Peran
Ulama dan Terorisme
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar
Masjid Istiqlal
|
REPUBLIKA,
24 Maret 2015
Sejak gencarnya pemberitaan tentang Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS) belakangan ini, banyak orang mempertanyakan
peran ulama dalam menanggulangi anarkisme, radikalisme, dan terorisme.
Tampaknya selama ini penanggulangan terorisme masih banyak dilakukan melalui
pendekatan keamanan dan pemidanaan.
Sementara, penanggulangan terorisme melalui
pendekatan persuasif preventif dinilai belum dilakukan secara maksimal. Untuk
menanggulangi anarkisme, radikalisme, dan terorisme, kita perlu mengetahui
sebab-sebab yang menimbulkan perilaku tersebut.
Sekurang-kurangnya ada tiga sebab besar yang
menimbulkan perilaku anarkisme, radikalisme, dan terorisme. Pertama adalah
ketidakadilan dalam skala global maupun lokal. Ketika ada pihak yang
melakukan tindakan yang melanggar hukum, sementara ia tidak dipidanakan
dengan hukum yang berlaku, maka yang timbul adalah masyarakat mencari
keadilan dengan melakukan tindakan main hakim sendiri.
Oleh karena itu, untuk menanggulangi terorisme
yang disebabkan oleh faktor ketidakadilan maka tugas kita semuanya dan
khususnya aparat penegak hukum adalah menegakkan supremasi hukum. Jangan
sekali-kali ada perilaku pelanggaran hukum di negeri ini, tetapi tidak
dikenai hukuman. Perilaku anarkisme, radikalisme, dan terorisme yang terjadi
di negeri kita banyak disebabkan oleh faktor ini.
Sebab kedua, anarkisme, radikalisme, dan
terorisme memang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan
tertentu. Hal ini dengan catatan apabila pernyataan tokoh-tokoh seperti
Edward Snowden, mantan intelijen Amerika Serikat yang sekarang membelot ke
Rusia; dan Hillary Clinton, mantan menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu
benar.
Kedua tokoh ini diberitakan membuat pernyataan
bahwa ISIS diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan-kepentingan
tertentu. Bahkan, Hillary Clinton menuliskan hal itu dalam buku terbarunya
The Hard Choices. Untuk menanggulangi terorisme yang ditimbulkan oleh sebab
kedua ini, tentulah tidak ada cara lain kecuali menghilangkan sebab itu
sendiri, yaitu tidak ada lagi pihak yang menciptakan anarkisme, radikalisme,
dan terorisme.
Sebab ketiga, seperti dikatakan banyak ulama
bahwa terorisme juga disebabkan oleh faktor ketidaktahuan dalam memahami
ajaran agama. Apabila yang dimaksud dengan agama ini adalah agama Islam, maka
di sinilah sebenarnya ulama dapat memainkan perannya, berpartisipasi dalam
aksi penanggulangan terorisme.
Namun, tampaknya dalam menghadapi terorisme,
di kalangan ulama minimal terdapat dua kategori. Kategori pertama, mereka
yang melihat terorisme sebagai sebuah kemungkaran yang harus diberantas.
Maka, memberantas kemungkaran adalah bagian dari ajaran amar makruf nahi
mungkar.
Para ulama yang masuk kategori pertama ini,
mereka giat melakukan penyuluhan dan pencerahan dengan menunjukkan kepada
umat bahwa perilaku radikal itu adalah sebuah kemungkaran dan menasihati agar
mereka tidak melakukannya. Dan itulah tugas ulama dalam menjalankan amar
makruf nahi mungkar.
Seperti kata para ulama semisal Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
Majmu al-Fatawa, dan Prof Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushul
al-Da’wah bahwa ketika ada pihak pemerintah, maka tugas ulama dalam
menegakkan amar makruf nahi mungkar itu hanya terbatas dalam dua level saja,
yaitu memberitahukan dan menasihati.
Adapun level-level selanjutnya seperti
menangkap, menahan, menendang, memukul, menghukum, bahkan memerangi teroris,
hal itu merupakan wilayah penuh pemerintah. Ulama tidak diperkenankan
melakukan langkah-langkah seperti itu.
Kategori kedua, para ulama yang masih memiliki
trauma tentang fenomena anarkisme, radikalisme, dan terorisme belakangan ini.
Trauma dini disebabkan oleh peristiwa masa lalu yang sampai sekarang masih
dipertanyakan kebenarannya. Sebut saja, misalnya, kemunculan gerakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Komado Jihad, diproklamirkannya
negara Islam di Lampung, dan lain-lain.
Kejadian-kejadian itu sampai hari ini tidak
jelas siapa yang melakukan dan apa motivasinya. Para ulama mempertanyakan hal
itu karena mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti paham Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Sementara dalam ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak dikenal adanya
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, pelengseran presiden,
impeachment, dan lain sebagainya sepanjang kepala negara atau presiden itu
masih mau menjalankan shalat bersama umat dan tidak menjalankan perbuatan
kekafiran yang nyata (kufrun bawwah).
Maka, ketika perilaku-perilaku anarkisme,
radikalisme, dan terorisme yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu itu
dikaitkan dengan Islam di Indonesia, maka di situlah timbul pertanyaan,
apakah perilaku itu memang lahir dari lubuk hati umat Islam atau memang ada
yang merekayasa untuk kepentingan tertentu? Ulama yang masuk kategori kedua
itu akhirnya tidak dapat berpartisipasi secara maksimal dalam menanggulangi
terorisme khususnya di Indonesia.
Karenanya, agar para ulama dapat memainkan
perannya yang lebih maksimal dalam menanggulangi terorisme, maka mereka perlu
segera disembuhkan dari trauma-trauma itu. Di sisi lain, kita juga tidak
boleh menambah trauma lagi, misalnya, dengan mengaitkan terorisme itu dengan
agama tertentu bahkan dengan lembaga pendidikan tertentu seperti pesantren.
Terorisme adalah sebuah kriminalitas yang
tidak memiliki agama dan kebangsaan. Terorisme dapat datang dari siapa saja
dan dari mana saja. Karenanya, mengaitkan terorisme dengan agama tertentu dan
atau lembaga pendidikan tertentu justru akan menambah masalah dan tidak
menyelesaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar