Senin, 30 Maret 2015

Pelabuhan Cimalaya, untuk Siapa?

Pelabuhan Cimalaya, untuk Siapa?

Sj Arifin  ;  Direktur Eksekutif Centrum Advisory Group
KORAN SINDO, 27 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Kunjungan Presiden Jokowi ke negeri Jepang dan Tiongkok kali ini menimbulkan harap-harap cemas sejumlah kalangan, terutama berbagai kalangan yang memiliki kepentingan di Cilamaya, Karawang.

Banyak pihak menduga bahwa salah satu agenda pembicaraan Jokowi di dua negara tersebut berkaitan erat dengan keputusan pemerintah mengenai keberlangsungan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Sebagaimana diketahui, pada pemerintahan lalu, melalui proyek MP3EI-nya, telah memproyeksikan pembangunan Pelabuhan Cilamaya sebagai bagian dari program Metropolitan Priority Area (MPA).

Salah satu pertimbangan utama tentang pentingnya pembangunan Pelabuhan Cilamaya adalah Pelabuhan Tanjung Priok dinilai tidak mencukupi lagi kapasitasnya alias overcrowded. Selain itu, pembangunan Pelabuhan Cilamaya dan semua infrastruktur pendukungnya seperti jalan tol juga diperkirakan dapat memangkas kepadatan lalu lintas di Jakarta hingga 30%.

Awalnya rencana ini seakan dapat bergulir dengan mulus. Terlebih, kebutuhan dana pembangunan yang mencapai Rp43,5 triliun ini telah menemukan solusinya dengan tidak menggunakan dana APBN. Jalan keluar ini berupa kesediaan Pemerintah Jepang yang antusias menyanggupi membangun pelabuhan dengan sistem build operate transfer (BOT). Dengan kata lain, perusahaan Jepang akan membangun dan mengelola pelabuhan tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum menjadi aset Indonesia.

Antusiasme Jepang ini didorong oleh rencana sejumlah pengusaha automotif Jepang seperti Mitsubishi dan Yamaha untuk merelokasi perusahaan secara besar-besaran dari Thailand ke Indonesia. Adapun kawasan industri yang diincar di antaranya di Cibitung, Cikarang berjarak dekat dengan Cilamaya. Dilihat sekilas, megaproyek ini demikian menggiurkan.

Pemerintah cukup duduk manis, investor datang sendiri, membangun pelabuhan, merelokasi pabrik-pabriknya ke Indonesia, ekonomi tumbuh, dan pemerintah tinggal menghitung keuntungannya. Tetapi, seiring dengan waktu, kompleksitas persoalan yang mengiringi rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya ini muncul satu demi satu. Ini seolah mengonfirmasi bahwa pemilihan lokasi dari rencana tersebut kurang menyeluruh.

Kompleksitas

Hingga kini pemerintahan Jokowi belum memberikan jawaban terang tentang kelanjutan megaproyek ini meski memberikan isyarat akan melanjutkan. Pemerintah bahkan terkesan tidak cukup terbuka menyosialisasikan rencananya. Untuk itu, selagi masih ada waktu, tepat kiranya bila pemerintah menimbang ulang program warisan pemerintah terdahulu ini.

Sejak awal pemerintah sesungguhnya terlihat kurang memperhitungkan faktor-faktor lain yang berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sekurangnya terdapat tiga faktor yang saling terkait dan memiliki multiplier effect jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya dilanjutkan. Pertama, keberadaan anjungan minyak Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHEONWJ) yang memiliki bentangan pipa-pipa minyak sepanjang1.900 kilometer dilepas pantai Karawang.

Dengan jalur pipa berukuran 28 inci yang tergeletak di dasar laut dangkal, kawasan ini jelas tidak mungkin dilewati kapal-kapal besar yang akan hilir mudik ke Pelabuhan Cilamaya. Jika memaksa berlabuh, jangkar kapal bisa menghancurkan pipa-pipa tersebut dengan risiko minyak bocor. Bila fasilitas Pertamina ini dipindah, negara akan mengalami kerugian sebesar 40.000 barel per hari dan pasokan gas 190 mmsfcd, selama proses pemindahan.

Jumlah ini sangat signifikan mengingat produksi minyak nasional hanya 840.000 barel per hari. Belum lagi, bila PHE ONWJ terhenti, PLTGU Muara Karang akan ikut macet dan berdampak pada pasokan listrik di Ibu Kota pun ikut macet. Opportunity lost dari PLN saja dapat mencapai Rp5,5 miliar per hari.

Apalagi, bila pemerintah nekat menutup PHE ONWJ, kawasan yang memiliki cadangan minyak terbukti sebesar 80 juta barel, P2 mencapai 80 juta barel, P3 mencapai 130 juta barel, dan cadangan kontingensi 600 juta barel, memaksakan Pelabuhan Cilamaya dengan mengorbankan PHE ONWJ sama dengan “air di tempayan dibuang, mengharap hujan dari langit” (National Geographic Indonesia , Maret 2015).

Masih ada faktor ikutan lain yakni lenyapnya pasokan gas dari PHE ONWJ untuk Pupuk Kujang yang menyuplai 600.000 ton pupuk urea subsidi setiap tahun untuk petani Jawa Barat. Opportunity lost dari Pupuk Kujang saja dapat mencapai Rp6,1 miliar per hari. Kedua, hancurnya ekonomi nelayan yang selama ini beroperasi di perairan utara Kabupaten Karawang dan sekitarnya.

Kawasan ini salah satu potensi terbesar rajungan yang hidup di terumbu karang di lautan dangkal yang bisa dipastikan akan rusak diterjang kapal-kapal besar yang menuju Pelabuhan Cilamaya. Ke manakah pemerintah hendak memindahkan belasan ribu nelayan Karawang? Sebuah ironi dari semboyan Poros Maritim Dunia. Ketiga, pertanian Karawang merupakan lumbung padi Jawa Barat.

Bila Pelabuhan Cilamaya dibangun, kita tidak bisa menghitungnya akan memengaruhi kawasan seluas 6 kilometer persegi saja, tetapi akan segera diikuti konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi kawasan industri. Menurut perkiraan Oxfam, Pelabuhan Cilamaya sekurangnya akan menyebabkan alih fungsi lahan pertanian seluas 600 hektare.

Saat ini ratusan hektare lahan pertanian di Karawang bahkan telah berpindah tangan ke para spekulan. Jika ini diteruskan, lenyaplah produksi 300 ton padi per musim yang selama ini menyangga pangan nasional. Di tengah upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan nasional, apakah kerugian ini tidak dihitung?

Kepentingan Nasional

Mengacu pada kompleksitas persoalan di atas, terpampang dengan telanjang besarnya potensi kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh Pelabuhan Cilamaya. Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK sebaiknya mempertimbangkan secara serius dan sejak dini untuk mencari solusi yang benar-benar berisiko minimal, tetapi memiliki tujuan lebih panjang.

Tentu saja, ini tidak mudah karena akan ada desakan dan tekanan berbagai pihak agar proyek ini segera direalisasikan. Terutama berbagai kalangan yang telanjur menaburkan dana investasi dalam bentuk pembelian lahan, spekulan tanah, pengembang kawasan industri, maupun kalangan industri yang telah mendesain business plannya di kawasan Karawang.

Tetapi, pemerintahan Jokowi wajib menimbang kepentingan nasional yang lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang berisiko besar. Beberapa kalangan telah mengusulkan alternatif pemindahan pelabuhan ke Subang, Indramayu, atau Cirebon. Alasannya, lokasi-lokasi ini terkait pembangkit listrik yang sudah ada atau sedang direncanakan sehingga daya dukungnya terhadap pelabuhan akan lebih memadai.

Daerah lain juga diusulkan yakni dengan memindahkannya ke Jawa Tengah dengan pertimbangan strategis untuk pemerataan pembangunan nasional. Tetapi, akan lebih baik dan lebih adil jika kiranya pemerintahan tidak terburu- buru mengambil keputusan. Apalagi jika keputusan itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan yang bukan bersifat national interest.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar