Kamis, 26 Maret 2015

Negeri Jiran dan Hukum Potong Tangan

Negeri Jiran dan Hukum Potong Tangan

Muhammadun  ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

KEGIGIHAN PAS (Partai Islam Se-Malaysia) mengusulkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) hudud di parlemen telah memantik kegusaran kawan koalisinya di Pakatan Rakyat, yaitu Democratic Action Party (DAP) dan Partai Keadilan Rakyat (PKR). Dengan lugas DAP menegaskan bahwa hudud tidak bisa diberlakukan di Malaysia karena bertentangan dengan konstitusi. Menariknya, sebagian anggota parlemen PKR, seperti Zuraida Kamaruddin, mendukung hukum tersebut. Sejauh ini Anwar Ibrahim sebagai motor pakatan lebih irit berkomentar. Sebab, dalam konvensi Pakatan Rakyat di Shah Alam, gabungan partai PKR, DAP, dan PAS tidak memasukkan isu negara Islam dalam kesepakatan, namun negara kebajikan (kesejahteraan).

Tentu saja, sebagai penggerak Barisan Nasional (BN), UMNO (United Malays National Organization) berada dalam kedudukan yang terjepit. Sebagai partai yang dihuni Melayu muslim dan berdasar ”Islam” serta identitas etnis, tantangan itu tentu perlu jawaban lugas. Alih-alih bisa menyatakan sikap dengan tegas, UMNO justru menghadapi tekanan koalisinya di BN. Melalui Wakil Presiden MCA (Malaysian Chinese Association) Wee Ka Siong, sekutu terbesar UMNO tersebut menegaskan bahwa partainya akan menimbang kembali koalisinya kalau UMNO mendukung RUU hudud yang diusulkan PAS Kelantan. Tak pelak, Khairi Jamaluddin dan Razali Ibrahim, dua politikus muda UMNO, meminta MCA tidak terburu-buru menyatakan penolakan.
                 
Substansi Isu

Sebenarnya, keputusan hudud sebagai undang-undang telah diambil Pemerintah Provinsi Kelantan dengan penetapan Kanun Jenayah Syari’ah (II) pada 1993. Meskipun pada waktu itu tidak mendapat persetujuan dari pemerintah pusat di bawah Mahathir Mohamad, akhir-akhir ini Najib Abdul Razak seakan-akan memberi angin. Melalui bawahannya, Jamil Khir Baharom, pemerintah pusat akan memberikan jalan bagi pemerintah negara bagian mana pun, termasuk Kelantan, untuk melaksanakan hudud. Tak ayal, Wee Ka Siong menempelak sikap tersebut dengan menegaskan bahwa menteri yang mengurusi ihwal agama itu tidak mewakili BN, tetapi UMNO. Jelas, sebagai partai terbesar di koalisi, UMNO tak berkutik.

Mengapa MCA begitu berdegil untuk menolak hudud, bahkan sayap wanita MCA melaporkan kepada polisi bahwa hudud akan merusak keharmonian hubungan antaretnis? Seperti dinyatakan di atas, alasan konstitusional mengemuka. Negara Malaysia dibentuk atas dasar konstitusi Reid dan Cobbold. Bukan hanya itu, kemajemukan perlu ditimbang mengingat undang-undang dasar menyatakan kesetaraan warga di depan hukum. Betapa pun Enakmen Syari’ah yang diluluskan Kelantan 56 (2) menegaskan bahwa hukum hudud bisa dipilih bukan Islam secara bebas, kekhawatiran bukan Islam terhadap hukum potong tangan pada pencuri tetap menyeruak ke permukaan.

Sementara bagi Mohd. Amar, wakil gubernur Kelantan, usulan itu didorong kehendak untuk menjadikan Undang-Undang Jinayah (Pidana) Islam bisa dimasukkan sebagai bagian dari undang-undang negara. Sementara tokoh kritis muslim seperti Mohammad Asri melihat lebih jauh bahwa hukum itu mesti adil pada semua. Tentu saja, hukum ini tidak secara serta-merta bisa dilaksanakan tanpa wujudnya kesejahteraan umat. Justru, keutamaan yang perlu diberi perhatian adalah pengelolaan zakat yang mencecah 3 triliunan rupiah untuk menyejahterakan masyarakat. Kemakmuran yang diraih memungkinkan hukuman bisa dilaksanakan secara adil.

Politik Jati Diri

PAS tentu berkepentingan dengan pemberlakuan hudud. Alasannya lugas bahwa hukum tersebut adalah perintah Tuhan yang dinyatakan dalam Alquran secara mutlak (qath’i). Keyakinan itu sebenarnya tidak hanya dipegang pendukung PAS, tetapi juga hampir mayoritas muslim negeri jiran. Bahkan, Syed Husin Ali, dalam akun Twitter-nya, sempat menempelak Dyana Sofya, orang Melayu yang bergiat di DAP, karena menolak hudud. Bagi Husin Ali, aktivis Partai Sosialis Malaysia, menerima hukum Tuhan itu wajib. Menariknya, pegiat partai yang acap kali diidentikkan dengan ide Marxisme juga mendukung hukum hudud.

Sejatinya, di atas kertas, RUU hudud bisa diloloskan untuk dijadikan UU apabila suara UMNO (81 kursi) dan PAS (21 kursi) solid serta dua partai politik tersebut hanya memerlukan empat dukungan dari 16 wakil muslim dari PKR dan partai lain untuk memungkinkan pembahasan pengesahan. Dengan dukungan dari Tan Sri Muhyidin Yasin, wakil perdana menteri, terhadap gagasan formalisasi syariah, ide ini bergulir makin kencang. Malah, dulu orang nomor dua dalam pemerintahan Najib tersebut menyarankan pembentukan tim teknis ketika menemui politikus gaek PAS Nik Abdul Aziz Nik Mat. Sepertinya, kemenangan tampak di depan mata.

Hakikatnya, tuntutan hudud bukan hanya merupakan pemenuhan panggilan kitab suci, tetapi juga politik identitas. Sebagaimana negara majemuk, Malaysia mengandaikan tiga kekuatan utama, yaitu Melayu-Islam, Tionghoa-Buddha, dan India-Hindu. Bukan hanya agama, ekspresi kebudayaan dan bahasa ketiganya juga sangat berbeda. Tak ayal, bahasa Malaysia yang semestinya dijadikan bahasa bersama masih dipersepsikan sebagai bahasa orang Melayu. Demikian pula, terkait agama, termasuk kewajibannya, orang Melayu menganggapnya sebagai identitas yang melekat sehingga Melayu dan Islam seperti sekeping mata uang logam.

Hanya, UMNO tak bisa memaksakan hudud mengingat rekan koalisinya, MCA dan MIC, akan keluar dari BN. Demikian pula PAS yang berusaha memuluskan rencana seraya meminta komponen koalisinya, PKR dan DAP, menerima kenyataan bahwa hudud itu hukum agama dan hanya untuk muslim. Betapa pun PAS mencoba meyakinkan MCA, justru kawan sekoalisinya, Lim Kit Siang, penasihat DAP, mengulang ancamannya bahwa hudud akan menghancurkan Pakatan Rakyat. Bagi politikus gaek itu, Pakatan Rakyat tidak mengagendakan hudud, namun hendak mengubah kebijakan negara. Akhirnya, meskipun tanpa dukungan partai penentang hudud, sejatinya PAS dan UMNO bisa meloloskan usulan RUU hudud seraya berharap dukungan empat suara anggota parlemen muslim dari partai penentangnya. Adakah untuk kali kesekian PAS dan UMNO masih lebih memilih setia dengan kawan koalisinya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar