Aceh
dan Janji Jokowi
Apridar ; Guru Besar
Ekonomi dan Rektor Universitas Negeri Malikussaleh, Aceh
|
KOMPAS,
25 Maret 2015
Kunjungan
Presiden Joko Widodo selama dua hari di Aceh, 9-10 Maret, sepertinya
menjanjikan perbaikan perekonomian dan kesejahteraan bagi daerah di ujung
Sumatera itu. Presiden menaburkan janji di semua daerah kunjungan: mulai dari
Sabang, Lhokseumawe, sampai pedalaman Paya Bakong, sebuah kecamatan terpencil
di Kabupaten Aceh Utara. Rangkaian janji itu bisa jadi pengobat hati
masyarakat Aceh untuk memulai lembaran baru penuh cinta kepada Republik atau
sebaliknya, menjadi bom waktu yang menambah ketidakpercayaan Aceh kepada
Jakarta yang hanya memberikan janji, tetapi nihil realisasi.
Selama
ini, sudah banyak janji pemerintah pusat kepada Aceh. Sepertinya, Jokowi
mengikuti pola presiden terdahulu yang menebar banyak janji ketika berkunjung
ke Aceh. Segera setelah Jokowi pulang, terlihat masyarakat tidak terlalu
antusias dalam merespons daftar janji itu. Tampaknya masyarakat sudah belajar
dari pengalaman: pemimpin hanya bisa menabur janji, tetapi miskin dalam
realisasi.
Pertumbuhan ekonomi
Hampir
semua janji Jokowi di Aceh masuk dalam kementerian perekonomian dan
perhubungan. Sejumlah bandara di Aceh dijanjikan akan diperpanjang
landasannya tahun ini. Bandara Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh, Bandara
Malikussaleh di Aceh Utara, Rambele di Bener Meriah, Maimun Saleh di Sabang,
dan sejumlah bandara kecil lain yang selama ini secara reguler didarati
pesawat.
Pelebaran
dan penambahan landasan bandara memang salah satu aspek penting untuk
menunjang tumbuhnya kegiatan perekonomian. Panjang Bandara Malikussaleh,
misalnya, saat ini 1.850 meter dan dijanjikan Jokowi akan diperpanjang tahun
ini menjadi 2.400 meter agar bisa didarati pesawat berbadan lebar. Keberadaan
bandara ini penting untuk mempermudah akses barang dan jasa dengan beberapa
daerah di wilayah utara Aceh.
Janji
lainnya adalah membuka kembali PT Kertas Kraft Aceh (KKA), sebuah BUMN yang
bernilai historis karena Jokowi pernah bekerja sebagai konsultan kehutanan di
perusahaan tersebut. Di sektor pertanian, pemerintah pusat akan membangun
Bendungan Keureuto di Payang Bakong, Aceh Utara, senilai Rp 1,7 triliun.
Realisasi janji ini terlihat lebih optimistis karena sudah dialokasikan
anggarannya dalam APBN dan sudah ada pelaksananya.
Regasifikasi
di PT Perta Arun Gas termasuk salah satu proyek lain yang sedang berjalan
meskipun dalam hal ini agak mengecewakan karena pemerintahan sebelumnya
merencanakan pembangunan kilang BBM pasca berakhirnya operasional PT Arun
NGL. Selebihnya, ada juga janji membangun tol laut di Aceh yang sebelumnya
tak termasuk dalam agenda nasional. Padahal, pembangunan tol laut di Aceh
juga bernilai strategis karena letak sejumlah wilayah Aceh di Selat Malaka
dan berbatasan langsung dengan sejumlah negara.
Jika
sebagian saja dari janji itu terwujud, akan menimbulkan efek berganda untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi di Aceh, yang pada akhir 2014 tercatat 1,65
persen atau melambat dari tahun sebelumnya, 2,83 persen. Potensi pertumbuhan
ekonomi juga akan mengurangi jumlah pengangguran terbuka di Aceh yang menurut
laporan Badan Pusat Statistik, akhir tahun lalu, mencapai 6,75 persen.
Proaktif
Tebaran
janji ekonomi Jokowi di Aceh juga berdampak politis bagi peningkatan hubungan
Aceh dan pusat yang belakangan tidak lagi menjadi fokus setelah konflik
bersenjata berakhir, menyusul perjanjian damai Helsinki, 15 Agustus 2005.
Maka, momentum ini selayaknya digunakan untuk menjaga kesinambungan masa
bulan madu hubungan Aceh-Jakarta. Pemerintah pusat perlu menjaga kepercayaan
masyarakat Aceh dengan memenuhi semua janji yang sudah ditebarkan, baik
selama kunjungan maupun selama masa kampanye dulu.
Pemerintah
Aceh tidak bisa membiarkan momentum ini berlalu begitu saja. Pusat sudah
membuat ruang begitu besar bagi Aceh untuk terus berkembang seperti daerah
lainnya di Indonesia, melalui pembangunan sejumlah infrastruktur perhubungan,
pertanian, dan industri. Elite lokal harus proaktif menindaklanjuti semua
janji tersebut, apalagi terhadap proyek yang bukan lagi sekadar komitmen.
Sikap panas-panas tahi ayam selama ini tidak boleh dibiarkan.
Biasanya,
setelah presiden dan rombongan pulang, semuanya akan tergilas dengan
rutinitas sehingga membuang peluang yang sudah ada. Masih segar dalam ingatan
janji presiden sebelumnya untuk menghidupkan kembali pabrik pupuk PT ASEAN
Aceh Fertilizer. Nyatanya, sampai sekarang perusahaan itu masih menjadi besi
tua. Sementara operasional PT Pupuk Iskandar Muda juga masih ”megap-megap”
karena sulitnya mendapatkan bahan baku gas.
Merawat
hubungan Aceh-Jakarta harus bersinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Butuh napas panjang agar janji Jokowi di ”Bumi Serambi Mekah” bisa
terealisasi. Elite di Aceh tidak boleh menunggu. Kini saatnya menjemput bola
agar kehidupan rakyat Aceh setelah konflik dan tsunami semakin baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar