Cahaya
Basuki
Abdillah Toha ; Pemerhati
Politik
|
KOMPAS,
24 Maret 2015
Di
ujung lorong panjang dan gelap yang bernama Ibu Kota, tampak secercah cahaya
yang menjanjikan. Cahaya itu boleh saja dinamai cahaya basuki, yakni cahaya
kesejahteraan, keselamatan, ataupun kebahagiaan.
Ada
pepatah Jawa terkenal yang bunyinya "jer
basuki mawa beya". Artinya, untuk menggapai kebahagiaan harus
bersedia berkorban. Sayang sekali, belakangan ini korban untuk membangun
Jakarta dengan benar bukan korban biasa seperti tenaga, pikiran, biaya, dan
sejenisnya, melainkan korban dalam bentuk lain yang amat tak diharapkan
warga. Korban pertama tampaknya adalah proses demokrasi yang rusak sebagai
akibat dari penggunaan hak-hak Dewan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan
bagi menjatuhkan lawan politik. Korban kedua, sebagai akibat lanjutan, adalah
terkatung-katungnya program pembangunan DKI Jakarta karena tersendatnya
persetujuan APBD.
Yang
paling memprihatinkan adalah korban berikutnya berupa hilangnya akal sehat, moralitas,
dan etika sebagian penyelenggara negara yang dipilih sebagai wakil rakyat
untuk memperjuangkan nasib rakyat. Dalam rangka menyerang lawan politiknya,
kata- kata kasar yang sempat muncrat dari mulut orang-orang terhormat,
sebagian bernuansa SARA (suku, agama, ras, antargolongan) dan sebagian lain
sangat rendah dan tak pantas terlontarkan di ruang publik.
Meski
demikian, dalam proses perang anggaran itu, cahaya hikmah yang mewujud adalah
kemungkinan terbongkarnya kasus penggelapan besar-besaran uang rakyat dalam
bentuk apa yang disebut sebagai anggaran siluman. Anggaran beratus miliar
yang diduga diselundupkan orang- orang terhormat. Kalau semua ini nanti
terbukti, ratusan miliar-bahkan mungkin triliunan-rupiah uang rakyat akan
terselamatkan. Kesejahteraan rakyat akan terbantukan dan rongrongan mereka
yang berniat busuk akan terhenti, mudah-mudahan untuk seterusnya.
Bukan gubernur biasa
Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal dengan nama Ahok, memang bukan
gubernur biasa. Kata-katanya keras dan tak selalu terdengar nyaman di telinga
pendengarnya. Orangnya langsung tanpa tedeng aling-aling, keras kepala dalam
kejujurannya, berani mengambil risiko dan mengorbankan dirinya demi
keyakinannya, menjauhi kompromi yang bertujuan hanya menyelamatkan
jabatannya.
Setelah
Gubernur Ali Sadikin yang berjasa sebagai pionir pembangunan Ibu Kota,
barangkali baru sekarang kita mendapatkan kepala daerah Jakarta yang tekadnya
kuat, nyalinya besar, dan kerjanya transparan. Barangkali hanya ada satu
kepala daerah lain saat ini yang mendekati karakter Basuki, yakni Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini.
Dalam
sistem demokrasi hibrida kita saat ini, menarik melihat gerak dan kinerja
seorang kepala daerah yang independen dan tidak berpartai. Apakah dia akan
sintas (survive) dan berprestasi, atau sekadar sintas sampai akhir masa
jabatan, atau akan jatuh sebelum waktunya?
Mengurus
Jakarta tanpa diganggu sudah cukup pelik, apalagi kalau diganggu terus oleh
politisi yang punya wewenang besar atau kelompok kepentingan yang
intimidatif. Bang Ali almarhum pernah bilang, mengurus, maaf, beraknya orang
Jakarta saja sudah sangat memusingkan kepala. Belum lagi mengurus keperluan
sekolah mereka, kesehatan, transportasi umum, sampah, banjir, keamanan, dan
sebagainya, di salah satu kota berpenduduk terbesar di dunia ini.
Problema
Jakarta juga disebabkan oleh beberapa gubernur DKI setelah Ali Sadikin yang
boleh dikata gagal menunjukkan prestasi meyakinkan selama bertahun-tahun.
Permasalahan Jakarta akhirnya jadi menumpuk, menggumpal, dan karena itu tidak
mudah diurai.
Oleh
sebab itu, warga Jakarta seharusnya bersyukur mempunyai seorang gubernur yang
mau bekerja dan berani menabrak tembok besar penghalang dengan niat
mendahulukan kepentingan warga melawan kepentingan kelompok kecil tetapi
kuat, yang tujuannya hanya untuk menguntungkan diri sendiri.
Modal
lain Basuki adalah kepercayaan warga Jakarta kepadanya. Hasil penelitian
sebuah lembaga survei baru-baru ini menunjukkan warga Jakarta lebih percaya
kepada Basuki daripada kepada wakil-wakilnya yang duduk di DPRD. Dengan modal
kepercayaan itu, sebenarnya Basuki berpeluang untuk menggerakkan warga untuk
mendukung program-program Pemerintah DKI.
Basuki
memang belum tampak memanfaatkan dukungan dan kepercayaan ini untuk
menggerakkan masyarakat Jakarta, umpamanya bagi menjaga kebersihan lingkungan
atau menegakkan disiplin di jalan-jalan. Barangkali fokusnya pada prioritas
penting lain yang belum tertangani membuatnya belum sempat memikirkan hal
ini.
Jangan biarkan meredup
Basuki
bukannya bebas dari kekurangan. Antusiasmenya yang berlebihan terkadang
membuatnya meledak-ledak. Kalau tak terkendali, bukan saja bisa mengganggu
kesehatannya, melainkan juga sudah sempat memberikan citra negatif di
sebagian kalangan sebagai pemimpin yang emosional dan arogan.
Namun,
Basuki sebenarnya masih menyimpan keuntungan lain, yakni kedekatannya dengan
mantan atasannya yang sekarang telah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Seharusnya hal ini sangat bermanfaat karena berbagai masalah di Ibu Kota juga
disebabkan gagalnya koordinasi dan kerja sama dengan daerah sekitar Jakarta
di Jabodetabek. Masalah Jakarta tidak akan tuntas terselesaikan jika tak
didukung kemauan politik untuk kerja sama antarkawasan itu.
Di
sini presiden bisa berperan banyak untuk membantu Gubernur DKI dengan
menggunakan wewenangnya. Apakah dan kapan uluran tangan nyata presiden akan
terjadi dan efektif, kita hanya bisa menunggu di waktu-waktu mendatang.
Sementara ini, presiden baru kita yang popularitasnya merosot hanya belum sampai
lima bulan menjabat tampaknya sudah terlalu penuh piringnya dengan masalah
buatan sendiri sehingga diragukan bahwa dia akan dapat membagi energinya
untuk sungguh-sungguh memikirkan masalah Jakarta dalam waktu dekat ini.
Basuki
yang baru menjabat empat bulan sebagai gubernur dan hanya punya sisa waktu
dua setengah tahun sampai Oktober 2017 memang tak punya banyak waktu untuk
membuktikan apakah dia pantas diberi mandat untuk periode berikutnya.
Bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang ini akan merupakan ujian berat baginya
dan bagi semua warga Jakarta. Mengapa warga Jakarta juga akan menghadapi
ujian? Sebab, kalau Basuki gagal karena terganggu atau tak terganggu akan
menghadapkan warga Jakarta dengan tantangan pelik guna menghindari
terpilihnya lagi seorang kepala daerah baru tipe lama dengan karakter tak
jelas, integritas yang meragukan, kompromistis, tipe politisi tulen, atau
petualang hedonis.
Kalau
itu yang terjadi, kita semua ikut bertanggung jawab. Baik buruknya seorang
pemimpin juga ditentukan oleh sikap, aksi, dan karakter yang dipimpin. Tidak
mendukung pemimpin yang baik adalah sebuah kesalahan. Lebih fatal lagi kalau
yang dipimpin membiarkan pemimpin buruk berjalan tanpa kendali atau
membiarkan sekelompok pengganggu membuat pemimpin yang baik menjadi tidak
efektif.
Basuki
Tjahaja Purnama, kita semua mempertaruhkan hari depan Jakarta di tanganmu.
Jangan kau biarkan cahaya basuki menjadi redup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar