Sulitnya
Mendapatkan Kepastian Hukum
Asril Sutan Marajo ; Ketua Jogja
Police Watch (JPW)
|
SUARA
MERDEKA, 25 Maret 2015
PUTUSAN hakim Sapin Rizaldi menyangkut
praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan pada Febuari lalu itu
mengakibatkan apa yang disebut Efek
Sarpin (Sarpin Effect). Sejak itu
pula beberapa tersangka kasus korupsi mengajukan gugatan peradilan, yang kemudian
menyebabkan kekhawatiran di masyarakat dan pegiat antikorupsi terhadap
pelemahan upaya pemberantasan korupsi.
Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP menyebutkan, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri (PN) untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Selain
itu, untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah dijalankan
penegak hukum di Indonesia.
Praperadilan memiliki wewenang memeriksa dan
memutus perkara tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau
penahanan. Upaya ini bisa dilakukan atas permintaan tersangka/keluarganya
atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan. Selain
itu, memeriksa dan memutus perkara tentang sah atau tidaknya penghentian
penyidikan/ penuntutan. Upaya ini bisa dilakukan atas permintaan yang berkepentingan
demi tegaknya hukum dan keadilan.
Menyangkut hal apa saja yang bisa dimintakan
praperadilan, secara limitatif sudah diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88
KUHAP. Namun ada hal lain yang bisa diajukan, yaitu tentang tuntutan ganti
kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP.
Termasuk penahanan tanpa alasan atau penahanan lebih lama dari pidana yang
dijatuhkan (penjelasan Pasal 95 Ayat 1 KUHAP).
Bukan Kewenangannya
Sebenarnya,sebelum putusan Sarpin yang
kontroversial itu, ada beberapa putusan praperadilan yang bukan
kewenangannya. Hanya kasus itu tidak muncul ke permukaan dan tidak
menimbulkan heboh. Misalnya putusan PN Kupang NTT nomor
01/Pid.Pra/2012/PN.KPG yang memenangkan gugatan praperadilan tersangka
penyelundupan pakaian bekas tanpa dokumen dari Timor Leste menuju Flores
Indonesia, tahun 2012, dan putusan PN Sumbawa Besar (NTB) dalam perkara
praperadilan nomor 01/Pid.Pra/2011/PN.SBB.
Contoh putusan yang juga kontroversial
dilakukan hakim PN Jakarta Pusat, Supraja, melalui putusan nomor
04/Pid.Prap/2010/PN.Jkt.Pst tanggal 2 November 2010, yang mengabulkan
permohonan praperadilan yang diajukan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Bengkulu, Muspani.
Dalam putusannya, Supraja, selaku hakim
tunggal, memerintah kejaksaan segera melimpahkan perkara atas nama tersangka
Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin. Hakim itu juga memerintah KPK
menggunakan peran supervisinya untuk mengambil alih perkara bila kejaksaan
tak kunjung melimpahkan perkara, terkait kasus penyimpangan anggaran Rp 39
miliar yang disangkakan kepada Agusrin sejak 2006 itu.
Dalam konteks penegakan hukum, putusan hakim
Supraja tergolong ”unik” karena materi yang dimintakan praperadilan di luar
dari substansi Pasal 77 KUHAP, yakni keberlarut-larutan penanganan perkara
bukan termasuk objek praperadilan.
Namun beberapa pengamat berpendapat, putusan itu bisa menjadi
terobosan demi kepastian hukum sesuai hukum progresif Prof Satjipto Rahardjo.
Apalagi putusan itu dilaksanakan oleh
Kejagung.
Tidak banyak komentar yang berarti atas
putusan Supraja, bahkan karier hakim itu menanjak. Sayang, putusan hakim itu
tidak menjadi yurisprudensi dalam penegakan hukum. Publik bisa melihatnya
pada langkah PWI Cabang Yogyakarta dan Jogja Police Watch (JPW) menggugat praperadilan
atas upaya Polri yang tidak signifikan mengungkap tewasnya wartawan Bernas,
Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin selama 18 tahun. Gugatan yang diajukan berturut-turut
tahun 2013 dan 2014 dinyatakan nee bis
in ideem oleh PN Sleman.
Sudah banyak pihak mendesak MA, sebagai
institusi yang membawahi peradilan, untuk segera bersikap. Paling tidak
menyangkut yurisprudensi berkait putusan hakim Sarpin dan Supraja. Putusan
Sarpin telah dimentahkan oleh putusan hakim PN Purwokerto, Kristanto Sahat
(SM, 11/3/15), dan putusan praperadilan PN Sleman yang tak sejalan dengan
putusan hakim Supraja. Padahal yurisprudensi bisa menjadi salah satu sumber hukum ketika tidak ada
sumber lain (seperti UU) yang mengatur.
Dalam memutus suatu perkara, hakim dianggap
sebagai orang yang tahu hukum (ius
curia novit) sehingga tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan
alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Persoalan muncul ketika hakim
tidak menemukan dasar putusannya itu dalam undang-undang, atau undang-undang
mengaturnya secara tekstual namun penerapannya oleh hakim tersebut
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Pasal 28 Ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang diperbarui
dengan UU Nomor 38 Tahun 2009 memberi peluang kepada hakim untuk menemukan
hukum sendiri melalui ijtihad. Hasil ijtihad dalam wujud putusan ini akan
dinilai oleh MA, dan semestinya jadi rujukan bagi hakim lain yang mengadili
perkara serupa (yurisprudensi). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar