George
Carlin dan Cognitive Dissonance
Azrul Ananda ; Dirut Jawa
Pos Koran
|
JAWA
POS, 25 Maret 2015
BINTANG
stand-up comedy favorit saya: George Carlin.
Istilah
marketing favorit saya: Cognitive
dissonance.
***
Saya
punya pengakuan. Ada dua cita-cita saya yang tidak tercapai.
Pertama,
bikin film komedi sebelum umur 30.
Kedua,
dan ini cita-cita saya sejak kuliah pada akhir 1990-an dulu: Jadi stand-up
comedian…
Selain
hobi nonton sitcom, saya sangat suka nonton stand-up comedy. Favorit saya ada
beberapa. Misalnya, Eddie Izzard, Richard Jeni, Jerry Seinfeld, dan Jeff
Foxworthy. Tapi, yang paling saya suka: George Carlin.
Yang
paling saya suka itu sudah meninggal karena serangan jantung pada 2008, pada
usia 71 tahun. Dia termasuk paling top dalam sejarah komedi Amerika, dan
masih tampil di panggung seminggu sebelum meninggal.
Kenapa
suka dia?
Mungkin
karena waktu itu (kuliah) saya sedang dalam fase pencarian jati diri.
Mempertanyakan segala hal tentang eksistensi saya, mulai keseharian sampai
agama.
Carlin
memang banyak bicara, bercanda, mengkritik, mempertanyakan, hal-hal yang
’’berat’’. Tapi, konteksnya tetap keseharian dan terus mengingatkan kita
untuk tetap simple dalam hidup, tetap konsisten dan konsekuen dalam ucapan
serta perbuatan.
Gaya
bercandanya banyak menggunakan kata-kata ’’kotor’’, dan pada 1970-an dia
termasuk berperan dalam penegasan regulasi pemakaian kata-kata ’’kotor’’ di
dunia broadcasting Amerika. Namun, poin-poinnya jelas.
Kenapa
tiba-tiba nulis soal George Carlin?
Pertama,
karena di Indonesia mungkin gak banyak yang tahu George Carlin, jadi saya
pengin sharing hehehehe…
Padahal,
Anda mungkin pernah mendengar suaranya. Bagi yang pernah nonton film animasi
Cars buatan Pixar/Disney, Carlin ikut mengisi suara di situ. Jadi suara
Fillmore, sebuah VW Microbus (Combi). Coba tonton lagi film itu, pelat nomor
Fillmore adalah tanggal lahir sang bintang komedi (51237).
Kedua,
alasan yang mungkin jauh lebih penting.
Belakangan,
saya mulai concern lagi dengan omongan-omongan yang berkaitan dengan politik
negeri kita ini. Menyesal memilih lah, atau menyesal-menyesal lain yang
berkaitan dengan pemilihan tahun lalu.
Ting!
Saya langsung ingat salah satu cuplikan penampilan Carlin.
Walau
punya semua DVD-nya, sekarang enak tinggal lihat lagi cuplikan itu di
YouTube.
Menonton
lagi, saya pun tertawa lagi. Padahal, cuplikan ini dari 1996, saat Carlin
tampil di kota kelahirannya, New York.
Semoga
ini tidak dianggap plagiat, tapi saya akan mengutip penuh cuplikan itu di
bawah ini. Beberapa kalimat saya modifikasi sedikit. Kata ’’Amerika’’ saya
ganti dengan ’’Indonesia’’. Yang penting arti dan maksudnya tetap sama.
’’Saya
banyak komplain, tapi saya tidak komplain tentang satu hal: Politikus.
Padahal, semua komplain soal politikus. Semua bilang politikus itu busuk.
Lho,
lalu orang kira para politikus itu datang dari mana? Mereka tidak jatuh dari
langit. Mereka tidak datang dari dimensi lain. Mereka datang dari orang tua
Indonesia dan keluarga Indonesia. Mereka besar di rumah Indonesia, sekolah
Indonesia, tempat ibadah Indonesia, dan mereka dipilih oleh warga negara
Indonesia.
Mereka
(politikus) adalah yang terbaik yang bisa kita hasilkan. Merekalah yang
dihasilkan oleh sistem yang kita miliki. Garbage in,garbage out (sampah yang
masuk, sampah yang keluar).
Kalau
masyarakatnya mementingkan diri sendiri, maka pemimpinnya pun akan
mementingkan diri sendiri.
Jadi
mungkin, bukan politikus yang busuk. Mungkin ada yang lain yang busuk,
seperti masyarakat…’’
Lebih
lanjut, Carlin bilang, kalau kita ikut memilih, kita pun tidak boleh
komplain.
’’Kalau
Anda memilih, dan Anda memilih politikus yang tidak mampu dan tidak jujur,
lalu mereka mendapatkan jabatan dan merusak segalanya, maka Anda-lah yang
bertanggung jawab atas segala hal yang mereka lakukan. Anda yang memilih
mereka, Anda-lah penyebab segala masalahnya. Jadi, Anda tidak punya hak untuk
komplain…’’
Hehehe…
Selera komedi saya waktu kuliah cukup berat, ya?
Tapi,
semoga pembaca ikut merasakan betapa ’’berisi’’-nya omongan Carlin tersebut.
Setelah
membaca itu, berarti kita tidak boleh komplain dong? Nah, ini yang berat.
Kuliah
di jurusan marketing, istilah favorit saya dari mata kuliah Buyer Behavior
adalah ’’cognitive dissonance’’.
Definisinya
bisa panjang kalau ngikut ilmu psikologis. Intinya, cognitive dissonance itu
semacam ’’penyesalan’’ setelah kita membeli atau melakukan sesuatu.
Kenapa
diajarkan di marketing? Supaya ketika menawarkan produk kita bisa
menyampaikan hal-hal khusus yang kelak bisa meminimalkan terjadinya cognitive
dissonance setelah transaksi dilakukan.
Naaah,
kayaknya lagi banyak orang Indonesia yang sedang cognitive dissonance
gara-gara pemilihan tahun lalu…
Lalu,
kita harus bagaimana dong?
Wkwkwkwkwkwkwkwkwkkk….
Terserah!
Kalau
positif, ya harus merelakan. Yang terjadi terjadilah. Terus mengawal supaya
kalau sampai ’’kejadian’’, buruknya atau efek buruknya tidak berlebihan atau
berkepanjangan.
Sambil
menunggu kesempatan memilih lagi, ya mungkin kita memulai dari diri sendiri
dengan yang kecil-kecil, ya?
Seperti
kata Carlin, kalau kita malas, kelak kita akan menghasilkan yang malas juga
kan? Kalau kita ngomelan, ya kelak kita hanya menghasilkan ngomelan-ngomelan
juga.
Semoga
kelak kita semua jadi lebih pintar, supaya kelak kita semua jadi lebih pintar
memilih, dan kelak kita semua memilih orang-orang yang benar-benar pintar.
Semoga…
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar