Hak
atas Air Pasca Putusan MK
Suhardi Suryadi ; Direktur
Program Prisma Resource Centre
|
KOMPAS,
24 Maret 2015
Pada
18 Februari 2015, Mahkamah Konstitusi membatalkan secara keseluruhan
pemberlakuan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Keputusan itu
memang tepat, tetapi terlambat. UU ini sejak awal proses penyusunannya telah
digugat oleh masyarakat sipil karena dinilai merugikan kehidupan masyarakat
secara sosial-ekonomi. Hal ini tidak lepas dari paradigma yang mendasari
substansi UU yang sarat dengan pendekatan pasar untuk pengelolaan sumber daya
air yang merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia.
Pemerintah
sebagai representasi negara, yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan
akses bagi publik, justru menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta yang
berpedoman mencari untung sebesar mungkin dengan memberi akses sumber daya
air kepada siapa pun yang "mampu" membayar. Dengan demikian,
orientasi dan efisiensi pengelolaan air bukan dimaksudkan untuk memberikan
subsidi bagi masyarakat miskin yang tak mampu membayar, melainkan semata demi
kepentingan meraih keuntungan sebanyak mungkin.
Penswastaan
Penswastaan
pengelolaan air (bersih) dimulai sejak era Orde Baru. Setidaknya ada tiga
perusahaan swasta asing mendapat konsesi mengelola air di sejumlah kota. Pada
1998, misalnya, PAM Jaya memberikan konsesi selama 25 tahun kepada Lyonnaise
dan Thames untuk mengelola air bersih di Jakarta, mulai dari pengoperasian,
pemeliharaan, hingga penetapan dan penarikan harga. Konsesi pengelolaan air
diberikan PDAM Kota Batam kepada Biwater dan PDAM Kota Sidoarjo kepada United
Water untuk hal yang sama.
Penswastaan
air bersih sebagaimana tertuang dalam UU No 7/2004 sebagian besar berkat
"campur tangan" Bank Dunia dalam reformasi sektor air, yang
bertujuan mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan dan
komersialisasi sumber daya air. Menurut Bank Dunia, dalam makalah berjudul
"Improving Water Resources Management" (1992), ketersediaan air
secara murah atau gratis sangat tidak ekonomis dan tidak efisien. Karena itu,
masyarakat harus membayar atas air yang digunakan. Selain itu, terutama warga
yang miskin butuh berbagai pilihan agar mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kemampuannya membayar.
Bank
Dunia menganggap sektor publik terlampau banyak memanfaatkan air bersih,
bahkan 40-50 persen dari air yang dialokasikan untuk sektor itu hilang karena
kebocoran dan pencurian. Hal ini dinilai membebani keuangan negara, sekaligus
mengurangi kemampuan pemerintah dalam memperluas pelayanan air bersih ke
wilayah kumuh dan pinggir perkotaan. Karena itu, pilihan untuk mengelola
sumber daya air secara efektif adalah menjadikan air sebagai komoditas
ekonomi dan harus dikelola swasta agar dapat mengembalikan biaya operasi,
memperbaiki pelayanan, dan meningkatkan akses air bersih kepada masyarakat
lebih luas.
Namun,
penswastaan pengelolaan air bersih di sejumlah negara justru mengalami
kemunduran. Laporan The Transnational Institute tahun 2010, misalnya,
memperlihatkan, 180 kota di 35 negara telah mengembalikan sistem pengelolaan
air bersih di bawah kontrol negara (baca: pemerintah). Bahkan, International Finance Corporation
(IFC) yang banyak membiayai program penswastaan air bersih mengakui, dari 85
program yang disusun pada 2007, hanya 22 di antaranya yang berjalan pada
2013. Bahkan, 63 program yang dibiayai IFC sendiri telah gagal dan sulit
berkembang secara ekonomis.
Pasca putusan MK
Meski
logikanya benar, penswastaan sumber daya air dalam praktik tampak tidak
berjalan efektif dan cenderung gagal. Hal itu disebabkan penentuan dan
penerapan serta kenaikan tarif air bersih selalu tak diimbangi kualitas dan
pelayanan yang lebih baik. Belum lagi hasil keuntungan digunakan bukan untuk
memperluas akses air bersih bagi warga miskin dan warga yang tinggal di
daerah kumuh dan pinggir kota.
Pasca
putusan MK, pemerintah dituntut untuk merumuskan kebijakan sumber daya air
yang tepat, terutama dalam memenuhi hak masyarakat atas air. Dewasa ini
diperkirakan 32,2 persen penduduk Indonesia belum punya akses air bersih.
Umumnya mereka mendapatkan air dari sungai yang terpolusi, air tanah yang
terkontaminasi, atau air yang dibeli dengan harga mahal dari pedagang air.
Air tak ubahnya minyak yang sulit diperoleh dan mahal. Sebagai contoh, harga
1 meter kubik air bersih di Jakarta sekitar Rp 14.500, termahal di tingkat
ASEAN.
Kebijakan
sumber daya air di masa depan harus memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan
hidup setiap warga, sebesar 20 liter air bersih per hari. Kebutuhan ini harus
dipenuhi secara murah dan mudah. Kualitas dan kuantitasnya juga harus
terjamin sekalipun dalam kondisi kemarau atau krisis air.
Hal
lain yang juga penting adalah penyediaan air untuk kepentingan umum, seperti
rumah sakit, rumah ibadah, MCK umum, dan tempat-tempat yang memiliki nilai
atau bersifat memperkuat hubungan sosial antar- warga. Setelah itu, baru air
dialokasikan untuk kepentingan pembangunan terkait dengan tujuan ekonomi,
misalnya pertanian, listrik, dan industri (World Water Council, 2006).
Tanpa
memprioritaskan dan mengutamakan hak warga-terutama warga miskin dan tinggal
di pinggiran-atas air dalam aturan perundangan tentang sumber daya air di
masa depan, janji Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan harus sepenuhnya
berorientasi pada manusia dan mendengar dari pinggiran hanya menjadi retorika
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar