Dana Penelitian Universitas
Conrad William Watson ;
Profesor
pada School of Business and Management ITB; Emeritus Profesor pada School of
Anthropology, University of Kent, UK
|
KOMPAS,
30 Maret 2015
Hampir semua orang yang berkiprah di perguruan
tinggi di Indonesia dan mereka yang prihatin pada perkembangan yang terjadi
belakangan ini akan sependapat bahwa salah satu halangan besar kemajuan
pendidikan tinggi di Indonesia adalah kurangnya otonomi perguruan tinggi.
Penjelasan rinci mengenai kepincangan dan
kelumpuhan dalam kinerja universitas sekarang diterangkan dengan detail dalam
buku Sulistyo Irawati (Ed) terbitan
Yayasan Obor (2014) yang satu demi satu memperlihatkan bagaimana dalam
pengelolaan keuangan, perancangan, dan terutama sistem pengajaran dan
penelitian, campur tangan Mendiknas dalam urusan universitas menyebabkan ketertinggalan pendidikan
tinggi di Indonesia. Usaha menguasai dan menentukan arah perkembangan pendidikan
tinggi dari pusat yang ditujukan untuk meningkatkan mutu supaya setaraf
dengan perguruan tinggi (PT) di negara tetangga bukan saja tidak berhasil,
melainkan malah melahirkan keadaan lebih parah lagi.
Sistem pengajaran yang dipaksakan atas PT
sudah sering jadi sorotan di forum diskusi dosen-dosen dan mudah-mudahan akan
menjadi hal yang dititikberatkan oleh Forum Rektor dalam perundingannya
dengan Menteri Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, satu hal lagi yang selalu
menjadi titik perhatian-dan tampaknya memusingkan kepala para pengelola PT di
Indonesia yang jarang dapat penguraian tuntas-ialah masalah kurangnya
penelitian berbobot di kalangan orang akademik.
Perhatikan bahwa yang disebut ialah penelitian
yang berbobot, bukan kurangnya penelitian. Ketakpandaian Dikti membedakan
antara kedua-duanya sedang membawa akibat yang berbahaya pada pengajaran di
PT kini. Sebabnya begini. Mahasiswa, terutama di tingkat S-2 dan S-3, dipaksa
menulis artikel untuk diterbitkan di majalah ilmiah sebagai syarat lulus dan
dapat predikat tinggi. Tuntutan ini sangat tidak masuk akal dan, di mata
orang yang mengetahui proses penerbitan artikel di majalah ilmiah, menjadi
bahan olok-olokan sebagaimana diterangkan Franz Magnis-Suseno dalam artikel
di Kompas dua tahun lalu dan juga sebagaimana disoroti buku Sulistyo tadi.
Sebagai gambaran bahwa betapa aneh tuntutan Dikti itu: hampir tidak ada
mahasiswa S-1 dan S-2 yang menulis artikel ilmiah di Inggris, bahkan
mahasiswa S-3 pun jarang menulis artikel sebelum mereka mencapai gelar PhD.
Demi menyelamatkan mahasiswa Indonesia dari
pusing kepala dan keputusasaan akibat terjebak ke dalam lingkaran setan
ciptaan Dikti itu, sebaiknya dengan serta-merta tuntutan ini dihapuskan dan
Dikti mengumumkan bahwa penganjuran menulis artikel sebagai syarat lulusan
atau syarat lulusan dengan predikat cum laude langsung ditarik kembali.
Namun, masalah kurangnya penelitian yang
berbobot tetap ada dan kita harus memikirkan bagaimana mengambil langkah
seperlunya untuk mengatasinya. Di bawah ini saya mau menerangkan sistem yang
dipakai di Inggris untuk mendukung penelitian yang bermutu tinggi. Tentu
bukan karena saya menganggap sistem Inggris paling baik atau sistem itu dapat
langsung diterapkan di Indonesia, tetapi karena itulah sistem yang saya kenal
dengan baik dan, setidak-tidaknya, sistem Inggris cukup lumayan dan dapat
digunakan sebagai model perbandingan dalam mempertimbangkan sistem Indonesia.
Sistem di Inggris
Di Inggris terdapat peruntukan uang penelitian
yang langsung dijatahkan ke universitas negeri oleh pemerintah dalam bentuk
yang disebut block grant. Jumlah uang
penelitian ini selalu berbeda dari satu universitas ke satu universitas serta
dibagi dan dihitung sesuai dengan
prestasi penelitian tiap jurusan di dalam universitas dalam periode sebelumnya,
sebagaimana diukur dalam kerangka penelitian resmi (RFE namanya). Namun,
lebih penting sebagai dana ini adalah dana yang disalurkan dari pemerintah ke
dewan-dewan penelitian tertentu, seperti Medical
Research Council (MRC), Science
Research Council (SRC), Arts and
Humanities Research Board (AHRB), dan Economic
and Social Research Council (ESRC), British
Academy. Pembagian uang pada usaha penelitian kira-kira serupa untuk
semua dewan ini, tetapi oleh karena saya seorang antropolog yang banyak
berhubungan dengan ESRC, dewan itulah yang kerjanya akan saya terangkan.
Pertama, perlu diterangkan bahwa selain dari
pejabat tetap, direktur, sekretaris, dan karyawan administrasi, semua orang
akademik yang bekerja untuk ESRC ialah sukarelawan yang diminta membantu
dalam proses memilih penelitian yang bermutu. Mereka dengan senang hati
menerima tawaran untuk duduk di panitia-panitia ESRC untuk jangka waktu lima
tahunan karena mereka (dan universitasnya) menganggap tawaran itu sebagai
satu kehormatan besar. Panitia-panitia itu terbentuk menurut ilmu-ilmu
sehingga ada panitia ekonomi, panitia sosiologi, panitia antropologi, panitia
kependudukan, dan sebagainya.
Tiap panitia bekerja menentukan pembagian
dana. Pertama, untuk beasiswa calon S-2 dan S-3 yang melamar ke panitia
tersebut. Tentu saja jumlah beasiswa ini sangat terbatas dan hanya dibagi
kepada mahasiswa yang betul-betul gemilang prestasinya dan potensinya. Kedua,
untuk dosen atau kelompok dosen yang mengajukan proposal tertentu yang lahir
dari keinginan mereka menyelidiki sesuatu dalam bidangnya. Biasanya, besarnya
dana tiap satu penelitian terbatas berkisar 5.000-200.000 poundsterling.
Jumlah uang yang tersedia untuk peruntukan ini juga terbatas. Dalam hal ini,
ESRC menerima kurang dari yang diterima SRC dan MRC untuk keperluan ini
karena orang cukup sadar bahwa peralatan yang dipakai untuk penelitian di dua
dewan terakhir itu sangat mahal.
Kemungkinan untuk memperoleh dana penelitian
ini sangat tipis karena persaingan mendapatkannya sangat ketat. Dosen dari
semua universitas didorong oleh PT mereka untuk melamar. Untuk memperbesar
kemungkinan lamaran dinilai sangat tinggi oleh panitia yang bersangkutan,
yang akan mempertimbangkan lamaran,
semua universitas memiliki lembaga tersendiri untuk membantu dosen dalam cara
menulis proposal, menghitung dengan saksama biayanya. Biaya yang dimaksud
sudah termasuk biaya pengganti mereka mengerjakan tugas dosen yang
bersangkutan kalau dia berhasil mendapat dana dan terpaksa absen dari
universitas selama dia mengadakan penelitian dan/atau membiayai overhead (yaitu biaya kalau dalam
usaha penelitian, dia menggunakan fasilitas universitas dan menyusunnya
sedemikian rupa untuk memberi kemungkinan besar bahwa lamaran proposal
diterima dan dipertimbangkan).
Akan tetapi, karena tiap universitas berbuat
begitu, tetap susah kita sebagai pelamar mendapat dana karena 90 persen dari
semua lamaran dinilai sangat baik (A atau A*). Jadi, sudah dari tingkat awal
proposal sudah terjaga mutunya. Bukan saja dari inti proposal sendiri, melainkan
dipandang juga dari segi rekam jejak orang yang melamar-berapa banyak artikel
dan buku sudah terbit-dan mungkin tidak bahwa hasil penelitian akan segera
terbit sesudah penelitian selesai.
Perlu diketahui juga bahwa sebelum panitia
memberi keputusan apakah satu proposal diberi dana atau ditolak, proposal
tersebut dikirim ke dua referee,
penimbang, untuk menilai betapa bagus proposal. Kedua referee ialah orang yang ahli dalam bidang yang mau diselidiki
oleh pelamar dan mereka juga bekerja secara sukarela dan tidak dibayar. Baru
sesudah menerima laporan dari kedua referee, panitia mengambil keputusan.
Semua pelamar, termasuk yang tidak berhasil, diberi kopi dari penilaian referee walaupun mereka tidak diberi
tahu nama dari referee.
Bukti kuat
Jenis dana ketiga yang dikelola ESRC ialah
dana yang bersangkutan dengan proyek yang besar, yaitu salah satu dari empat
lima tema yang diutamakan oleh ESRC yang akan berjalan selama lima tahun.
Tema ini berkaitan erat dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah
dalam menghadapi perkembangan kesejahteraan untuk rakyat secara langsung dan
hasil penelitian diharapkan akan menjadi bukti kuat yang akan mendasari
kebijakan pemerintah di kemudian hari.
Tema ini misalnya ialah kemiskinan yang
dialami kelas bawah yang tinggal di daerah perkotaan, dampak pemanasan dunia
pada pertanian, masalah pengangguran di kalangan orang pemuda, dan
sebagainya. Tema semacam itu dibiayai sangat tinggi sampai 2-3 juta
poundsterling Inggris.
Biasanya untuk mendapat sebagian dari dana
ini, yang melamar bukan perseorangan, melainkan satu tim yang terdiri atas
beberapa jenis spesialis: ekonom, sosiolog, ahli ilmu bumi, perkotaan, dan
lain-lain. Dan belum tentu mereka semua berasal dari universitas yang sama.
Mereka bersama-sama, demi memenuhi hasrat menyelidiki satu permasalahan,
bersedia bekerja sama dalam satu tim di mana masing-masing menyumbang
keahliannya. Sekali lagi, proses mempertimbangkan proposal sama: dikirim
kepada referee (cuma, untuk proyek besar seperti ini dikirim bukan kepada dua
orang saja, melainkan kepada empat lima orang untuk mempertimbangkannya).
Demikian diharapkan bahwa keputusan penghabisan oleh panitia akan jadi
obyektif dan transparan.
Dengan sistem begini, pemerintah lewat ESRC
berhubungan langsung dengan para peneliti dan merangsang mereka memperdalam
ilmunya. Kadang-kadang dalam bidang yang seakan-akan tidak ada kaitan dengan
keperluan negara, misalnya kalau antropolog meneliti pemberdayaan perempuan
di salah satu negara di Afrika atau Asia-dan juga untuk mencari pemecahan
pada masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh pemerintah pada ketika itu.
Sudah terang bahwa sistem ini sangat berbeda
dengan apa yang kita saksikan di Indonesia sekarang dan mungkin tidak sesuai
sepenuhnya dengan keadaan PT di Indonesia ketika ini. Namun, apa salahnya
kalau kita menyelidiki kemungkinan bahwa adanya unsur-unsur dari sistem ini
yang dapat diterapkan dengan mudah dan segera di dunia penelitian di
Indonesia sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar