Tali
Jangan Putus
Sukardi Rinakit ; Ketua PARA
Syndicate
|
KOMPAS,
24 Maret 2015
Sabtu
(21/3) malam, pada resepsi pernikahan putra Jimly Asshiddiqie, saya bertemu
Prabowo Subianto. Penulis minta maaf kepadanya karena, meskipun kenal baik,
tidak mendukung dia ketika pemilihan presiden lalu. Dengan rileks Prabowo
menjawab, ”Dalam politik, itu biasa
saja.” Jawaban seorang gentleman!
Anda
boleh tidak setuju dengan penilaian saya itu. Sama halnya boleh tidak setuju
dengan pendapat mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejak semula saya
berpendapat bahwa dibandingkan dengan institusi lain, khususnya birokrasi dan
partai politik, reformasi internal TNI adalah yang paling maju, jika tidak
boleh disebut paling paripurna.
Tidak
mengherankan ketika banyak institusi masih ribut dan saling sengkarut seperti
sekarang, TNI telah melompat ke depan. Panglima TNI Jenderal Moeldoko
mencanangkan program TNI Mendengar.
Mereka ingin mendengar seluruh persoalan yang dihadapi bangsa, termasuk
masalah energi dan pangan. Bagi TNI, keributan apa pun bentuknya, salah satu
akar pentingnya adalah karena orang hanya berbicara, bertindak, dan tidak mau
mendengar.
Para
elite republik sebaiknya berkaca pada program TNI Mendengar tersebut, yang saya yakini bukan sebagai langkah
TNI untuk kembali mengembangkan sayap kekuasaannya seperti kecurigaan
beberapa pihak, melainkan lebih sebagai upaya TNI untuk memprediksi situasi
keamanan nasional dengan menjadikan getaran terdalam suara rakyat sebagai
salah satu variabel utama.
Indonesia
saat ini adalah Indonesia yang para elitenya sedikit sekali meluangkan waktu
untuk mau mendengar keluhan publik maupun pandangan institusi lain. Para
politisi, penegak hukum, birokrat, bahkan para aktivis lembaga swadaya
masyarakat sering terjebak pada semangat berdebat dan bertindak.
Masing-masing mengemukakan pandangannya dan meyakini bahwa sikapnya itu
sebagai yang paling benar dan merupakan sebuah langkah demi kebajikan publik.
Padahal,
seperti yang berlaku di tubuh beberapa partai politik, khususnya Golkar dan
Partai Persatuan Pembangunan, mereka berkonflik sejatinya bukan untuk kepentingan
publik. Kepentingan pribadi dan golongan adalah yang utama. Kuatnya praktik
oligarki di tubuh partai yang bersumber dari kekuatan kapital dan hubungan
kekeluargaan menjadi akar persoalan yang tidak hanya membuat tubuh partai
rapuh, tetapi juga melemahkan pilar-pilar kehidupan yang lain, termasuk di
ranah institusi penegakan hukum.
Hal
itu berkaitan dengan posisi strategis partai politik yang menjadi pilar utama
kekuasaan. Tak ada satu pejabat publik pun yang bebas dari topangan partai
politik. Meskipun dalam sistem presidensial seorang presiden mempunyai hak
prerogatif untuk mengangkat menteri, misalnya, tetap saja pertimbangan
partai-partai pendukung harus didengar. Apabila mereka dengan keras menolak
seorang calon menteri, presiden yang kelahirannya juga ditopang oleh pilar
partai kemungkinan besar akan mundur dari gempuran itu.
Joko
Widodo menjadi presiden ketika ranah politik di Tanah Air belum beranjak dari
kultur paternalistik dan praktik oligarki serta perilaku kaum elite yang
umumnya malas mendengar. Jokowi dikepung oleh dinamika politik yang
wilayahnya di luar kekuatan kontrolnya. Situasi itu menjadi lebih buruk
apabila ada letnan (orang yang berada di lingkaran dalam) Jokowi juga
mengejar kepentingan sendiri dengan memperluas jaringan kekuasaan maupun
mengakumulasi sumber-sumber ekonomi.
Akibatnya,
terlalu banyak masalah yang tiba-tiba disodorkan di depan rakyat, seperti
harga beras yang lamban turun meskipun operasi pasar sudah dilakukan,
perselisihan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri, serta fenomena begal,
termasuk mafia. Ini belum lagi kalau faktor global, seperti penurunan nilai
tukar rupiah, ikut diperhitungkan.
Dalam
situasi terkepung seperti itu, meminjam istilah Romo Lambertus Somar (78),
ibarat sebuah tali, hubungan Jokowi dengan rakyat secara perlahan dapat
menjauh, tali tertarik semakin mengecil, dan akhirnya putus. Apabila ini
terjadi, risiko terbesar bukan pemakzulan seperti dikhawatirkan banyak orang,
melainkan seluruh pembicaraan, instruksi, dan kebijakan pemerintah tidak akan
disambut oleh rakyat.
Dengan
bahasa lain, pemerintahan menjadi tidak efektif karena rakyat apatis.
Tali-tali yang merupakan jaringan halus yang menghubungkan suara hati rakyat
dengan hati Jokowi terputus oleh banyak persoalan yang dihadapi rakyat, yang
seakan-akan pemerintah tidak hadir. Padahal, semua itu secara hipotesis
bersumber pada ulah para elite yang masih memanggul praktik politik oligarki
dan miskin kebajikan publik karena hanya mengejar hak-hak istimewa politik
dan ekonomi untuk diri sendiri dan kelompok.
Agar tali yang menghubungkan antara hati rakyat dan Jokowi
tetap tersambung, tidak ada pilihan lain bagi Jokowi kecuali mengganti para
letnannya yang sarat kepentingan pribadi, setidaknya melokalisasi peran
mereka hanya pada fungsi simbolik, dan bersandar pada tiang politik yang
kokoh. Selain itu, Jokowi juga terus mengambil jalan sunyi agar tetap bisa
mendengar sesambating manah (keluh
kesah) rakyat.
Khusus untuk
sandaran politik, suka atau tidak, saran dan restu Megawati Soekarnoputri sebagai
pembuka pintu kekuasaan dan politisi paling berpengalaman adalah mutlak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar