Komitmen
Politik Sektor Pertanian
Achmad Maulani ; Associate
Researcher Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Yogyakarta; Kandidat Doktor
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
25 Maret 2015
Berbagai
kebuntuan saat ini tengah menyumbat jantung sektor pertanian. Sumber masalah
adalah kecilnya kepemilikan rata-rata lahan rumah tangga petani. Sebuah
komitmen politik amat diperlukan guna menjebol kebuntuan yang selama ini
hampir tak pernah hinggap dalam lanskap kebijakan negara.
Berangkat
dari realitas itu, pemerintah akhirnya membuat kebijakan terkait reformasi
tanah. Dengan otoritas yang dimiliki, negara berencana membuka lahan
pertanian seluas 9 juta hektar dan membagikan kepada 4,5 juta petani
marjinal. Tujuannya, menumbuhkan pusat ekonomi baru berbasis pertanian dan
perkebunan (Kompas, 28/2).
Tentu
kebijakan tersebut diharapkan bukan hanya slogan. Bangsa ini sesungguhnya
teramat kaya dengan kebijakan, tetapi miskin implementasi. Peran profetis
negara di sektor pertanian ini punya nilai strategis di tengah upaya
meningkatkan produktivitas sektor pertanian guna mewujudkan swasembada
pangan.
Reformasi lahan
Persoalan
reformasi tanah saat ini menjadi keniscayaan ketika berbicara tentang
pembangunan sektor pertanian. Ada dua hal mendasar yang menggantung di sektor
pertanian. Pertama, kepemilikan lahan yang luar biasa kecil. Data kementerian
pertanian menunjukkan rata-rata kepemilikan 0,3 hektar saja. Padahal, lahan
ideal yang harus dimiliki petani adalah 2 hektar. Kedua, kondisi-kondisi yang
menyebabkan sektor pertanian menjadi pihak yang selalu kalah dan
tersingkirkan, baik yang terkait soal alam, teknologi maupun kelembagaan
pertanian.
Dengan
struktur kepemilikan lahan yang kecil, segala atribut semacam efisiensi dan
produktivitas sungguh jauh panggang dari api. Banyak penyebab semakin
mengecilnya rata-rata kepemilikan lahan pertanian. Mulai dari konversi lahan
pertanian untuk pabrik, perumahan, perkantoran, dan lain-lain.
Persoalan
sempitnya kepemilikan lahan adalah ironi memilukan. Beberapa studi mengenai
rumah tangga petani menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan
sangat sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak punya lahan dan cuma
menjadi buruh tani. Di Jawa, petani gurem bahkan mencapai 75 persen rumah
tangga petani. Ini yang diharapkan bisa diatasi dengan kebijakan reformasi
tanah.
Nilai strategis
Reformasi
tanah memiliki nilai strategis dalam tiga hal. Pertama, reformasi lahan bisa
meningkatkan produksi pertanian, yang dalam jangka panjang bisa berkontribusi
terhadap swasembada pangan. Kedua, dengan reformasi lahan petani akan lebih
efisien berproduksi sehingga akhirnya bisa mendongkrak produktivitas. Ketiga,
reformasi lahan juga instrumen distribusi kesejahteraan ekonomi karena
memaklumatkan pembagian aset produksi (tanah) kepada petani (Schultz, dalam Yustika, 2009).
Reformasi
tanah bagi petani merupakan bagian esensial di sektor hulu, tetapi hanya akan
bermakna apabila kebijakan di sektor hilir juga direformasi. Reformasi di
sektor hilir itu tak lain adalah reformasi pertanian.
Selama
ini petani selalu dikalahkan oleh proses struktural yang sangat sistematis
sehingga tidak mungkin ada perubahan tanpa intervensi. Petani tidak berdaya
berhadapan dengan pelaku ekonomi di sektor hilir yang berkuasa menekan harga
ataupun waktu pembelian/penjualan komoditas pertanian. Di sinilah negara
seharusnya hadir mereformasi lembaga pertanian.
Realitas
kelembagaan yang selama ini terjadi adalah jaringan distribusi pemasaran
produk pertanian dikuasai pelaku sektor hilir sehingga setiap peningkatan
harga tidak dinikmati petani.
Secara
kelembagaan, ada dua agenda kelembagaan yang bisa dilakukan pemerintah.
Pertama, menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih
menjanjikan kesetaraan (misalnya petani dengan tengkulak atau petani dengan
koperasi).
Kedua,
memperluas basis kegiatan produksi dan distribusi melalui penguatan
organisasi ekonomi petani untuk mengurangi kuasa pelaku sektor hilir.
Jalan keluar
Atas
persoalan ini, banyak solusi dengan mentransformasi sektor pertanian secara
utuh. Misalnya pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar
bagi pembangunan sektor pertanian. Cara lain adalah memperkuat pasar sebagai
media yang mempertemukan transaksi sektor hulu dan hilir pertanian.
Selanjutnya pemerintah bisa menggandeng pelaku ekonomi swasta untuk kegiatan
setelah panen di sektor pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran produk
pertanian.
Pemerintah
perlu memahami dan mendalami struktur persoalan sektor pertanian sampai
tingkat mikro sehingga desain kebijakannya akurat. Pada titik ini, kebijakan
reformasi tanah merupakan syarat, tetapi belum memadai jika tidak didukung
kebijakan pada level mikro.
Pada
level mikro konsentrasinya adalah mendesain kesetaraan struktur kekuasaan
antarpelaku ekonomi sektor pertanian. Tanpa perubahan konfigurasi kekuasaan,
kebijakan reformasi tanah justru menyuburkan praktik eksploitasi di sektor
pertanian. Dampaknya adalah ketimpangan pendapatan melebar.
Akhirnya,
komitmen politik dalam kebijakan sektor pertanian harus betul-betul
diteguhkan negara agar ke depan wajah sektor pertanian di Indonesia menjadi
lebih bermartabat, khususnya kebijakan reformasi tanah dan perbaikan
kesepakatan kelembagaan antarpelaku ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar