Perjuangan
Idealis Pragmatis Lee Kuan Yew
Amelia Joan Liwe ; Alumnus
University of Wisconsin-Madison, AS;
Dosen HI Universitas Pelita Harapan Dosen Luar Biasa Cultural Studies
UI;
Associate Director Center for Southeast Asian Studies-Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2015
LEE Kuan Yew menghembuskan
napasnya yang terakhir Senin (23/3) dini hari pada usia 91 tahun. Itu usia
yang cukup panjang untuk menyaksikan Singapura melejit dari ketidakmungkinan
menjadi sebuah kisah kesuksesan. Singapura menempati peringkat kedua Index
Global Competitiveness 20142015 versi World Economy Forum. Prestasi yang
menempatkan negara seluas kurang dari 800 km2 itu di atas kekuatan besar
dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang.
Lee Kuan Yew yang
dibesarkan di bawah sistem kolonial Inggris di Singapura terkenal memiliki
visi, intelektualitas, dan kegigihan yang luar biasa. Setelah melewati
pendudukan Jepang atas Singapura, Lee Kuan Yew bertekad untuk tidak
membiarkan Jepang dan Inggris memperlakukan tanah kelahirannya dengan
semena-mena lagi.
Untuk tekad yang idealis
itu, Lee Kuan Yew mengambil langkah yang lumayan pragmatis; menuntut ilmu
setinggi-tingginya di Inggris. Beliau masuk London School of Economics pada 1946 kemudian melanjutkan di Cambridge
sebelum meraih sarjana hukum pada 1949. Dengan latar belakang seperti itu,
Lee Kuan Yew bisa saja memilih karier pribadi sebagai pengacara yang begitu
menjanjikan. Akan tetapi, visinya untuk menciptakan sebuah Malaya yang
merdeka tampaknya lebih kuat.
Pada 1950, dalam sebuah
forum di London yang membahas persoalan Malaya, Lee Kuan Yew yang begitu
prihatin dengan kemungkinan perpecahan Malaya pascapendudukan Inggris
meramalkan bahwa Malaya bisa terjebak oleh konflik berkepanjangan seperti
Palestina atau berkembang maju menjadi seperti Swiss di Eropa. Malaya bisa
memilih menjadi komunis seperti Tiongkok atau tetap berada di bawah
Commonwealth Inggris dan tetap menghidupi nilainilai bersama tanpa
meninggalkan perjuangan antiimperialisme.
Hindari
radikalisme
Lee Kuan Yew memilih untuk
memperjuangkan Malaya merdeka tanpa paham komunisme. Akan tetapi, beliau
tetap memegang teguh komitmen nilai masa itu; keadilan sosial yang
seluas-luasnya, distribusi penghasilan dan perjuangan kemerdekaan. Lee Kuan
Yew yakin bahwa nilai-nilai tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan
Malaya dari radikalisme buta.
Kembali ke Semenanjung
Melayu, Lee Kuan Yew terjun ke dalam politik dan berjuang untuk mencapai
kemerdekaan dari Inggris dengan cara bergabung dengan Malaysia yang sudah
merdeka pada 1957. Lee Kuan Yew sadar bahwa komunitas Tiongkok saat ini
banyak yang cenderung ingin mengikuti garis politik komunis dari
Tiongkok.Sementara itu, kelompok pribumi Melayu cenderung lebih eksklusif dan
feodal. Akan tetapi, Lee Kuan Yew melihat potensi di balik masyarakat
multikultural yang dimiliki Semenanjung Malaya.
Usaha Lee Kuan Yew
membuahkan hasil ketika Singapura diterima untuk bergabung dengan Federasi
Malaysia pada 1963. Pencapaian itu hanya bertahan dua tahun. Elite pribumi
Malaysia terus meragukan kesetiaan Lee Kuan Yew dan pengikutnya. Kecurigaan
antarras dan budaya makin runcing. Akhirnya, pada 1965, Singapura dikeluarkan
dari Federasi Malaysia. Lee Kuan Yew terpukul. Beliau terisak melihat harapan
dan usahanya gagal.
Kegigihan Lee Kuan Yew
kembali diuji. Beliau bangkit kembali. Visinya membangun sebuah negara
multikultural yang makmur diwujudkan dari situasi yang hampir tidak mungkin.
Singapura begitu kecil, tanpa kekayaan alam. Untuk keperluan air bersih dan
makanan, Singapura harus bergantung pada Malaysia dan Indonesia. Penduduk
Singapura yang pada dasarnya terdiri dari para imigran dengan latar belakang
budaya, agama, dan kepercayaan yang berbeda-beda tidak memiliki sejarah yang
menyatukan. Sebagai sebuah bangsa, Singapura ialah ketidakmungkinan.
Di atas ketidakmungkinan
itulah, Lee Kuan Yew membangun idealismenya; sebuah negara merdeka yang
makmur dan sejahtera. Beliau kembali memulainya dengan langkah-langkah yang
pragmatis seperti membangun sistem birokrasi yang efisien di bawah
komandonya. Pemerintahan Lee Kuan Yew juga menerapkan sistem kuota ras dalam
masyarakat untuk memastikan perimbangan dalam masyarakat. Tidak mengherankan,
beliau juga identik dengan sistem otoriter.
Terlepas dari pro-kontra
sistem otoriter, sosok Lee Kuan Yew tetap diingat dan dirayakan sebagai Bapak
Singapura dan negarawan andal yang mengantar Singapura dari ketidakmungkinan
menjadi sebuah negara unggulan, melampaui kemajuan dan kesejahteraan
negara-negara tetangganya. Lee Kuan Yew paling tidak mengajarkan satu hal;
idealisme harus diperjuangkan melalui kegigihan, rasionalitas, dan kerja
keras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar