Darkness, My Old Friend
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional di Indonesia
|
JAWA
POS, 29 Maret 2015
KAMI pernah menjadi teman sekelas selama enam
tahun di sekolah dasar. Setelah itu, saya dan dia tidak pernah lagi satu
sekolah. Kami baru bertemu lagi secara tidak sengaja menjelang lulus SMA.
Juga, pada saat itu kami tahu bahwa salah satu lagu kesukaan kami ternyata
sama, The Sound of Silence Paul
Simon dan Art Garfunkel.
”Hello darkness, my
old friend, I’ve come to talk with you again....”
Itu larik pembuka yang terasa sangat
mengesankan bagi saya saat mendengarnya kali pertama, bertahun-tahun lalu,
dan sampai sekarang saya tetap menyukainya. Kalimat itu terasa seperti selalu
mengikuti saya ke mana pun dan ia akan muncul begitu saja di dalam benak jika
saya mulai merasa kelelahan oleh situasi yang terlalu riuh. Ia seperti alarm
pengingat yang memberi tahu bahwa sudah saatnya saya menyapa sahabat lama,
yakni kegelapan, dan bercakap-cakap dengannya.
Adakalanya saya membenci diri saya sendiri
karena sering tidak mampu mengendalikan diri dari ingar-bingar yang menggoda
dan gagal menyingkir dari keriuhan. Saya membiarkan diri menjadi bagian dari
kebisingan dan ikut memperbising keadaan.
Anda tahu, dunia yang bising selalu melelahkan
dan menguras tenaga. Kita harus berteriak kuat-kuat agar orang mendengar
suara kita. Kita harus melakukan hal-hal yang bombastis agar orang memberikan
perhatian kepada kita. Tetapi, ketika semua orang ingin didengar, ketika
setiap suara mencoba menyerbu benak kita, dan ketika orang hanya
mengembangkan kecakapan bicara, siapa lalu yang sudi mendengar?
Saya selalu khawatir pada keriuhan, pada
situasi di mana setiap orang ingin didengar. Saya tidak menyukai situasi
seperti itu. Saya selalu menaruh curiga bahwa ketika orang-orang sibuk bicara
dan merindukan pendengar, maka inilah masa kejayaan para penjilat.
Hanya penjilat, Anda tahu, yang memiliki
kesanggupan mendengar dan merespons pembicaraan orang dengan cara yang selalu
menampakkan gairah serta mampu menyenangkan orang-orang yang suka bicara. Dia
sanggup tertawa terbahak-bahak meskipun tidak ada pembicaraan yang lucu. Dia
sanggup memuji pemikiran-pemikiran yang dangkal seolah-olah itu adalah
pemikiran besar. Dia dengan ringan hati akan menyanjung karya yang
biasa-biasa saja, seolah-olah itu mahakarya dan belum ada satu orang pun di
dunia ini yang telah melahirkan karya sebagus itu.
”Kelihatannya kau sedang marah,” kata kawan
saya.
”Sedang khawatir,” kata saya.
Kami bertemu lagi pekan lalu. Dia mendapatkan
nomor telepon saya dari seorang teman lama. Kami sangat dekat bertahun-tahun
lalu di sekolah dasar. Dan saya senang bertemu dengannya sekali lagi.
Kepadanya, saya menyampaikan apa yang membuat saya khawatir. Saya mengatakan
bahwa kita memasuki kehidupan yang hiruk pikuk dan orang-orang
tampak sibuk, tetapi nyaris tidak ada karya yang menarik untuk dibicarakan.
Kita tidak mendapatkan sesuatu yang bisa membuat kita sejenak berhenti dan
mengambil jeda dari situasi yang rutin. Pikiran kita penuh oleh apa saja
sehingga kita tidak punya waktu untuk diri sendiri. Kita tidak punya waktu
untuk merancang kehidupan kita sendiri. Kita memikirkan dan mengomentari apa
saja yang tidak menjadi urusan kita. Sebab, kita ingin suara kita didengar.
Kita berlarian di jalanan, tetapi tanpa kegembiraan kanak-kanak yang
berlarian di bawah hujan.
Kita begitu sibuk dan menggunakan nyaris
seluruh waktu kita untuk mengerjakan apa saja, kecuali merumuskan tujuan kita
sendiri. Sementara orang-orang besar selalu merancang kehidupan yang mereka
inginkan untuk mereka, kehidupan terbaik yang bisa mereka wujudkan.
Saya terus mengomel. Kawan saya lebih banyak
diam mendengarkan omelan saya.
”Sekarang kau fasih bicara,” katanya. ”Dulu
kau pendiam. Itu berarti kau harus mulai berhati-hati.”
Astaga! Dia benar. Sejak kami bertemu, saya
lebih banyak bicara dan dia lebih banyak diam mendengarkan.
Saya ingin bercakap-cakap dengannya hingga
dini hari, tetapi dia tidak bisa.
”Acaraku besok dibuka pagi-pagi,” katanya.
”Setelah itu, malamnya langsung ke bandara, balik ke Semarang. Jadi, aku
pamitan sekalian.”
Dia mengatakan, sebelum kami berpisah,
tampaknya saya perlu masuk gua. ”Jika kau merasa risau pada keriuhan, kau
perlu masuk ke dalam gua. Kau masih ingat lagu The Sound of Silence?”
Dua hari kemudian saya menemukan e-mail
darinya. Saya kutip utuh tulisannya sebagai berikut.
”Bung, ada saran dari seorang kenalan baru
yang kujumpai di acara kemarin. Kupikir sarannya patut dipertimbangkan jika
kau berminat membahagiakan dirimu sendiri. Dia bilang, bukan rezeki berlimpah
yang mendatangkan kebahagiaan, melainkan kebahagiaanlah yang mendatangkan
rezeki.”
”Waktu dia menyampaikan kepadaku soal itu, aku
mengangguk-angguk saja. Kupikir dia hanya sedang menyampaikan sesuatu yang
dia yakini atau mungkin kalimat yang baru dia dapatkan dari seorang
motivator. Tetapi, aku mendengarkannya saja, toh tidak sedang mengajak
berdebat tentang apa pun. Kemudian, kami bercakap-cakap dan aku tahu bahwa
dia rupa-rupanya sedang melakukan percobaan dengan buku harian. Dia bilang,
sudah beberapa minggu dirinya mengakrabkan diri dengan buku hariannya itu.
Dia mengisi buku itu setiap hari dari Senin hingga Jumat. Hari Sabtu dan
Minggu, dia libur mencatat.
”Setiap hari dia mencatat satu halaman saja.
Hari Senin, dia menyampaikan dalam catatannya itu rasa terima kasih atas tiga
hal baik dalam hidup. Hari Selasa, dia mencatat satu pengalaman dari masa
lalu yang sangat menyenangkan. Hari Rabu, dia menuliskan masa depan atau hal
terbaik yang bisa dia bayangkan tentang dirinya. Hari Kamis, dia mengingat
dan mendeskripsikan seseorang yang dianggapnya penting dalam kehidupannya.
Hari Jumat, dia mengingat-ingat pengalamannya selama satu minggu dan memilih
mencatat tiga hal baik yang dialaminya.
”Dia mendorong aku untuk melakukannya juga.
’Cobalah lakukan,’ katanya. ’Paling banter lima menit setiap hari dan itu
cara yang amat mudah untuk membahagiakan diri sendiri.’”
”Aku ingin mencoba menulis catatan harian
seperti yang dilakukan kenalanku itu. Kupikir kau bisa melakukannya juga jika
merasa itu hal yang bermanfaat buatmu. Kita mempunyai waktu 24 jam dalam satu
hari dan menyisihkan lima menit setiap hari untuk mencatat hal-hal baik yang
kita alami kurasa tidak akan membuatmu bangkrut sebagai manusia. Salam.”
Saya membalas e-mail-nya dengan ucapan terima
kasih dan menyepakati sarannya sebelum kami berpisah, bahwa mungkin saya
memang perlu masuk gua, menyapa kegelapan si kawan lama. ”Terima kasih juga sudah mengingatkan bahwa malam itu saya terlalu
banyak bicara,” tulis saya. ”Kita
sama tahu bahwa karya-karya yang baik selalu lahir dari keheningan, dari
pikiran yang mampu melepaskan diri dari hiruk pikuk dan mau menyediakan waktu
untuk mengakrabi kesunyian.” Saya selalu ingat bagian pembuka lagu itu, ”Hello darkness, my old friend...” dan
sampai sekarang tetap mengingatnya. Kita mungkin memang membutuhkan
kegelapan, kita perlu memasuki situasi gelap untuk menemukan cahaya terang.
Orang-orang zaman dulu masuk ke dalam gua, ke dalam situasi gelap, untuk
menemukan cahaya. Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar