Hati
Nurani
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 22 Maret 2015
Di
Youtube pernah saya temukan video yang sangat mengerikan tentang sederetan
tawanan yang dijejerkan oleh tentara ISIS. Masing-masing dijaga oleh seorang
tentara ISIS yang siap dengan pisau masing-masing. Tentara ISIS itu tidak
bertopeng, sehingga tampak jelas wajah mereka yang rata-rata berjenggot.
Setelah terdengar suara pidato yang saya tidak mengerti apa maksudnya (dalam
bahasa Arab), para tawanan itu serempak dipaksa tengkurap, rambut ditarik,
sehingga kepala mendongak ke atas, pisau ditempelkan dan sekejap kemudian
kepala-kepala sudah terlepas dari tubuh masing-masing.
Saya
melihat adegan itu dengan kedua tangan saya menutupi mata, tetapi sesekali
jari direnggangkan untuk bisa mengintip. Kejam sekali. Tahukah mereka bahwa
Islam adalah agama damai, bukan agama sadis? Punya hati nuranikah mereka?
Lalu orang pada umumnya menjawab, ”Tidak, orang-orang ISIS ini tidak punya
hati nurani.”
Tetapi
pada kesempatan lain, saya mendapat kiriman video melalui WhatsApp tentang
kamp latihan ISIS untuk anak-anak. Sejumlah anakanak dipakaikan baju dan ikat
kepala hitam-hitam, dilatih bela diri dan menembak, setelah itu mereka
terlihat bersama-sama sedang duduk, masing-masing menghadapi sebuah kitab
Alquran, dan mereka bersamasama membaca kitab suci itu sambil bergoyang ke
kanan dan ke kiri.
Terlihat
senjata-senjata mereka dijejerkan di belakang mereka. Tidak mengherankan
kalau anak-anak seperti ini nantinya akan tega saja menyembelih manusia
seperti kita menyembelih kambing kurban. Terus, ke mana hati nurani itu?
Di
Youtube saya juga menemukan suatu adegan perdebatan antara seorang pejalan
kaki yang berjalan di trotoar (kaki lima), dengan seorang pengendara sepeda
motor yang mengendarai sepeda motornya di atas trotoar itu juga, tetapi
melawan arus. Tampaknya pejalan kaki (PK) sudah kesal sekali terhadap
pengendara motor (PM), sehingga dia menyetop salah satu pengendara motor yang
ugal-ugalan itu dan mereka pun berdebat.
Kutipan
dari dialog mereka, seingat saya, adalah sebagai berikut: PK: Mau ke mana lo
? PM: Mau ke situ. PK: Kenapa lewat sini? PM: Maksud lo ? PK: Lo tahu gak ,
pejalan kaki jalannya di mana? PM: Di trotoar PK: Nah, terus lo naik motor di
mana? PM: Di trotoar.
PK:
Terus, yang jalan kaki mau lo suruh jalan di mana? PM: Awas dong, gua mau
lewat! PK: Lo lewat sana (sambil menunjuk ke arah belakang pengendara motor),
balik! PM: Enggak, gua cuma mau ke situ doang , dekat. PK: Enggak bisa!
Balik! Lo tahu gak jalannya motor? PM: Enggak apa-apa, gua udah biasa kok ,
lewat sini. PK: Enggak bisa! Balik!
Pengendara
mencoba melewati pejalan kaki, tetapi pejalan kaki dengan gigih menghadang
sehingga pengendara motor tidak bisa lewat. Tetapi akhirnya seorang lain yang
kebetulan melintas mendekati mereka berdua, berbicara dengan pejalan kaki
(mungkin menanyakan, ”Ada apa ini?”) dan kesempatan itu digunakan oleh
pengendara motor untuk melarikan diri, tetap dengan melawan arus.
Mengendarai
sepeda motor melawan arus sudah menjadi kebiasaan di Jakarta. Demikianlah
pengakuan pejalan kaki tersebut. Pengakuan spontan yang tidak mengada-ada,
karena di jam-jam tertentu rombongan sepeda motor memang bagaikan air bah
menutup jalur yang berlawanan. Bukti bahwa menyerobot jalan adalah kebiasaan.
Akibatnya tentu saja kemacetan total. Pertanyaannya, ke mana hati nurani?
Orang
sering sekali menggunakan istilah hati nurani. Akhir-akhir ini istilah itu
makin sering dilakukan oleh para pelaku atau pengamat politik. Kalau ada
perselisihan, selalu diajukan agar kedua pihak duduk bersama dan menggunakan
hati nurani masing-masing, pasti akan ada jalan keluar yang damai sejahtera,
aman sentosa.
Seakanakan
hati nurani adalah pemberian Tuhan yang sudah dibawa oleh setiap manusia
sejak lahir sehingga hati nurani itu pasti versi orisinalnya seragam. Dengan
begitu, ketika kita duduk bersama, membersihkan diri dari emosi atau
kepentingan pribadi atau golongan, hati nurani yang orisinal bisa mencuat
lagi dan itulah yang membuat para pihak yang berbeda pendapat bisa mencari
titik temu.
Tetapi
dalam kenyataannya, hampir tidak pernah terjadi kesepakatan berdasarkan
seperti itu. Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, sudah diperdebatkan
panjang lebar di DPR. Sehingga, mestinya, kalau hati nurani itu yang bermain,
masalahnya akan dengan cepat rampung. Kenyataannya, kasus Bank Century
diakhiri dengan voting. Jadi
terbuktilah bahwa hati nurani itu tidak seragam, sehingga perlu divoting.
Di
dalam psikologi, tidak ada istilah hati nurani. Yang ada adalah kebiasaan.
Kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak, itulah yang
akan terbawa terus sampai dewasa. Sigmun Freud menyebutnya sebagai super ego
, yang akan mengarahkan perilaku individu sesuai dengan jalan yang benar dan
menghindari yang tidak baik sesuai dengan anjuran atau didikan orang tua.
Tetapi
kalau yang menanamkan kebiasaan itu bukan orang tua, melainkan ISIS, maka
memenggal kepala orang dikategorikan baik oleh hati nurani. Demikian pula
jika semua pengendara motor melawan arus, maka naik kendaraan dengan melawan
arus dianggap biasa.
Maka,
di sinilah diperlukan hukum, yang obyektif dan netral dan harus ditaati oleh
semua orang, terlepas dari hati nurani masing-masing. Tetapi karena penegak
hukum juga manusia, maka diciptakanlah sistem elektronik (e-government dll), sehingga mesin dan
sistemlah yang menjalankan hukum itu, bukan hati nurani.
Tentu
ujung-ujungnya yang mengelola sistem-sistem elektronik itu manusia juga,
tetapi makin sedikit jumlah manusianya, makin kecil pula kemungkinan
kesalahan. Apalagi kejahatan yang disengaja seperti korupsi atau manipulasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar