Solusi Golkar : Akhirnya Munas Juga
Hajriyanto Y Thohari ;
Mantan
Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
|
KORAN
SINDO, 27 Maret 2015
Persis seperti yang saya perkirakan sebelumnya
rute penyelesaian dualisme Partai Golkar melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG)
dan pengadilan hanya memberikan penyelesaian yang bersifat ad hoc.
Meski ada yang menang atau dimenangkan, ada
yang kalah atau dikalahkan, dan dengan
langkahitualih-alihdualismekepengurusan berakhir dengan sendirinya, PG tetap
pecah menjadi seperti rempah-rempah. Tindakan pemerintah melalui Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM No: M.HH- 01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang
Pengesahan Komposisi Personalia DPP Partai Golkar tertanggal 23 Maret 2015
terbukti hanya menyelesaikan dualisme kepengurusan secara de jure belaka.
Secara de facto dualisme kepengurusan ini
terus berjalan dengan segala reperkusi dan resonansi politiknya yang bahkan tidak
mustahil akan semakin panas dan eksesif. Lihat saja setelah mendapatkan
pengesahan pemerintah, DPP hasil Munas Jakarta segera saja melakukan langkah
mengubah pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR/MPR dan selanjutnya
mengangkat beberapa pelaksana tugas ketua DPD-DPD PG se-Indonesia.
Tidak mustahil langkah ini akan berjalan panas
oleh karena DPP hasil Munas Bali juga merespons dengan melakukan
langkahlangkah konsolidasi kepemimpinan FPG DPR/MPR dan DPDDPD yang masih
mendukungnya untuk melakukan perlawanan habis-habisan atas keputusan
pemerintah yang mengesahkan kepengurusan DPP Munas Jakarta yang dianggap
tidak adil dan sewenang-wenang itu.
Begitulah konsekuensi dari penyelesaian
perpecahan politik sebuah partai politik melalui rute MPG dan pengadilan yang
notabene selalu bersifat adhoc itu.
Walhasil, jika tujuan keputusan MPG dan pengesahan pemerintah adalah untuk
mengakhiri perpecahan dan dualisme kepengurusan DPP PG agar perpolitikan
nasional stabil, tidak gaduh, dan kondusif bagi jalannya pemerintahan hasil
Pemilu 2014, tujuan itu tidak tercapai, untuk tidak mengatakan gagal. Kecuali
kalau pemerintah mempunyai tujuan lain yang kita sama sekali tidak tahu.
Pemerintah itu Negara
Saya ingin sampaikan di sini bahwa melawan
pemerintah secara frontal atau head to head itu tidak banyak artinya kecuali
hanya akan memberikan kepuasan psikologis. Di negeri seperti ini, betapa pun
lemahnya secara politik, pemerintah itu tetap saja pemerintah: sangat
berkuasa. Apa yang disebut dengan negara memang terdiri atas pemerintah,
rakyat, dan wilayah.
Tetapi, pada sejatinya pemerintahlah
manifestasi par excellence dari apa
yang disebut dengan negara. Maka itu, melawan kebijakan politik pemerintah
secara frontal akan mudah didakwa dan dipelintir sebagi melawan negara. Boleh
saja melawan pemerintah, tetapi jangan secara frontal sebab pasti akan kalah!
Pemerintah itu mempunyai semua instrumen untuk menang dan memenangkan
pertandingan politik.
Maka itu, sekali melawan pemerintahan haruslah
dengan canggih. Kalau perlu, dengan langkah memutar melalui rute politik yang
namanya munas atau munaslub. Dalam alam demokrasi hanya hasil munas yang
demokratis pula yang dapat memaksa (fait
accomply) pemerintah atau negara untuk mau tidak mau mengesahkannya.
Di mana pun dan kapan pun, apalagi di
Indonesia, melawan pemerintah tidak bisa dengan frontal dan head to head, melainkan harus memutar.
Pemerintah itu, sekali lagi, mempunyai semua alat-alat kekuasaan untuk menang
dan memenangkan sebuah pergumulan politik. Apalagi manakala pemerintah sedang
berusaha melakukan konsolidasi, akumulasi, dan kapitalisasi dukungan politik
dengan berbagai cara demi jalan pemerintahan yang stabil dan efektif.
Memang kubu DPP Munas Bali sekarang masih ada
pendukungnya. Tetapi, step by step,
sedikit demi sedikit, anggota FPG dan DPD-DPD PG itu akan menyerah juga.
Pelan tapi pasti (slow but sure)
pragmatisme politiklah yang akan menang dan dominan! Pengalaman Parmusi pada
1970 juga begitu: semua wilayah dan daerah waktu itu mengaku berada di
belakang kepemimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo.
Tetapi, begitu pengesahan pemerintah
dikeluarkan, semua wilayah dan daerah step
by step, pelan tapi pasti, “balik kanan”, berpindah mendukung
kepengurusan yang disahkan pemerintah. Artinya, kubu DPP Munas Bali
kemungkinan besar pasti akan kalah vis
a vis negara. Negara itu, sekali lagi, punya semua instrumen kekuasaan
untuk menang. Maka itu, pemerintah sering disebut “penguasa” karena memang
berkuasa. Ala kulli hal, apa pun
yang akan terjadi, pemerintah mustahil menganulir keputusan itu.
Jika mau belajar dari pengalaman lama, pilihan
yang paling realistis bagi kubu DPP hasil Munas Bali sekarang ini adalah
menunggu secara aktif dan proaktif munas yang oleh pemerintah sendiri diminta
dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2016. Di dalam amar Putusan MPG dan SK
Kemenkumham itu ada frase yang berbunyi: “segera
melaksanakan musyawarah-musyawarah daerah dan munas selambat-lambatnya tahun
2016”. Pilihan yang tersedia tinggal satu ini!
Dulu ketika belum ada amar Putusan MPG dan
pengesahan pemerintah, kubu DPP Munas Bali memang memiliki kekuasaan untuk
menggelar munas (lub). Tetapi, sekarang momentum itu sudah lewat, gone with the wind. Jika sekarang kubu
Munas Bali meminta munas (lub)
sebagai modus dan rute penyelesaian dualisme kepengurusan partai, itu sudah
terlambat karena sudah dianggap terlalu kecil (too late and too little) oleh lawannya. Pilihan bagi DPP Munas
Bali sungguh semakin sempit: tinggal Munas 2016, kecuali ada putusan
pengadilan atau PTUN yang berbunyi lain. Ini pun, harus diingat, tidak akan
juga menyelesaikan perpecahan yang sudah sangat eksesif ini. Akhirnya
Melalui Munas Juga
Perpecahan PG adalah perpecahan politik.
Perpecahan politik hanya bisa diselesaikan secara tuntas melalui forum dan
mekanisme politik pula: munas atau munaslub. Saya konsisten dengan sikap saya
dari semula bahwa hanya dengan munas (munaslub)-lah rekonsiliasi PG dapat
diwujudkan. MPG dan pemerintah betapa pun rumusan keputusannya tidak ideal
telah memberikan peta politik (political
roadmap) agar munas diselenggarakan selambat-lambatnya pada 2016.
Karena itu, munas harus segera digelar demi
teruwujud rekonsiliasi. Munas 2016 atau munaslub adalah satu-satunya jalan (the one and the only) untuk
menyelesaikan perpecahan PG secara terhormat dan bermartabat. Sangat
meyakinkan apa yang disebut dengan Munas 2016 tidak harus menunggu
berlama-lama sampai pada 2016.
Pertanyaannya sekarang adalah masih adakah
tersisa sikap kenegarawanan dalam diri pimpinan dua kubu yang berseteru itu
untuk -betapa pun pahitnya, apa boleh buat bersikap legawa menerima solusi
melalui munas 2016 itu? Jika masih ada tersisa sikap legawa dan
kenegarawanan, keduanya harus segera menerima solusi Munas 2016 itu dengan
sebuah kesepakatan (gentlemen agreement)
mengenai waktu dan kepanitiaan munas.
Ini jauh lebih realistis daripada terus
melakukan perlawanan yang menguras energi itu. Sikap kenegarawanan ini ada
atau tidak akan berjalan paralel dengan cepat atau lambatnya pelaksanaan
munas (selambat-lambatnya 2016) itu sendiri: semakin negarawan keduanya
niscaya semakin cepat munas itu digelar. Itu semakin baik. Walhasil, meski
berputarputar sedemikian panjangnya rute yang ditempuh, akhirnya melalui
munas juga, apa pun namanya. Ini persis seperti yang penulis sarankan sejak
semula. Makanya, percayalah padaku! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar