Khilafat
Teror yang Memikat Muslim
Smith Alhadar ; Penasihat
pada ISMES;
Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2015
DAULAH Islamiyah atau yang
lebih populer dengan nama Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) ialah negara
Islam tanpa preseden. Para pendirinya menganut paham takfir. Mereka menolak
konstitusi, hukum, demokrasi, pemilihan umum, dan parlemen karena dibuat
manusia. Bahkan mengafirkan orang yang sekadar mendaftar untuk pemilihan
umum. Lebih jauh, demi mendirikan negara Islam yang `murni', mereka tak
sekadar membunuh muslim Syiah, penganut Yahudi, Kristen, dan Yazidi, tapi
juga kaum muslim Sunni yang tak sepaham dengan mereka. Rumah-rumah ibadah
nonmuslim, dan tempat-tempat suci kaum muslim yang sering diziarahi, seperti
makam Nabi Yunus--juga artefak-artefak peradaban kuno
Irak--dihancurkan.Padahal Alquran melarang kaum muslim membunuh anak-anak,
wanita, orang tua, bahkan larangan menghancurkan rumahrumah ibadah nonmuslim
dalam keadaan perang sekalipun.
Kendati ajaran dan
tindakannya telah jauh menyimpang dari ajaran Islam sehingga ditolak para
pemimpin, ulama, dan cendekiawan Islam, ISIS masih saja memikat kaum muslim
di seluruh dunia, termasuk dari negara-negara Eropa dan AS. Bahkan
pascapemenggalan kepala dua warga Jepang dan pembakaran hidup-hidup pilot
Yordania, Anshar Bait Al-Muqaddas di Mesir, muslim militan di Libia, dan Boko
Haram di Nigeria membaiat (menyatakan sumpah setia) pada ISIS. Kaum muslim
dari berbagai penjuru masih saja mengalir ke wilayah Irak bagian utara dan
Suriah bagian utara yang dikuasai ISIS.Wakil Kapolri Komisaris Jenderal
Badrodin Haiti-terkait 16 warga negara Indonesia yang tertahan di Turki dalam
perjalanan ke wilayah ISIS--pada 19 Maret mengatakan WNI yang bergabung
dengan gerakan radikal meningkat. Apa yang sebenarnya terjadi? Lebih spesifik
lagi, mengapa kaum muslim Indonesia tertarik pergi ke kawasan yang jauh dan
berbahaya itu, bahkan dengan membawa istri, anak, dan bayi mereka?
Pertama, motif ekonomi.
Banyak orang Indonesia yang mengira semua negara Arab kaya. Padahal, dari 22
negara anggota Liga Arab, tak sampai setengah yang bisa dibilang kaya karena
petrodolarnya. Karena itu, ketika kondisi ekonomi Indonesia agak seret, ada
orang-orang yang memilih hidup di perantauan. Kebetulan yang membuka pintu
lebar-lebar ialah ISIS, yang wilayahnya mencakup bagian utara dari dua negara
Arab. Setelah melihat status 16 WNI itu, yakni 1 pria berusia 41 tahun, 4
perempuan berusia 30-an, serta 3 anak perempuan dan 8 anak laki-laki dengan
rentang usia 1-15 tahun, terbuka kemungkinan mereka didorong motif ekonomi.
Kalau tujuannya semata-mata jihad, seharusnya perempuan, anak-anak, dan bayi
tidak dibawa serta.
Kedua, cuci otak. Melalui
media sosial, seperti Facebook, Twitter, blog, dan sebagaimana, ISIS berhasil
memikat kaum muslim. Sebagaimana diketahui, untuk generasi muda, media cetak
tak lagi dibaca.Berpindahnya mereka ke media internet sebagai sumber
informasi utama membuat mereka rentan terhadap propaganda Islam radikal yang
mengajarkan kehidupan fana di bumi yang sia-sia dan menawarkan kehidupan
akhirat yang sentosa dan abadi.
Kebetulan para ideolog jihadis mengembangkan
ajaran patriotisme yang berbasis pada konsep hijrah dan jihad. Nah, ISIS
salah satu negara ideal untuk dijadikan tempat hijrah dan mewujudkan misi
jihad mereka.
Ketiga, menurunnya wibawa
ulama. Ulama mainstream di Timur Tengah khususnya dipandang telah terkooptasi
oleh pemerintahan sekuler yang menjalankan kebijakan sesuai dengan
kepentingan negara-negara Barat yang hegemonik sehingga deradikalisasi umat
Islam melalui pernyataan atau fatwa ulama tidak lagi efektif. Ini disebabkan
isu sesungguhnya bukan isu agama, melainkan masalah-masalah duniawi seperti
isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Beruntung kita punya NU dan
Muhammadiyah. Untuk NU, peran kiai sangat signifikan dalam meredam propaganda
ISIS. Di dalam Muhammadiyah, sikap moderat dan independen lapisan
intelektualnya juga berhasil menetralkan propaganda-propaganda muslim
radikal. Yang bersimpati pada muslim radikal hanya datang dari ormas-ormas
salafi.
Keempat, adanya
dukungan dari kelompok Islam di Tanah Air terhadap ISIS dan Al-Qaeda. Sebuah
ormas Islam yang cukup populer, bahkan mendukung--sebagaimana dapat dibaca
pada situs resminya `seruan dan nasihat pemimpin AlQaeda Syeikh Aiman
Az-Zawahiri bahwa seluruh komponen jihad Al-Qaeda baik pasukan Muhammad
Al-Jaulani di Suriah maupun pasukan ISIS, serta komponen jihad AlQaeda
lainnya agar bersatu dan bersaudara dengan segenap Mujahidin Islam di seluruh
dunia untuk melanjutkan jihad di Suriah, Irak, Palestina, dan negeri-negeri
Islam lainnya yang tertindas'.
Mengejutkan, ormas yang menyatakan diri menganut ahlu sunnah wal jamaah (Sunni) yang
memilih jihad syar'i dan koridor konstitusi mendukung AlQaeda dan ISIS yang
jelas-jelas menganut paham takfir. Memang pada butir lain,
ormas itu menentang pembunuhan terhadap kelompok agama mana pun. Di sini
terlihat adanya inkonsistensi antara apa yang diyakininya dan apa yang
dinyatakannya.
Kelima, Turki `membuka' pintu
bagi masuknya simpatisan ISIS yang ingin bergabung dengan khilafat teror itu
melalui kota-kota perbatasan. Misalnya Kota Suruc, Kilis, dan Antakiya, tiga
kota Turki di dekat perbatasan Turki-Suriah. Dari Kota Killis ke Kota Aleppo
di Suriah yang dikuasai ISIS hanya 45 kilometer. Jalur tersebut yang dipilih
16 WNI itu.Bahkan dari Kota Antakya ke Aleppo lebih dekat lagi. Ajakan AS
agar Turki ikut bergabung dengan NATO untuk bersama Liga Arab memerangi ISIS
ditolak Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Erdogan setuju memerangi ISIS
asalkan disatukan dengan perang melawan rezim Suriah.
Sudah lama hubungan Turki
dan Suriah tidak harmonis. Itu disebabkan rezim Suriah sering menggunakan
Partai Pekerja Kurdi (PKK), yang berbasis di bagian utara Suriah, untuk menekan
pemerintahan Turki. Dari Suriah, PKK sering masuk perbatasan Turki untuk
memprovokasi kaum Kurdi-Turki untuk berontak terhadap Ankara. Bantuan senjata
negara-negara Barat pada Kurdi dalam memerangi ISIS kian mengkhawatirkan
Turki bahwa Kurdi-Irak bisa memproklamasikan kemerdekaan mereka pascaISIS.
Kalau itu terjadi, Turki bakal kerepotan menghadapi etnis Kurdi-nya.
AS menolak keinginan Turki
untuk memerangi rezim Bashar al-Assad karena, pertama, AS lebih memilih jalan
kompromi rezim Al-Assad. Supaya tak terulang kejadian dan kekerasan di Irak
pascakejatuhan Saddam Hussein, Washington ingin rezim Al-Assad diintegrasikan
ke dalam pemerintahan baru di Suriah. Kedua, AS khawatir, seandainya rezim
Al-Assad jatuh, besarlah kemungkinan negara Islam akan menggantikan negara
sekuler Suriah.Hal itu akan mengancam Israel. Bahkan mereka mungkin menolak
hegemoni AS.
Ketiga, dipertahankannya
rezim Al-Assad mungkin atas permintaan Iran kepada AS, yang sekarang sedang terlibat
perundingan program nuklir Iran. AS sedang berupaya merangkul Iran untuk mengontrol
Rusia yang nakal dan Tiongkok yang mulai ekspansif. Iran ialah negara kunci
dalam konsep Jalur Sutra Tiongkok. Tanpa Iran, tidak ada Jalur Sutra. Pembiaran
Turki atas masuknya para jihadis ke Suriah melalui wilayahnya bisa jadi juga
bertujuan meningkatkan posisi tawarnya vis a vis NATO.
Untuk mencegah WNI ke
Suriah, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan pemerintah Turki
sebagaimana diharapkan Turki. Terkait dengan 16 WNI itu, saat ini pemerintah
sedang merumuskan solusinya. Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan
status kewarganegaraan WNI yang bergabung dengan ISIS tidak otomatis hilang
karena belum ada aturannya. Namun, mereka tak otomatis bisa kembali.
Pemerintah akan menerbitkan perppu yang mengadopsi sejumlah UU
kewarganegaraan dan keimigrasian.
Kiranya tepat langkah pemerintah ini.
Semoga pemerintah juga mendapat kesempatan menginterogasi mereka untuk
mengetahui secara persis motivasi mereka untuk bergabung dengan ISIS. Mengidentifikasi
motif mereka yang sesungguhnya akan sangat membantu pemerintah menangani
potensi jihadis WNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar