Kamis, 26 Maret 2015

Membangun Desa

Membangun Desa

Daoed Joesoef  ;  Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pemerintahan Joko Widodo rupanya bertekad membangun secara khas desa dengan menyediakan dana khusus pula. Namun, tekad baik ini ”terpaksa”, dengan berbagai pertimbangan, dikelola oleh dua kementerian. Keterpaksaan ini sebenarnya tidak perlu asalkan tekad khas dan khusus itu diletakkan dalam rangka pemikiran konseptual yang benar tentang pembangunan, kemerdekaan, dan kehidupan demokratis.

Pembangunan yang betul adalah yang menjadikan manusia selaku awal dan akhir kegiatannya. Berarti yang dibangun bukanlah permukiman (desa), melainkan manusia yang bermukim di situ. Pembangunan yang betul adalah bersifat nasional. Berarti membangun bangsa merdeka di mana ”bangsa” bukan berupa suatu fakta-jadi, melainkan in status nascendi yang permanen, dari pembawaannya selalu in petentia, tidak pernah in actu. Maka, istilah ”bangsa” bukan menyatakan suatu keadaan, melainkan gerakan, kemauan, usaha kolektif.

Setelah suatu bangsa merdeka dan berdaulat penuh, ia bukan lagi berupa ”physical locality” yang berpenduduk, melainkan (seharusnya) punya warga negara (cityzens). Berarti suatu pemerintahan yang demokratis harus menjadi sekaligus ”pelayan” dan ”tutor” karena kewarganegaraan adalah suatu ”mindset”.

Membangun orang desa

Manusia, di mana pun, tidak tinggal di awang-awang, tetapi menetap di suatu ruang tertentu dari bumi. Ruang adalah sekaligus suatu paksaan dan suatu kebebasan. Kita sedang berada dalam suatu momen historis, di mana kemampuan bertindak, individual atau kolektif, menangani ruang cenderung meningkat. Berarti ruang menjadi ”modal sosial” yang semakin penting dalam keseluruhan modal sosial yang diandalkan dalam proses pembangunan.

Ruang sosial yang disebut ”desa” bukanlah suatu substansi abstrak. Ruang sosial tersebut adalah suatu ruang hidup konkret dari manusia, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas tertentu, baik lokal maupun nasional. Dalam dimensi obyektif, material, kultural dan spiritualnya, ruang sosial ini adalah produk transformasi alam melalui proses pikiran dan kerja manusia. Alam tersebut bisa berupa desa, dusun, sungai, danau, pantai, hutan, dan lain-lain.

Suatu ruang sosial juga merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan. Mulai dari modifikasi terkecil (pembangunan gedung sekolah, tempat ibadah) yang berdampak kecil saja pada lingkungan; modifikasi menengah (pembangunan waduk, kompleks industrial, kampus); sampai modifikasi terbesar (pembangunan daerah, provinsi, pulau) yang pasti akan mengubah tata ruang/lingkungan.

Secara filosofis pembangunan dalam term ruang sosial ini diformulasikan sebagai suatu ”gerakan komunitas” yang tak berkesudahan, selama proses mana hidup di komunitas yang bersangkutan terasa lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih akseptabel bagi para warganya. Penggalakan gerakan komunitas di pembangunan dalam term ruang sosial berpeluang menghidupkan semangat dan praktik demokrasi di kalangan wong deso yang sebenarnya dahulu telah mereka kenal dalam usaha kepantasan hidup bersama, di antaranya sistem pengelolaan air persawahan, subak kalau di Bali.

Betapa tidak. Kalau pembangunan waduk yang direncanakan pemerintah pusat atau daerah tidak diperlakukan sebagai ”proyek take it or leave it” bagi rakyat, misalnya, tetapi sebagai ”gerakan komunitas setempat”, penduduk yang bakal kena imbas konstruksi besar-besaran itu diajak bicara, dihargai martabat humannya, ”diwongke”. Pembangunan dalam term ruang sosial meniscayakan partisipasi rakyat (warga negara) dalam pengambilan keputusan, terutama yang secara pribadi menanggung dampak keputusan. Jadi, ada sejenis interaksi antara partisipasi warga lokal dan strategi yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar warga negara pada umumnya. Jadi, membangun orang desa adalah ”ngewongke wong deso”.

Mengingat pembangunan dalam term ruang sosial merupakan pula suatu pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, pembangunan ini menjadi suatu participatory development seiring dengan participatory democracy. Berarti, di tengah-tengah praktik demokrasi tak langsung masih ada kesempatan hidup bagi praktik demokrasi kontinu di kalangan rakyat. Rakyat diminta memberikan ”suara”, tidak hanya sewaktu pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah, tetapi diminta memberikan ”suara” di setiap saat pengambilan keputusan tentang proyek pembangunan di permukimannya. Jika demikian, bahkan, akan timbul dan berkembang secara bersamaan serta saling mengisi: ya, demokrasi politik; ya, demokrasi ekonomi; ya, demokrasi sosial.

Jadilah pelayan dan tutor rakyat

Apabila diterapkan dengan konsisten, pembangunan begini akan menimbulkan—dengan sendirinya—secara spontan berbagai budaya terkait: budaya komunikasi, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya artistik, bahkan budaya keilmuan. Lama-kelamaan ruang sosial bisa menjadi suatu learning community, yaitu dasar ideal bagi pembentukan civil society.

Kalau sudah sejauh ini, maka ia berpotensi pula menjalankan aneka fungsi politik, seperti pendidikan politik, perekrutan politik, mendorong partisipasi politik warga, menyalurkan aspirasi melalui komunikasi politik dan mengelola konflik politik yang—pada gilirannya—meratakan jalan bagi usaha pemecahan masalah aspek-aspek kehidupan lainnya. Manusia sudah menjadi makhluk pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.

Kalau penguasa negeri—di pusat dan daerah—membenarkan penerapan konsep pembangunan yang satu ini, berarti pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai pelayan dan tutor dari rakyat. Konsep ini mengoreksi cara pembangunan menurut diktum ekonomiko-teknokratis selama ini yang mewujudkan suatu spektator development di mana penduduk setempat hanya dijadikan penonton belaka, tidak di-wongke.

Di Aceh, orang boleh menonton saja bagaimana gas dan minyak buminya digali terus-menerus. Di Kalimantan, suku Dayak harus menonton saja bagaimana hutan alamnya dibabat dan ketika mereka menebang sendiri pohon untuk keperluan hidupnya sesuai dengan aturan adat leluhur mereka diuber-uber bagai maling di kawasan adatnya.

Di Papua, penduduk asli juga terpaksa menonton saja bagaimana bukit-bukit digali hingga berlubang bagai danau. Kalau malam hari, kompleks permukiman petambang terang-benderang, sementara orang Papua di sekitarnya tetap tinggal di hutan dalam kegelapan. Tidak ada sedikit pun kaitan etis antara mereka dan tambang raksasa, padahal sama-sama berpijak di bumi yang sama. Tambang memang menaikkan produk nasional bruto melalui pertambahan produk domestik bruto, tetapi bagi manusia setempat, jangankan ”to be more”, ”to have more” saja tidak.

Jangan heran kalau mereka ingin memisah diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap demonstratif ini lalu ditanggapi sebagai pemberontakan dan ditangani secara militer. Padahal, mereka tidak puas dengan cara pembangunan nasional yang diterapkan di daerah mereka. Perlawanan mereka memang dapat ditumpas, tetapi menimbulkan dendam dan kebencian turun-temurun.

Filosof politik Perancis terkenal, Alexis de Tocqueville, telah mengingatkan bahwa ”a democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection ot its strength and the abuse of its resources”. Peringatan ini dia tujukan kepada para pemimpin Amerika Serikat satu setengah abad yang lalu, tetapi menilik gelagatnya cocok juga bagi para politikus kita sekarang yang sedang lupa daratan.

Desa pantai

Konsep pembangunan manusia di desa perlu memahami masalah khas yang dihadapi penduduk pantai yang tidak mengganggu mereka yang menetap jauh di darat. Dunia sering dijuluki ”planet air”. Tujuh puluh persen dari permukaannya berupa laut dan samudra. Laut merupakan perbatasan terakhir kita. Ia adalah wadah kehidupan bagi banyak sekali aneka ragam biota dan memasok setengah produksi industri primer. Ia adalah penghirup utama karbon dioksida dan suatu pengimbang iklim. Ia mengandung banyak sumber alami dan menghirup substansi kimiawi, pencemaran-pencemaran yang datang dari daratan.

Tiga perempat penduduk dunia memusat di wilayah pesisir, suatu jalur berjarak kira-kira 50 kilometer dari tepi pantai. Indonesia pasti memiliki ratusan ribu desa pantai mengingat ia, sebagai satu arsipelago terbesar, punya garis pantai sepanjang satu setengah kali garis khatulistiwa. Kenyataan ini perlu dipahami demi pemecahan masalah spesifik dari desa-desa pantai. Ekosistem di wilayah pesisir telah dikacaukan dan kualitas lingkungannya telah dirusak oleh ”the abuse of coastal resources and industrial pollution”.

Ekosistem pesisir terganggu karena selain wilayahnya menjadi konsentrasi permukiman dan kegiatan bisnis, lautannya pun menjadi ajang transportasi maritim dan pelayaran global, serta penangkapan ikan. Limbah ditranspor melalui arus lautan dan dikonsumsi oleh plankton (tumbuhan dan hewan) dan lalu dimakan oleh ikan, selanjutnya dikonsumsi manusia. Sisa-sisa plankton mengakibatkan kenaikan konsentrasi netrat dan fosfat dalam air laut.

Solusi yang tepat bagi masalah khas desa pantai dan warganya diniscayakan tak lain adalah bagaimana mereka perlu dilibatkan dalam mewujudkan sekuriti pantai. Penyelundupan senjata, narkoba, imigrasi gelap orang asing terjadi lewat pantai. Mengandalkan penjagaan pantai pada kapal patroli kepolisian dan TNI Angkatan Laut saja tidak cukup. Yang berada di pantai selama 24 jam terus-menerus adalah manusia yang bermukim di situ. Namun, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka menuntaskan tugas kewargaannya kalau mereka merasa nasibnya tidak dipedulikan oleh kebijakan pembangunan pemerintah.

Maka, kerja besar, mulia, dan manusiawi ini—”pembangunan (orang) desa”—dipercayakan kepada siapa dan lembaga pemerintahan apa? Yang pasti jangan dalam kewenangan dua kementerian karena kalau sukses jelas siapa/apa bapaknya, bila gagal semua pada angkat bahu sambil melengos. Jadi, pantas sekali bila ia ditetapkan menjadi tanggung jawab melulu dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar