Pelabuhan Cimalaya, untuk Siapa?
Sj Arifin ; Direktur Eksekutif Centrum Advisory Group
|
KORAN
SINDO, 27 Maret 2015
Kunjungan Presiden Jokowi ke negeri Jepang dan
Tiongkok kali ini menimbulkan harap-harap cemas sejumlah kalangan, terutama
berbagai kalangan yang memiliki kepentingan di Cilamaya, Karawang.
Banyak pihak menduga bahwa salah satu agenda
pembicaraan Jokowi di dua negara tersebut berkaitan erat dengan keputusan
pemerintah mengenai keberlangsungan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya.
Sebagaimana diketahui, pada pemerintahan lalu, melalui proyek MP3EI-nya,
telah memproyeksikan pembangunan Pelabuhan Cilamaya sebagai bagian dari
program Metropolitan Priority Area
(MPA).
Salah satu pertimbangan utama tentang
pentingnya pembangunan Pelabuhan Cilamaya adalah Pelabuhan Tanjung Priok
dinilai tidak mencukupi lagi kapasitasnya alias overcrowded. Selain itu, pembangunan Pelabuhan Cilamaya dan semua
infrastruktur pendukungnya seperti jalan tol juga diperkirakan dapat
memangkas kepadatan lalu lintas di Jakarta hingga 30%.
Awalnya rencana ini seakan dapat bergulir
dengan mulus. Terlebih, kebutuhan dana pembangunan yang mencapai Rp43,5
triliun ini telah menemukan solusinya dengan tidak menggunakan dana APBN.
Jalan keluar ini berupa kesediaan Pemerintah Jepang yang antusias menyanggupi
membangun pelabuhan dengan sistem build operate transfer (BOT). Dengan kata
lain, perusahaan Jepang akan membangun dan mengelola pelabuhan tersebut dalam
jangka waktu tertentu sebelum menjadi aset Indonesia.
Antusiasme Jepang ini didorong oleh rencana
sejumlah pengusaha automotif Jepang seperti Mitsubishi dan Yamaha untuk
merelokasi perusahaan secara besar-besaran dari Thailand ke Indonesia. Adapun
kawasan industri yang diincar di antaranya di Cibitung, Cikarang berjarak
dekat dengan Cilamaya. Dilihat sekilas, megaproyek ini demikian menggiurkan.
Pemerintah cukup duduk manis, investor datang
sendiri, membangun pelabuhan, merelokasi pabrik-pabriknya ke Indonesia,
ekonomi tumbuh, dan pemerintah tinggal menghitung keuntungannya. Tetapi,
seiring dengan waktu, kompleksitas persoalan yang mengiringi rencana
pembangunan Pelabuhan Cilamaya ini muncul satu demi satu. Ini seolah
mengonfirmasi bahwa pemilihan lokasi dari rencana tersebut kurang menyeluruh.
Kompleksitas
Hingga kini pemerintahan Jokowi belum
memberikan jawaban terang tentang kelanjutan megaproyek ini meski memberikan
isyarat akan melanjutkan. Pemerintah bahkan terkesan tidak cukup terbuka
menyosialisasikan rencananya. Untuk itu, selagi masih ada waktu, tepat
kiranya bila pemerintah menimbang ulang program warisan pemerintah terdahulu
ini.
Sejak awal pemerintah sesungguhnya terlihat
kurang memperhitungkan faktor-faktor lain yang berpotensi menimbulkan
kerugian yang lebih besar. Sekurangnya terdapat tiga faktor yang saling
terkait dan memiliki multiplier effect
jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dilanjutkan. Pertama, keberadaan anjungan
minyak Pertamina Hulu Energi Offshore
North West Java (PHEONWJ) yang memiliki bentangan pipa-pipa minyak
sepanjang1.900 kilometer dilepas pantai Karawang.
Dengan jalur pipa berukuran 28 inci yang
tergeletak di dasar laut dangkal, kawasan ini jelas tidak mungkin dilewati
kapal-kapal besar yang akan hilir mudik ke Pelabuhan Cilamaya. Jika memaksa
berlabuh, jangkar kapal bisa menghancurkan pipa-pipa tersebut dengan risiko
minyak bocor. Bila fasilitas Pertamina ini dipindah, negara akan mengalami
kerugian sebesar 40.000 barel per hari dan pasokan gas 190 mmsfcd, selama
proses pemindahan.
Jumlah ini sangat signifikan mengingat
produksi minyak nasional hanya 840.000 barel per hari. Belum lagi, bila PHE
ONWJ terhenti, PLTGU Muara Karang akan ikut macet dan berdampak pada pasokan
listrik di Ibu Kota pun ikut macet. Opportunity
lost dari PLN saja dapat mencapai Rp5,5 miliar per hari.
Apalagi, bila pemerintah nekat menutup PHE
ONWJ, kawasan yang memiliki cadangan minyak terbukti sebesar 80 juta barel,
P2 mencapai 80 juta barel, P3 mencapai 130 juta barel, dan cadangan
kontingensi 600 juta barel, memaksakan Pelabuhan Cilamaya dengan mengorbankan
PHE ONWJ sama dengan “air di tempayan dibuang, mengharap hujan dari langit” (National Geographic Indonesia , Maret 2015).
Masih ada faktor ikutan lain yakni lenyapnya
pasokan gas dari PHE ONWJ untuk Pupuk Kujang yang menyuplai 600.000 ton pupuk
urea subsidi setiap tahun untuk petani Jawa Barat. Opportunity lost dari
Pupuk Kujang saja dapat mencapai Rp6,1 miliar per hari. Kedua, hancurnya
ekonomi nelayan yang selama ini beroperasi di perairan utara Kabupaten
Karawang dan sekitarnya.
Kawasan ini salah satu potensi terbesar
rajungan yang hidup di terumbu karang di lautan dangkal yang bisa dipastikan
akan rusak diterjang kapal-kapal besar yang menuju Pelabuhan Cilamaya. Ke
manakah pemerintah hendak memindahkan belasan ribu nelayan Karawang? Sebuah
ironi dari semboyan Poros Maritim Dunia. Ketiga, pertanian Karawang merupakan
lumbung padi Jawa Barat.
Bila Pelabuhan Cilamaya dibangun, kita tidak
bisa menghitungnya akan memengaruhi kawasan seluas 6 kilometer persegi saja,
tetapi akan segera diikuti konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi
kawasan industri. Menurut perkiraan Oxfam, Pelabuhan Cilamaya sekurangnya
akan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian seluas 600 hektare.
Saat ini ratusan hektare lahan pertanian di
Karawang bahkan telah berpindah tangan ke para spekulan. Jika ini diteruskan,
lenyaplah produksi 300 ton padi per musim yang selama ini menyangga pangan
nasional. Di tengah upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan nasional,
apakah kerugian ini tidak dihitung?
Kepentingan Nasional
Mengacu pada kompleksitas persoalan di atas,
terpampang dengan telanjang besarnya potensi kerugian ekonomi, sosial, dan
lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh Pelabuhan Cilamaya. Untuk itu,
pemerintahan Jokowi-JK sebaiknya mempertimbangkan secara serius dan sejak
dini untuk mencari solusi yang benar-benar berisiko minimal, tetapi memiliki
tujuan lebih panjang.
Tentu saja, ini tidak mudah karena akan ada
desakan dan tekanan berbagai pihak agar proyek ini segera direalisasikan.
Terutama berbagai kalangan yang telanjur menaburkan dana investasi dalam
bentuk pembelian lahan, spekulan tanah, pengembang kawasan industri, maupun
kalangan industri yang telah mendesain business plannya di kawasan Karawang.
Tetapi, pemerintahan Jokowi wajib menimbang
kepentingan nasional yang lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang
berisiko besar. Beberapa kalangan telah mengusulkan alternatif pemindahan
pelabuhan ke Subang, Indramayu, atau Cirebon. Alasannya, lokasi-lokasi ini
terkait pembangkit listrik yang sudah ada atau sedang direncanakan sehingga
daya dukungnya terhadap pelabuhan akan lebih memadai.
Daerah lain juga diusulkan yakni dengan
memindahkannya ke Jawa Tengah dengan pertimbangan strategis untuk pemerataan
pembangunan nasional. Tetapi, akan lebih baik dan lebih adil jika kiranya
pemerintahan tidak terburu- buru mengambil keputusan. Apalagi jika keputusan
itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan yang bukan bersifat national
interest. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar