan ketimbang menjaga prinsip-prinsip moral
pendidikan yang seharusnya ditegakkan. Kepala dinas mestinya mendukung
sekolah yang ingin menciptakan sekolah ramah anak dan anti kekerasan,
terlebih menghadapi kasus kekerasan yang sudah membudaya.
Ketiga, pembelajaran publik tentang hukum yang
melindungi profesi guru. Proses hukum yang sudah berjalan harus diteruskan
karena setiap warga negara memiliki persamaan hak di depan hukum. Hukumlah
yang menjamin keadilan dan kebenaran sebuah perkara meskipun ini akan membawa
situasi pendidikan kita pada sebuah dilema.
Di satu sisi, ketika pihak yang berwenang
tetap memproses persoalan ini sebagai delik hukum pidana, proses hukum ini
akan menjadi intimidasi bagi para pendidik berintegritas untuk menegakkan
aturan sekolah guna memutus rantai kekerasan dalam pendidikan. Di lain pihak,
proses ini harus tetap diteruskan agar publik belajar tentang bagaimana
mereka dapat menghargai dan melindungi profesi guru yang memiliki aturan
hukum yang melindungi martabat profesinya.
Perlindungan profesi
Penegak hukum dituntut untuk mampu
mempergunakan pasal-pasal yang mengatur dan melindungi profesi guru, seperti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Terutama Pasal 14,
yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual; serta memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut
menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik
sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan
perundang-undangan.
Kasus pengaduan orangtua siswa atas kepala
sekolah yang bersama dewan guru ingin menegakkan peraturan sekolah bisa
menjadi momentum edukatif, baik bagi penegak hukum, orangtua, maupun
birokrasi dalam meretas kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tidak akan
berhenti jika para pelaku kekerasan dibiarkan berkeliaran di lingkungan
sekolah tanpa pernah memperoleh sanksi. Sekolah dalam artian tertentu adalah
sebuah negara kecil, tempat hukum dan peraturan mesti ditegakkan agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap hak orang lain. Ironisnya, para pendidik sering
kali belum memahami bahwa impunitas dalam dunia pendidikan justru akan
membuat situasi kekerasan dalam pendidikan tidak tersentuh. Membiarkan pelaku
kriminalitas, seperti penganiayaan dan atau mengangkangi aturan sekolah,
jelas bukan sebuah proses pendidikan yang baik.
Komunikasi intensif
Profesi guru akan jadi semakin bermartabat
jika publik, terutama orangtua, menghargai jerih payah lembaga pendidikan
yang ingin memutus rantai kekerasan di dalam dunia pendidikan. Orangtua dan
sekolah mestinya lebih intensif membangun komunikasi satu sama lain sehingga
salah pengertian tentang proses pendidikan tidak terjadi lagi.
Kekerasan dalam dunia pendidikan tak akan
berhenti jika tidak ada dukungan dari pimpinan. Ini berarti, pejabat di
lingkungan pendidikan, seperti pengawas, kepala dinas, dan menteri, harus
memiliki suara yang sama dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Jika
seorang kepala sekolah yang menegakkan aturan untuk memutus rantai kekerasan dalam
dunia pendidikan justru diancam dicopot dari jabatannya oleh kepala dinas,
kiranya ini menjadi lonceng kematian bagi terciptanya lingkungan sekolah yang
ramah anak.
Kita tidak boleh menganggap bahwa kasus
kekerasan yang sudah membudaya di sekolah hanya kasus kecil yang perlu
diselesaikan di tingkat sekolah. Apalagi menganggap ini sebagai urusan
pribadi individu yang terlibat. Urusan kekerasan yang sudah membudaya di
sekolah hanya bisa diselesaikan jika ada kerja sama yang intensif antara
orangtua, aparat penegak hukum, dan pemimpin sekolah.
Kita membutuhkan orangtua, polisi, kepala
sekolah, dan birokrat yang memiliki integritas moral. Tanpa integritas moral,
mustahil kekerasan dalam pendidikan akan terselesaikan, terlebih lagi jika
para guru pun bisa dengan mudah dipidanakan justru ketika harus menegakkan
dan melaksanakan tugasnya, tentulah ini akan menjadi lonceng kematian bagi
setiap usaha memutus rantai kekerasan di dalam lingkungan pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar