Diskrepansi Pelembagaan Parpol
Gun Gun Heryanto
; Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2015
Hal memprihatinkan dalam realitas politik kita
saat ini adalah menguatnya diskrepansi atau ketidakcocokan antara harapan dan
realitas dalam pelembagaan partai politik sebagai entitas modern.
Beberapa partai seperti PPP dan Partai Golkar
didera konflik berkepanjangan. Kedua partai berpengalaman yang sama-sama
lahir dari rahim Orde Baru initak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik
melalui mekanisme internal mereka. Hal lain yang memprihatinkan adalah tren
aklamasi dalam mekanisme pemilihan ketua maupun calon ketua umum partai.
Contoh terdekat, PDIP belum menggelar kongres,
tetapi berdasarkan keputusan hasil rapat kerja nasional (rakernas) di
Semarang pada September 2014 Megawati hampir dipastikan kembali menjadi ketua
umum PDIP 2015-2020 dan pemilihannya didorong ke aklamasi. Pemilihan Aburizal
Bakrie (ARB) dalam Munas IX di Bali, juga melalui aklamasi yang berujung pada
terbelahnya Golkar.
Munas II Partai Hanura pada 13-15 Februari
2015 hanya menjadi ajang pengukuhan secara aklamasi Wiranto sebagai ketua
umum. Hal yang sama berpotensi terjadi di Gerindra dan Demokrat jika Prabowo
dan SBY “turun gunung” menjadi calon ketua umum.
Penstrukturan Adaptif
Kualitas partai-partai yang ada saat ini
memang sungguh memprihatinkan. Di tengah dinamika politik nasional yang terus
bergerak dan membutuhkan kiprah optimal partai sebagai entitas penting dalam
demokrasi, banyak dari mereka yang justru berkutat dalam konflik internal.
Masalah mendasar dalam pengelolaan partai di Indonesia ialah lemahnya basis
ideologi, etos demokratik, dan ketidakjelasan skema regenerasi berkelanjutan.
Basis ideologi telah lama diabaikan, bahkan
dianggap utopia karena banyak politisi yang memandang ideologi bias, tak
bermakna, dan tak lagi kontekstual. Etos demokratik berkaitan dengan formasi
nilai-nilai demokrasi dalam berpartai. Roh partai sebagai entitas publik,
yang semestinya membuat warga partai dan basis konstituen lebih berdaya,
kerap tunduk pada ego dan kepentingan segelintir elite yang memegang kuasa
partai.
Hal itu diperparah dengan adanya sumbatan
proses kaderisasi. Tahap alamiah kaderisasi yakni proses rekrutmen,
penguatan, dan pemberdayaan loyalis organisasi, serta distribusi dan alokasi
kader ke sejumlah jabatan di internal maupun di tengah publik tereduksi,
bahkan dibusukkan oleh oligarki, politik dinasti, dan laku politik
transaksional. Banyak partai yang mengalami kegamangan dalam melakukan
penstrukturan adaptif di tubuh organisasi.
Dalam terminologi Anthony Giddens, sebagaimana
dikutip oleh West dan Turner dalam Introducing
Communication Theory (2008) penstrukturan adaptif ialah bagaimana
institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan
ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi
sebagai perilaku para anggotanya. Dengan demikian, struktur diciptakan dan
dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau
menciptakan aturan baru.
Artinya, partai politik harusnya memperkuat
sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya
menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di
bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja. PPP terbelah menjadi dua,
kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy.
Sama-sama menyandarkan diri pada aturan
organisasi dengan tafsir sendiri-sendiri akibat konteks kepentingan politik
pragmatis yang berbeda. Pun demikian kubu Agung Laksono (Munas Ancol) versus
kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) yang seolah berada di labirin kekuasaan dan
tak kunjung menemukan jalan keluar.
Padahal, kedua partai ini surplus para
politisi senior yang banyak makan asam garam manajemen konflik. Dengan
demikian, persoalannya bukan pada “jam terbang”, melainkan pada ego pribadi
dan faksi. Padahal, sejarah menunjukkan jika mekanisme penyelesaian konflik
lewat pengadilan, salah satu pihak biasanya membuat tandingan atau keluar dan
mendirikan partai baru.
Fenomena Aklamasi
Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum
di PDIP, Hanura, juga kemungkinan terjadi di Gerindra dan Demokrat, menjadi
penanda nyata menguatnya gejala groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis
dalam karyanya Groupthink:
Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan
sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering gagal
mengembangkan alternatif-alternative tindakan yang mereka ambil.
Para kader rata-rata berpikir sama dan
menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan
munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader
lain terlebih dengan elite utamanya. Saat pengurus dan kader partai tak lagi
berani bicara atau mengeluarkan alternatif nama, meski sekadar dilevel
wacana, sudah bisa dipastikan begitu kuatnya batasan afiliatif (affiliative constraints) di tubuh
organisasi tersebut.
Batasan afiliatif berarti anggota kelompok
lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau
disebut sebagai penyimpang dan pengkhianat. Salah satu dampak signifikandari
buruknya kualitas sirkulasi elite seperti ini adalah minimnya para pemimpin
imparsial. Sosok-sosok seperti Megawati, Wiranto, Prabowo, SBY dengan
sendirinya akan selalu berada di puncak hierarki otoritas partai.
Suatu saat, jika terjadi
transisi kepemimpinan dari figur utama ini ke yang lain, barulah faksi-faksi di
internal yang tadinya laten mengemuka ke ruang publik. Sesungguhnya tak salah
jika partai memiliki figur kuat, hanya saja sumber daya politik figur harus
bertransformasi menjadi kekuatan sistem.
Ketidak mampuan partai mengelola konflik
internal sama buruknya dengan ketidak berdayaan partai keluar dari
subordinasi figur. Kelembagaan parpol akan sangat rapuh dan tak akan pernah
mampu berdiri kokoh sebagai entitas publik yang demokratis. Partai yang
berkonflik, terancam lemah dan “tergopohgopoh” mengejar agenda politik yang
membutuhkan fokus perhatian, misalnya pilkada serentak di tahun ini.
Adapun partai yang tersubordinasi segelintir
elite oligarkis hanya akan mendapatkan kenyamanan dan kemapanan palsu!
Saatnya partai memikirkan proses transformasi lebih sistemik. Menguatkan pola
kaderisasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Pengelolaan partai yang
berkutatdi lingkaran oligarki elite akan menyebabkan gagalnya partai menuju
partai modern. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar