Menuju
Poros Maritim Dunia
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar
Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB; Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang
Maritim dan Perikanan
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2015
Salah
satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan
penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia (PMD). Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat
berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Lebih dari itu,
Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia
dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai
cara menata pembangunan kelautan (ocean
governance). Visi Presiden RI ke-7 itu sangat tepat dan beralasan.
Pasalnya,
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas
lebih dari 17.000 pulau, dirangkai oleh 95.181 km garis pantai (terpanjang
kedua setelah Kanada), dan sekitar 70% wilayahnya berupa laut. Selain itu,
posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia juga sangat strategis, di mana 45%
dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai
USD1.500 triliun/tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia/ ALKI
(UNCTAD, 2012).
Konstruksi PMD
Mengacu
pada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas, pada dasarnya ada lima
kelompok kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan: (1) penegakan
kedaulatan NKRI, termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing, dan berbagai kegiatan
ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi (pemanfaatan SDA dan Jasling)
kelautan; (3) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; (4) pengembangan
kapasitas iptek kelautan; dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa.
Untuk
mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien,
inklusif, dan ramah lingkungan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) yang sudah ada sejak awal Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid
(September 1999) dan dibesarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui
program Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan), Presiden
Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator Maritim.
Dalam
hal penegakan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan
sejumlah kebijakan yang cukup bagus antara lain pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan
eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transhipment), larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang
digunakan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap lobster,
rajungan, dan kepiting ukuran tertentu.
Sayangnya,
tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya
sehingga kebijakan tersebut justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi
daya ikan di mana-mana, mengakibatkan puluhan ribu nelayan dan pembudi daya
menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara
Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting
soka tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lain.
Sementara
potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besarantara lain perikanan budi
daya, industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi
terbarukan dari laut (seperti arus, gelombang, dan ocean thermal energy conversion/OTEC), industri dan jasa maritim,
dansumber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai.
Program
ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan
pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya, yang sifatnya mengeluarkan uang
(APBN), bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal, membangun pelabuhan
tanpa dibarengi dengan mengembangkan perekonomian wilayah hanya akan
mengakibatkan pelabuhan itu mubazir alias mangkrak.
Program Ekonomi Biru
Sebab
itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus
mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi (di atas 7%/tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan
menyejahterakan rakyat), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).
Dengan
kata lain, program pelestarian dan penegakan kedaulatan tidak seharusnya
mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu
pertumbuhan ekonomi berkualitas, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan
daya saing bangsa. Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui
aplikasi ekonomi biru (blue economy).
Sebuah
sistem ekonomi berbasis inovasi yang memanfaatkan SDA secara produktif dan
efisien, tidak menghasilkan limbah dan emisi; dan pada saat yang sama mampu
menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan
tidak memerlukan biaya tinggi (Pauli, 2010). Pada tataran praksis, paradigma
ekonomi biru dalam konteks pembangunan kelautan Indonesia meliputi sejumlah
kebijakan dan program berikut.
Pertama,
penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) daratpesisir-laut
secara terpadu, yang mengalokasikan sedikitnya 30% dari total ruang wilayah
pesisir dan laut untuk kawasan lindung, dan maksimal 70% sisanya untuk
kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan inilah kita boleh
mengembangkan kawasan pertambakan udang, industri, pariwisata, pertambangan,
permukiman, pelabuhan, dan sektor pembangunan lainnya sesuai daya dukung
wilayah.
Kedua,
revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh usaha ekonomi kelautan yang sudah
berjalan (existing marine economic
sectors), mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budi daya,
pariwisata bahari, perhubungan laut, sampai galangan kapal. Selain itu, kita
mesti mengembangkan usahausaha ekonomi kelautan di kawasan pesisir, pulau
kecil, dan laut yang belum terbangun.
Ketiga,
memperbaiki dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi: (1)
akselerasi pembangunan tol laut (pelabuhan dan kapal laut), dan (2) jaringan
informasi dan telekomunikasi. Keempat, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut
yang telah rusak, pengendalian pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati,
dan pengayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk memelihara dan
meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir dan
lautan.
Kelima,
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana
alam lainnya. Keenam, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang
kelautan sesuai kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal
(pelatihan dan penyuluhan).
Ketujuh,
peningkatan penelitian dan pengembangan (R&D) supaya kita mampu
menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan nonteknologi
(seperti business models dan
strategi pemasaran) untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan
keuntungan ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.
Program Quick Wins
Tujuh
kebijakan dan program di atas bersifat jangka panjang, yang harus dikerjakan
sejak sekarang dan berkesinambungan. Namun, hasilnya baru bisa dinikmati
setelah beberapa tahun ke depan. Sebab itu, kita mesti mengembangkan program-program
pembangunan ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau
paling lambat lima tahun mendatang (quick
wins).
Pertama,
pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran di atas 50 GT dengan
alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan
di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing
atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi,
Teluk Tomini, Laut Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudera
Hindia dan Pasifik.
Kapal-kapal
ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing seperti perairan pantura
dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di
wilayahwilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing fisheries). Pemerintah juga
harus menjamin pasar bagi seluruh ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga
sesuai nilai keekonomian (”Bulog Perikanan”).
Revitalisasi
semua pelabuhan perikanan yang ada, dan pembangunan pelabuhan perikanan baru
sesuai kebutuhan. Kedua, revitalisasi dan pengembangan empat kluster yaitu:
budi daya laut (mariculture),
tambak udang Vanammei , budi daya tambak ikan bandeng, kakap, nila salin,
kepiting soka, dan lainnya dan budi daya rumput laut (Gracillaria spp). Saat
ini total luas perairan laut Indonesia yang potensial (cocok) untuk usaha
budi daya laut sekitar 24 juta ha.
Sedangkan
total luas lahan pesisir yang potensial untuk usaha budi daya tambak
(perairan payau) adalah 3 juta ha. Dengan empat kluster usaha budi daya laut
dan tambak tersebut, setiap tahunnya akan dihasilkan rata-rata sekitar 20
juta ton produk perikanan, USD80 miliar nilai ekonomi, dan lapangan kerja
untuk 9 juta orang.
Ketiga,
dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya di
atas, kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang
saat ini hanya sekitar 50% yang masih beroperasi dari total kapasitas
terpasang nasional. Lebih dari itu, dengan bahan baku yang besar itu, kita
pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan di banyak lokasi,
terutama di luar Jawa dan Bali.
Keempat,
pengembangan industri bioteknologi kelautan yang meliputi: (1) genetic
engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (2)
industri pakan ikan dan ternak berbasis micro algae; (3) ekstraksi senyawa
bioaktif dari biota laut untuk bahan baku industri makanan dan minuman,
farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan (4) industri biofuel dari micro algae.
Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi industri
teknologi informasi (Ministry of
Maritime Affairs and Fisheries, Korsel, 2002).
Kelima,
revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara: (1) pembenahan
objek (destinasi) wisata yang ada dan mengembangkan destinasi yang baru; (2)
pengembangan jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif (product development); (3) peningkatan
aksesibilitas dari dan ke objek wisata melalui transportasi laut, darat
maupun udara; (4) pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan
sekitar lokasi wisata; (5) peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai
media dan ekshibisi baik di dalam maupun luar negeri; dan (6) peningkatan
kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta perilaku masyarakat lokal
supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan domestik dan
mancanegara.
Keenam,
revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya: (1)
industri galangan kapal; (2) peralatan dan mesin perikanan (seperti jaring
dan alat penangkapan ikan lain, kincirairtambak, danmesin pabrik industri
pengolahan ikan); (3) peralatan dan mesin untuk industri migas serta
pertambangan mineral; (4) fibre optics dan kabel laut; (5) perangkat lunak
untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan (6) perangkat lunak
untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca, dan kondisi oseanografi.
Ketujuh,
pembangunan 21 kawasan industri terpadu berkelas dunia (world class) dengan
pola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang inovatif, inklusif, dan ramah
lingkungan di wilayah pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk
Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung); bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim,
dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng,
Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).
Supaya
segenap program pembangunan kelautan jangka panjang maupun quick wins di atas
dapat terealisir, pemerintah harus menyediakan skema kredit perbankan khusus
dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak (bank maritim)
seperti yang berlaku di sektor industri kelapa sawit sejak Pemerintahan Orba
sampai sekarang dan di negara-negara lain.
Selain
itu, iklim investasi (seperti perizinan, pajak, ketenagakerjaan, dan keamanan
berusaha) serta kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi
tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.
Dengan
peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, dari saat ini sebagai negara
berpendapatan menengah bawah (GNP/kapita sebesar USD 5.000), insya Allah pada
2020 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan menengah atas (GNP/ kapita
sekitar USD10.000), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju,
adil-makmur, berdaulat, serta sebagai Poros Maritim Dunia dengan GNP/ kapita
di atas USD14.000. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar