Rekonsiliasi
Negara-Masyarakat Adat
Abdon Nababan ; Sekretaris
Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
|
KOMPAS,
25 Maret 2015
Pak
Nur, begitu M Jafar Nur sering dipanggil. Seperti masyarakat adat lainnya,
Pak Nur menggarap tanah leluhurnya untuk menghidupi keluarganya. Namun, pada
Oktober 2014, bencana datang menghampirinya.
Pengadilan
Negeri Palembang menjatuhinya hukuman penjara 2,6 tahun dan denda Rp 50 juta
rupiah. Ia dituduh merambah hutan di kawasan konservasi.
Bukan
hanya Pak Nur yang masuk penjara karena menggarap tanah leluhurnya. Lima
rekannya yang juga petani di Tungkal Ulu mengalami nasib sama. Pemerintah
menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam untuk memenjarakan masyarakat adat yang menggarap tanah leluhurnya
ataupun para petani biasa yang hidup dari bercocok tanam di sana.
Sebelumnya,
April 2014, Pengadilan Negeri Bintuhan, Bengkulu, juga menjatuhkan hukuman 3
tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar kepada empat orang masyarakat adat
Semende Banding Agung, Bengkulu. Seperti Pak Nur di Sumatera Selatan, empat
orang masyarakat adat Semende juga dituduh merusak hutan karena menggarap
tanah leluhurnya, menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(P3H).
Kriminalisasi adat
Kasus
kekerasan dan kriminalisasi masyarakat adat bukan hanya terjadi pada 2014.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mencatat sekurang-kurangnya 166 anggota masyarakat adat yang menjadi korban
kriminalisasi karena mengelola dan mempertahankan wilayah warisan leluhur
mereka.
Konflik
masyarakat adat dengan pemerintah di kawasan konservasi pada 2014 ini
menimbulkan pertanyaan bagi kita, benarkah masyarakat adat itu perusak hutan?
Penelitian
di sejumlah negara menyebutkan bahwa keberadaan masyarakat adat di kawasan
hutan justru membuat hutan terjaga kelestariannya. Hasil riset terbaru dari World Resources Institute dan Rights and
Resources Initiatives (2014) berjudul ”Securing
Rights, Combatting Climate Change” pada 14 negara berhutan di Amerika
Latin, Afrika, dan Asia menyimpulkan bahwa negara yang memberikan hak hukum
kepemilikan hutan kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal justru lebih
mampu mengendalikan deforestasi dibandingkan jika hutan milik negara.
Jika
keberadaan masyarakat adat di dalam hutan justru membuat hutan menjadi lebih
lestari, mengapa mereka disingkirkan?
Tata kelola buruk
Penyingkiran
masyarakat adat dari kawasan hutan terjadi karena buruknya tata kelola hutan
di negeri ini. Hal itu tecermin dari tumpang tindihnya perizinan di kawasan
hutan, baik untuk kawasan konservasi, perkebunan skala luas, maupun tambang.
Penelitian
Rights and Resources Initiative
yang berjudul ”Global Capital, Local
Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial
Concessions in Emerging Market Economies” mengungkapkan bahwa sedikitnya
56.102 ha lahan adat di Kalimantan tumpang tindih dengan konsesi perkebunan
kelapa sawit.
Mengapa
pengelolaan kehutanan di negeri ini begitu buruk? Kondisi ini tidak bisa
terlepas dari buruknya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. UU itu memasukkan
hutan adat ke dalam hutan negara. Akibatnya, pemerintah dengan seenaknya
menentukan kawasan hutan sebagai kawasan konservasi dan juga peruntukan
lainnya dengan menyingkirkan masyarakat adat yang sudah turun-temurun tinggal
dan menggantungkan hidup dari hutan.
Sebenarnya,
berbagai perubahan positif kebijakan nasional terkait masyarakat adat sudah
terjadi. Yang paling utama Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
35/PUU-X/2012. Stranas REDD+ mengakui hak-hak masyarakat adat serta kemudian
PB REDD+ dan Kementerian Kehutanan telah menjadi Wali Data pada wilayah adat
seluas 4,8 juta hektar untuk dimasukkan dalam One Map Policy. Di samping itu, Komnas HAM juga telah
menyelesaikan Inkuiri Nasional tentang Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kawasan
Hutan dan telah mengeluarkan rekomendasi awal untuk penanganan kasus-kasus.
Namun, di lapangan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus
berlanjut.
Meskipun
penyingkiran masyarakat adat terus berlanjut di sepanjang 2014, pemerintah
dan DPR tidak juga menaruh perhatian terhadap keberadaan masyarakat adat.
Buktinya, DPR periode 2009-2014 gagal mengesahkan Rancangan Undang Undang
(RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) menjadi UU.
Padahal,
RUU PPHMA jika disahkan menjadi UU akan menjadi payung hukum baru untuk
mengakui dan melindungi masyarakat adat. Tanpa adanya payung hukum setingkat
UU, kekerasan, kriminalisasi dan penyingkiran masyarakat adat berpotensi
terus terjadi. Seharusnya hal ini tidak terjadi jika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada saat itu bersikap tegas memastikan pengesahan RUU PPHMA.
Adat menderita
Sejak
Indonesia merdeka, masyarakat adat selalu menderita. Kini saatnya penderitaan
itu diakhiri. Sudah saatnya negara menggelar rekonsiliasi dengan masyarakat
adat. Ada dua hal yang menyebabkan rekonsiliasi itu menjadi relevan.
Pertama,
jika rekomendasi dari Inkuiri Nasional Komnas HAM diperhatikan dan
diimplementasikan pemerintah, hampir dipastikan penyingkiran dan segala
bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat bisa diminimalkan lalu
berhenti.
Kedua,
pelaksanaan komitmen Presiden Joko Widodo dalam kampanye Pemilihan Umum
Presiden (Pilpres) 2014 terkait masyarakat adat. Jokowi telah berkomitmen
memajukan hak- hak masyarakat adat jika ia terpilih menjadi presiden ke-7
Indonesia. Kini Jokowi sudah jadi Presiden. Masyarakat menunggu implementasi
komitmen itu.
Perlu minta maaf
Pertama,
Jokowi atas nama negara dengan kebesaran jiwa meminta maaf atas pengabaian
masyarakat adat selama hampir 70 tahun ini dan segala kesalahan negara dalam
memperlakukan masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
Presiden Jokowi atas nama negara meminta maaf atas segala bentuk
penyingkiran, marjinalisasi, pembunuhan, dan kriminalisasi masyarakat adat.
Kedua,
setelah meminta maaf, Presiden Jokowi perlu membebaskan masyarakat adat
korban kriminalisasi, baik dari penjara maupun yang kasusnya sedang berproses
di pengadilan, termasuk merehabilitasi warga masyarakat adat korban
kriminalisasi yang sudah menjalani hukuman. Mereka bukan penjahat, melainkan
pejuang mempertahankan wilayah adat dan mengelolanya untuk kesejahteraan
keluarganya.
Ketiga,
membentuk Satgas Presiden untuk Masyarakat Adat yang bertugas mengembangkan
kerangka kerja menuju pembentukan Lembaga Permanen yang Independen untuk
Masyarakat Adat, sesuai dengan Nawacita.
Rekonsiliasi
ini akan menjadi secercah harapan bagi sekitar 70 juta masyarakat adat di
negeri ini dan juga seluruh rakyat Indonesia untuk hidup lebih damai, adil,
sejahtera, dan berkelanjutan di masa depan. Bukan hanya di Indonesia,
rekonsiliasi negara dan masyarakat adat juga akan memberikan inspirasi bagi
negara-negara lain melakukan hal yang sama. Semoga Satgas Presiden yang sudah
lama dinanti ini segera hadir membuka jalan untuk rekonsiliasi yang tulus antara
negara dan masyarakat adat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar